Salah satu peristiwa penting yang terjadi pada Bulan Rajab adalah Isra’ Mi’raj. Momentum itu memiliki banyak arti dan hikmah bagi kaum Muslim. Allah SWT memperlihatkan kekuasaan-Nya. Allah SWT memperjalankan Nabi Muhammad saw. dari Masjid al-Haram menuju Masjid al-Aqsha kurang dari semalam. Allah SWT juga mempertemukan Rasulullah saw. dengan para nabi dan rasul lainnya. Beliau bahkan menjadi imam bagi mereka dalam salat berjamaah. Selanjutnya beliau diangkat ke langit hingga ke Sidratul Muntaha untuk menerima perintah salat.

Iman Tanpa Ragu

Perjalanan Isra’ Mi’raj adalah salah satu mukjizat yang Allah SWT berikan kepada Rasulullah saw. Dalam peristiwa tersebut Rasulullah saw. menempuh perjalanan dengan ruh dan jasad beliau secara utuh. Bukan semata ruh beliau atau hanya penglihatan beliau dalam mimpi, seperti dugaan sebagian orang. Allah SWT berfirman:

﴿سُبۡحَٰنَ ٱلَّذِيٓ أَسۡرَىٰ بِعَبۡدِهِۦ لَيۡلًا مِّنَ ٱلۡمَسۡجِدِ ٱلۡحَرَامِ إِلَى ٱلۡمَسۡجِدِ ٱلۡأَقۡصَا… ﴾

Mahasuci Allah Yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjid al-Haram ke Masjid al-Aqsha… (TQS al-Isra’ [17]: 1).

Dalam ayat di atas Allah SWT menggunakan frasa ”bi ’abdihi”. Maknanya adalah ruh dan jasad Nabi Muhammad saw. Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahulLâh mengatakan, “Sungguh Isra‘ Mi’raj terjadi dalam semalam. Nabi Muhammad saw., mengalami peristiwa ini dalam keadaan terjaga; dengan jasad dan ruh beliau. Peristiwa ini terjadi setelah beliau diutus menjadi rasul. Inilah pendapat mayoritas ulama ahli hadis, ahli fiqih dan ahli kalam. Pendapat ini didukung oleh hadis-hadis yang sahih…” (Ibnu Hajar, Fath al-Bâri, 7/197, Maktabah Syamilah).

Bagi Allah SWT tidak ada yang mustahil. Allah SWT berkuasa untuk memberikan mukjizat dalam bentuk apapun kepada para nabi dan rasul-Nya. Allah SWT berkuasa untuk menjadikan tongkat Nabi Musa as. mampu membelah lautan. Allah SWT berkuasa untuk menjadikan dingin kobaran api yang membakar Nabi Ibrahim as. Dengan itu beliau selamat. Tidak hangus terbakar. Allah SWT pun berkuasa untuk memperjalankan Rasulullah saw. dari Masjid al-Haram menuju Masjid al-Aq­sha hingga mengangkat beliau ke Sidratul Muntaha hanya dalam waktu kurang dari semalam. Karena itu setiap Muslim wajib mengimani Peristiwa Isra’ Mi’raj ini sebagai bagian dari kebesaran Allah SWT dan salah satu mukjizat Nabi Muhammad saw.

Kemuliaan Masjid al-Aqsha

Bagi kaum Muslim, Masjid al-Aqsha memiliki banyak arti. Pertama: Masjid al-Aqsha pernah menjadi kiblat pertama kaum Muslim dalam menunaikan salat selama 16 bulan. Kemudian Allah SWT mengubah kiblat mereka ke arah Makkah (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 144).

Kedua: Masjid al-Aq­sha dan Syam (Palestina) adalah wilayah yang Allah SWT berkahi, sebagaimana firman-Nya:

﴿سُبۡحَٰنَ ٱلَّذِيٓ أَسۡرَىٰ بِعَبۡدِهِۦ لَيۡلًا مِّنَ ٱلۡمَسۡجِدِ ٱلۡحَرَامِ إِلَى ٱلۡمَسۡجِدِ ٱلۡأَقۡصَا ٱلَّذِي بَٰرَكۡنَا حَوۡلَهُۥ لِنُرِيَهُۥ مِنۡ ءَايَٰتِنَآۚ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلۡبَصِيرُ ﴾

Mahasuci Allah Yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjid al-Haram ke Masjid al-Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami memperlihatkan kepada dia sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sungguh Dia Maha Mendengar lagi Mahatahu (TQS al-Isra’ [17]: 1).

Syaikh Wahbah az-­Zuhaili dalam At-Tafsîr Al-Munîr menyebutkan: “Syam (Palestina) adalah Tanah Suci yang telah Allah berkahi dengan banyaknya nabi yang diutus ke sana. Syariah yang mereka bawa telah menyebar ke seluruh dunia. Tanah ini dikaruniai kesuburan, pepohonan dan sungai-sungai yang melimpah. Dengan itu kebaikan dunia dan akhirat seolah-olah ada di dalamnya.” (Az-Zuhaili, At-Tafsîr Al-Munîr, 17/88).

Rasulullah saw. juga mendorong kaum Muslim untuk beribadah di Masjid al-Aqsha karena besarnya keutamaan yang Allah SWT limpahkan:

«لَا تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلاَّ إِلَى ثَلَاثَةِ مَسَاجِدَ مَسْجِدِ الْحَرَامِ وَمَسْجِدِي هَذَا وَالْمَسْجِدِ الْأَقْصَ»

Janganlah mengencangkan pelana (untuk melakukan suatu perjalanan) kecuali menuju tiga Masjid yaitu: Masjid al-Haram (di Makkah), Masjidku (Masjid Nabawi di Madinah) dan Masjid al-Aqsha (di Palestina) (HR al-Bukhari dan Muslim).

Kemuliaan dan keber­kahan yang Allah limpahkan tersebut berlaku hingga Hari Kiamat. Sayang, hari ini Masjid al-Aqsha berada dalam penjajahan kaum zionis Yahudi. Mereka telah sering mengotori dan menistakan Masjid al-Aqsha. Mereka pun telah puluhan tahun melakukan berbagai kekejaman dan kekejian terhadap kaum Muslim di sekitar Masjid al-Aqsha dan Palestina secara umum. Semua mereka lakukan dengan didukung oleh pengkhianatan para pemimpin Muslim, khususnya di Timur Tengah, dan dukungan negara-negara Barat kafir.

Penistaan al-Aqsha oleh Zionis Yahudi

Palestina dan kawasan Masjid al-Aqsa telah dicengkeram oleh zionis Yahudi lebih dari 76 tahun. Entitas Yahudi telah mengusir lebih dari 1,8 juta jiwa warga Palestina. Sejak pecah perang pada tanggal 7 Oktober tahun lalu, militer zionis telah membunuh lebih dari 25 ribu warga Palestina, termasuk wanita dan anak-anak. Dilaporkan sejak Desember tahun lalu setiap hari 160 anak Palestina tewas akibat serangan kejam entitas Yahudi.

Masjid al-Aqsha juga dinista dan dirusak entitas Yahudi. Mereka membuat terowongan di bawah pondasi Masjid al-Aqsha dengan dalih mencari sisa-sisa kuil Sulaiman. Terowongan ini tentu membahayakan struktur bangunan di atasnya. Berkali-kali pula militer zionis menyerang ke dalam Al-Aqsha untuk menangkap dan membunuhi jamaah yang berada di dalamnya. Agresi itu juga sering dilakukan pada bulan suci Ramadhan saat umat Muslim sedang menunaikan ibadah di dalamnya.

Perampasan dan penistaan terhadap Palestina dan Masjid al-Aqsha adalah hasil kejahatan negara-negara kafir Barat, terutama Inggris, Amerika Serikat dan Lembaga Bangsa-Bangsa (LBB). Pada tahun 1917, Menteri Luar Negeri Inggris Lord James Balfour mengeluarkan Deklarasi Balfour. Isinya adalah dukungan kepada zionis Yahudi untuk menguasai tanah Palestina. Deklarasi Balfour didukung oleh Sekutu dan disetujui oleh Liga Bangsa-Bangsa (organisasi sebelum PBB) pada Juli 1922.

Namun demikian, perampasan dan penistaan terhadap Masjid al-Aqsha tidak akan terjadi jika para pemimpin Dunia Islam tidak berkhianat dengan mendiamkan penjajahan ini. Setiap kali terjadi agresi militer Yahudi terhadap warga Palestina dan Al-Aqsha, mereka hanya mengecam. Bahkan sudah ada enam negeri Muslim yang terang-terangan menjalin hubungan akrab dengan negara zionis Yahudi; Turki, Yordania, Bahrain, Mesir, UAE, Maroko dan Sudan. Padahal Allah SWT telah mengancam:

﴿يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَتَّخِذُواْ ٱلۡيَهُودَ وَٱلنَّصَٰرَىٰٓ أَوۡلِيَآءَۘ بَعۡضُهُمۡ أَوۡلِيَآءُ بَعۡضٍۚ وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمۡ فَإِنَّهُۥ مِنۡهُمۡۗ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَهۡدِي ٱلۡقَوۡمَ ٱلظَّٰلِمِينَ ﴾

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengambil kaum Yahudi dan Nasrani menjadi wali (sahabat, teman, pelindung). Sebagian mereka adalah wali bagi sebagian yang lain. Siapa saja di antara kalian yang mengambil mereka menjadi wali, sungguh dia termasuk golongan mereka. Sungguh Allah tidak memberikan petunjuk kepada kaum yang zalim (TQS al-Maidah [5]: 51).

Wajib Membebaskan Al-Aqsha

Membebaskan Pales­tina dan Masjid al-Aqsha adalah fardhu atas kaum Muslim. Akan tetapi, kaum Muslim haram meminta bantuan kepada negara-negara Barat dan lembaga-lembaga internasional untuk menunaikan kewajiban tersebut. Negara-negara Barat adalah bidan yang membantu kelahiran negara zionis di tanah Palestina.

Di sisi lain mustahil PBB atau Mahkamah Internasional (International Court of Justice/ICJ) dapat menyeret entitas Yahudi ke pengadilan. Mustahil kedua lembaga ini menghukum dan meminta zionis Yahudi angkat kaki dari tanah Palestina. Mereka hanya memainkan drama. Tujuannya sekadar untuk menyenangkan pihak-pihak yang mengecam aksi terorisme kaum zionis Yahudi agar mereka tidak dipandang berdiam diri atau mendukung zionis Yahudi. Padahal tangan mereka berlumur darah rakyat Palestina.

Satu-satunya jalan yang sesuai syariah untuk membebaskan dan melindungi Masjid al-Aqsha adalah dengan jihad fî sabîlillâh, yakni dengan memerangi entitas Yahudi hingga tak ada satu jengkal pun tanah Palestina yang mereka injak lagi. Allah SWT berfirman:

﴿وَاقْتُلُوهُمْ حَيْثُ ثَقِفْتُمُوهُمْ وَأَخْرِجُوهُمْ مِنْ حَيْثُ أَخْرَجُوكُمْ ﴾

Perangilah mereka di mana saja kalian menjumpai mereka dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kalian (TQS al-Baqarah [2]: 191).

Oleh sebab itu, semestinya para pemimpin Dunia Islam meninggalkan retorika kosong dan berhenti meminta bantuan kepada lembaga internasional manapun. Kaum Muslim di mana pun, khususnya para perwira dan prajurit Muslim, harus bergerak menyambut panggilan jihad dari mana pun, termasuk dari Bumi Palestina. Tak sepantasnya mereka berdiam diri dan berpangku tangan.

﴿يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱسۡتَجِيبُواْ لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمۡ لِمَا يُحۡيِيكُمۡۖ﴾

Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul jika dia menyeru kalian pada suatu yang memberikan kehidupan kepada kalian (TQS al-Anfal [8]: 24).

WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. []

—*—

Hikmah:

Rasulullah saw. bersabda:

«لَا تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى يُقَاتِلَ الْمُسْلِمُونَ الْيَهُودَ، فَيَقْتُلَهُمُ الْمُسْلِمُونَ، حَتَّى يَخْتَبِئَ الْيَهُودِيُّ مِنْ وَرَاءَ الْحَجَرِ، وَالشَّجَرَةِ، فَيَقُولُ الْحَجَرُ، أَوِ الشَّجَرَةُ: يَا مُسْلِمُ، يَا عَبْدَ اللهِ، هَذَا يَهُودِيٌّ خَلْفِي، فَتَعَالَ فَاقْتُلْهُ، إِلَّا الْغَرْقَدَ فَإِنَّهُ مِنْ شَجَرِ الْيَهُودِ»

Tidak akan tiba Hari Kiamat hingga kaum Muslim memerangi kaum Yahudi. Lalu kaum Muslim membunuh mereka hingga seorang Yahudi bersembunyi di balik batu dan pohon, kemudian batu dan pohon berkata, “Wahai Muslim! Wahai hamba Allah! Orang Yahudi ini ada di belakangku. Kemarilah dan bunuhlah dia!” Kecuali gharqad karena ia adalah pohon orang Yahudi. (HR Ahmad). []

Oleh: Refa | 5 Januari 2024

JERAT UTANG RIBAWI


Memasuki Tahun Baru 2024, rakyat Indonesia dihadapkan pada persoalan besar ekonomi. Salah satunya utang negara yang semakin membengkak. Hingga 30 November 2023, utang tersebut mencapai Rp 8.041,01 triliun. Sejumlah ekonom mencatat posisi utang sektor publik, termasuk di dalamnya utang Pemerintah, diperkirakan bisa tembus Rp 18 ribu triliun hingga Rp 20 ribu triliun!

Total utang pemerintahan Jokowi sejak 2014, atau ketika mengawali jabatan kepresidenan, sudah membengkak sebesar Rp 5.431,21 triliun. Pemerintah selalu berdalih bahwa utang masih dalam kondisi masih aman. Alasan utamanya, rasio utang masih belum mencapai 60% atas Produk Domestik Bruto (PDB).

Namun, akhir tahun lalu Bank Dunia telah mengingatkan bahwa kenaikan suku bunga telah menjadikan ancaman terhadap utang di semua negara berkembang. Apalagi menurut perkiraan INDEF, pertumbuhan ekonomi RI hanya berada di level 4,8 persen.

Utang Ribawi

Utang yang selama ini ditarik oleh Pemerintah tentu adalah utang ribawi. Meski sudah jelas demikian, Menkeu Sri Mulyani pernah berkilah bahwa semua negara di dunia, termasuk Dunia Islam, juga berutang untuk mengelola negaranya; seperti Saudi, UAE, Qatar, Tunisia, Maroko, Pakistan, Afganistan, Kazakhstan. Utang, katanya, bukanlah stigma.

Bahkan jika suatu negara tidak berutang, akan ada persoalan infrastruktur hingga masalah pendidikan. Menkeu tidak mau menyamakan riba dengan pinjaman atau utang. Menurut dia, al-Quran juga membolehkan utang-piutang. “Yang disebut praktisi pinjaman, tetapi yang masih prudent. Dalam al-Quran pinjam-meminjam itu boleh, tetapi harus diadministrasi, dicatat dengan baik, digunakan secara hati-hati,” katanya.

Pernyataan Menkeu Sri Mulyani sama sekali tidak berdasar. Utang-piutang yang memberikan manfaat bagi pihak pemberi utang adalah riba dan haram, tidak memandang apakah ada eksploitasi atau tidak oleh pihak pemberi utang. Sekecil apapun manfaat atau keuntungan berupa materi atau jasa yang dihasilkan dari utang, baik secara paksa atau pun sukarela, adalah riba nâsi’ah yang jelas keharamannya. Allah SWT berfirman:

ٱلَّذِينَ يَأۡكُلُونَ ٱلرِّبَوٰاْ لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ ٱلَّذِي يَتَخَبَّطُهُ ٱلشَّيۡطَٰنُ مِنَ ٱلۡمَسِّۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمۡ قَالُوٓاْ إِنَّمَا ٱلۡبَيۡعُ مِثۡلُ ٱلرِّبَوٰاْۗ وَأَحَلَّ ٱللَّهُ ٱلۡبَيۡعَ وَحَرَّمَ ٱلرِّبَوٰاْۚ

Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti orang yang kerasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian disebabkan karena mereka berpendapat bahwa jual-beli itu sama dengan riba. Padahal Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba (TQS al-Baqarah [2]: 275).

Sebelum ayat ini turun, pada awalnya Allah SWT hanya melarang riba yang berlipat ganda melalui firman-Nya:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَأۡكُلُواْ ٱلرِّبَوٰٓاْ أَضۡعَٰفًا مُّضَٰعَفَةًۖ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ لَعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُونَ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memakan riba dengan berlipat ganda, dan bertakwalah kalian kepada Allah supaya kalian beruntung (TQS Ali Imran [3]: 130).

Kemudian Allah SWT mengharamkan riba secara total melalui firman-Nya:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱتَّقُواْ ٱللَّهَ وَذَرُواْ مَا بَقِيَ مِنَ ٱلرِّبَوٰٓاْ إِن كُنتُم مُّؤۡمِنِينَ

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah, dan tinggalkan sisa-sisa riba jika kalian adalah kaum Mukmin (TQS al-Baqarah [2]: 278).

Melalui ayat ini, juga ayat sebelumnya (QS al-Baqarah [2]: 275), seluruh praktik utang-piutang yang mengandung riba adalah haram. Ibnu Qudamah rahimahulLâh berkata, ”Setiap utang yang dipersyaratkan ada tambahan adalah haram. Hal ini tanpa diperselisihkan oleh para ulama.” (Ibnu Qudamah, Al-Mughni, 6/436).

Kemudian Ibnu Qudamah menyatakan: Ibnul Mundzir rahimahulLâh berkata, ”Para ulama sepakat bahwa jika orang yang memberikan pinjaman memberikan syarat kepada yang meminjam supaya memberikan tambahan atau hadiah, lalu transaksinya terjadi demikian, maka pengambilan tambahan tersebut adalah riba.”

Mencekik dan Memiskinkan

Naiknya nilai utang RI saat ini bertolak belakang dengan isi kampanye Jokowi pada Pilpres 2014 yang akan menyetop utang luar negeri. Dia berjanji bahwa Indonesia akan mandiri dalam semua bentuk pembangunan dengan cara melakukan efisiensi APBN.

Kenyataannya, rezim ini tercatat dalam sejarah sebagai rezim yang paling banyak berutang. Kenaikannya lebih dari tiga kali lipat dibandingkan dengan awal berkuasa pada tahun 2014.

Rakyat harus menyadari bahwa utang ribawi adalah beban berat untuk negeri ini. Ekonom Awalil Rizky menyebutkan rasio utang terhadap pendapatan negara diperkirakan sebesar 310,93% pada tahun 2023 dan 317,63% pada tahun 2024. Pada tahun 2023, pendapatan negara diperkirakan sebesar Rp 2.637 triliun dengan utang akhir tahun Rp 8.200 triliun. Pada tahun 2024, target pendapatan negara sebesar Rp 2.802 triliun, dan posisi utang akhir tahun diperkirakan Rp 8.900 triliun. Rasio tersebut telah jauh melampaui rekomendasi IMF dan IDR untuk kondisi yang bisa dikatakan aman. IMF merekomendasikan kisaran 90-150%. Adapun rekomendasi IDR adalah kisaran 92-167% (”Utang Pemerintah Tidak Aman pada Tahun 2024”, Barisan.co).

Bunga utang alias riba yang harus dibayar oleh Pemerintah juga mencekik. Bunga utang yang harus dibayar negeri ini berjumlah Rp 437,4 triliun pada tahun 2023 dan Rp 497,32 triliun pada tahun 2024. Untuk bayar bunganya saja sudah menghabiskan 14,4% APBN.

Besaran utang dan bunganya yang harus dibayar oleh negara jauh lebih besar dibandingkan dengan subsidi untuk rakyat. Subsidi LPG, BBM, BLT, dsb, misalnya, hanya berjumlah Rp 146,9 triliun. Bunga utang itu juga lebih besar dibandingkan dengan anggaran kesehatan untuk rakyat yang hanya berjumlah Rp 187,5 triliun. Selama ini Pemerintah mengklaim subsidi rakyat menjadi beban APBN. Padahal utang dan bunganyalah yang menjadi beban utama APBN.

Selain itu, pembangunan yang dibiayai oleh utang ribawi atau pun investasi asing tidak berdampak pada ekonomi rakyat banyak. Contohnya pembangunan IKN, Kereta Cepat Jakarta-Bandung, sejumlah bandara dan ruas tol. Malah menurut Menko Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, ada 58 proyek Pemerintah Jokowi yang terancam mangkrak. Nilainya mencapai Rp 420 triliun!

Utang luar negeri juga sudah terbukti banyak menjerat kedaulatan suatu negara. Negara-negara seperti Zimbabwe, Sri Lanka, Maladewa, Uganda, Kenya dan Pakistan adalah sejumlah negara yang kolaps akibat debt trap (perangkap utang) luar negeri. Beberapa negara tersebut harus menyerahkan pelabuhan dan bandara strategis mereka pada negara pemberi utang, yakni Tiongkok, yang juga menjadi salah satu pemberi utang pada Indonesia.

Membebaskan Umat dari Jerat Utang Ribawi

Utang ribawi dengan alasan apapun adalah haram. Perbuatan para pemimpin negeri Muslim yang menarik utang ribawi jelas termasuk dosa besar. Apalagi utang ribawi tersebut menimbulkan bahaya (dharar) terhadap kaum Muslim. Misalnya saja mengakibatkan penguasaan wilayah dan kekayaan alam oleh pihak asing pemberi pinjaman. Utang ribawi juga menyebabkan kaum Muslim berada dalam kendali negara pemberi utang. Padahal Allah SWT telah berfirman:

وَلَنْ يَّجْعَلَ اللّٰهُ لِلْكٰفِرِيْنَ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ سَبِيْلًا ࣖ

Allah tidak akan pernah memberikan jalan kepada kaum kafir untuk menguasai kaum Mukmin (TQS an-Nisa’ [4]: 141).

Walhasil, utang negara yang mengandung riba hari ini jelas merupakan perkara batil sekaligus menjerumuskan negeri dalam cengkeraman asing. Sudah saatnya umat melepaskan negeri ini dari jerat utang ribawi yang sekaligus menjadi alat penjajahan oleh pihak asing.

Hal tersebut tidak akan bisa terwujud selama Indonesia masih menerapkan sistem ekonomi Kapitalisme yang menghalalkan riba serta membolehkan swasta lokal dan asing aseng mengeruk sumber daya alam (SDA) milik rakyat. Hari ini banyak SDA justru dinikmati oleh swasta dan asing, bukan rakyat. Sekitar 90 persen pertambangan dan pengolahan nikel dikuasai asing. Sektor batubara hanya 12 persen dikelola oleh BUMN. Di sektor migas, Pertamina hanya mengelola 30% blok migas. Sisanya dikuasai oleh asing.

Sistem ekonomi Kapitalisme pula yang menyebabkan riba merata ke seluruh negeri. Bahkan orang yang tidak bermuamalah ribawi pun terkena debunya sebagaimana peringatan Nabi saw.:

يَأْتِي عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ يَأْكُلُونَ الرِّبَا فَمَنْ لَمْ يَأْكُلْهُ أَصَابَهُ مِنْ غُبَارِهِ

Akan datang suatu zaman kepada manusia. Saat itu mereka memakan riba. Kalaupun ada orang tidak memakan riba secara langsung, dia akan terkena debunya (HR an-Nasa’i, Abu Dawud, Ibnu Majah dan al-Hakim).

Rusaknya ekonomi negeri ini dan jeratan utang ribawi yang mencekik tidak akan selesai hanya dengan pergantian kepemimpinan. Diperlukan pula perubahan ke arah penerapan syariah Islam dalam semua aspek kehidupan. Artinya, cengkeraman utang ribawi itu baru bisa terlepas jika umat kembali menerapkan syariah Islam dalam institusi Khilafah, bukan dalam sistem demokrasi dan Kapitalisme sebagaimana saat ini. Siapapun pemimpinnya, jika tidak menerapkan syariah Islam, selamanya akan terjerat dalam utang ribawi yang jelas haram dan telah terbukti menyengsarakan.

WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. []

—*—

Hikmah:

Jabir radhiyalLaahu ’anhu berkata:

لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ

Rasulullah saw. telah melaknat pemakan riba, pemberi makan riba, penulisnya dan dua saksinya. Beliau bersabda, “Mereka itu sama.” (HR Muslim). []

Oleh: Refa | 29 Desember 2023

REFLEKSI AKHIR TAHUN: HARAPAN HANYA PADA ISLAM


Tidak ada kaum yang paling rugi di dunia ini melainkan mereka yang tidak pernah melakukan perenungan atas perjalanan hidup yang telah lalu. Tanpa perenungan, tidak mungkin suatu kaum dapat memperbaiki kesalahan yang telah terjadi, sekaligus meneguhkan kebenaran yang telah diperjuangkan. Bisa jadi mereka akan berada terus dalam status quo. Merasa selalu benar, padahal sebenarnya berada dalam kemungkaran.

Karena itu menjelang lembaran akhir tahun 2023 M, menuju lembaran baru tahun 2024 M, refleksi atas perjalanan umat di negeri ini patut dilakukan. Segala kesalahan patut untuk diakui dan disesali. Jangan malah disangkal, apalagi dicari pembenarannya. Kemudian bersegera kembali ke jalan Allah SWT yang telah Dia jamin akan mengantarkan hamba-Nya menuju keberkahan hidup di dunia dan kebahagiaan abadi di akhirat.

Dua Tujuan Refleksi

Refleksi bagi kaum Muslim bukan sekadar merenung. Refleksi harus dibarengi dengan muhâsabah. Allah SWT telah memerintahkan setiap Muslim untuk melakukan introspeksi dan perbaikan amal. Yang menjadi patokan evaluasi diri tersebut adalah ajaran Islam, bukan yang lain. Allah SWT berfirman:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍۚ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ خَبِيْرٌ ۢبِمَا تَعْمَلُوْنَ

Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah dia perbuat untuk hari esok (akhirat). Bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Mahateliti atas apa yang kalian kerjakan (TQS al-Hasyr [59]: 18).

‘Izzuddin bin Abdissalam rahimahulLâh mengatakan, “Para ulama telah bersepakat tentang kewajiban muhâsabah diri atas amal yang telah lalu dan amal yang akan dilakukan nantinya.”

Introspeksi dan koreksi diri harus dikerjakan dengan sungguh-sungguh dan teliti agar seorang Muslim meningkat menjadi orang yang bertakwa. Demikianlah nasihat Maimun bin Mahran rahimahulLâh, ”Tidaklah seorang hamba menjadi bertakwa sampai dia melakukan muhâsabah atas dirinya lebih keras daripada seorang teman kerja yang pelit, yang membuat perhitungan dengan temannya.”

Sekurang-kurangnya ada dua tujuan muhâsabah yaitu: menyadari kesalahan dan kekeliruan dalam amal perbuatan serta bersegera menuju ketaatan pada hukum Allah SWT.

Sebagai contoh, apa yang dilakukan Khalifah Utsman bin Affan ra saat ia membatalkan hukuman rajam bagi seorang wanita yang melahirkan dengan usia kehamilan enam bulan dan menolak tuduhan zina. Hal itu Khalifah lakukan setelah diingatkan oleh Ali bin Abi Thalib ra. akan kekeliruan pendapat yang beliau ambil, bahwa memang usia minimal melahirkan adalah setelah kehamilan enam bulan sebagaimana tercantum dalam QS al-Ahqaf ayat 15 dan QS al-Baqarah ayat 233.

Karena itu di antara ciri orang yang bertakwa adalah senang jika ditunjukkan kesalahan dan kekeliruannya. Dengan begitu dia bisa segera memperbaiki diri. Umar ra. pernah menyatakan, “Semoga Allah merahmati orang yang menunjuki kita kekurangan-kekurangan kita.”

Rapor Merah Bangsa

Sepanjang tahun 2023, banyak persoalan bangsa yang tidak tuntas. Masalah malah makin bertambah. Di bidang sosial, misalnya, angka perceraian dan KDRT semakin meningkat. Komnas Perempuan melaporkan kekerasan terhadap perempuan sebanyak 17 kasus/hari. Ada kasus seorang istri tewas digorok oleh suaminya sendiri di depan anak-anak mereka. Padahal korban sudah pernah melapor kepada aparat keamanan. Namun, ia justru tidak mendapatkan perlindungan.

Rakyat juga terjerat kemiskinan dan utang, terutama pinjol (pinjaman online). Survey Populix pada tahun 2023 menyebutkan 65% warga terjerat pinjol. Tragisnya ada 25 kasus warga bunuh diri akibat tercekik pinjol. Awal bulan ini di Malang, Jawa Timur, satu keluarga terdiri dari suami, istri dan seorang anak perempuan melakukan bunuh diri bersama akibat jeratan utang.

Di bidang ekonomi, ternyata kekayaan alam negeri ini tidak menjamin rakyatnya sehat dan sejahtera. Masih banyak kasus kekurangan gizi dan stunting di tanah air. Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menyebut ada 21 juta warga Indonesia yang kekurangan gizi dan 21,6 persen anak mengalami stunting. Lebih menyedihkan lagi, sejak Oktober hingga November lalu dilaporkan ada 23 orang di Yahukimo, Provinsi Papua Pegunungan, meninggal dunia akibat kelaparan.

Kekayaan negeri ini juga hanya dinikmati oleh segelintir orang. Kesenjangan sosial semakin dalam dan lebar. Data BPS menunjukkan pada Maret 2023 gini ratio sebesar 0,388. Ada tiga orang Indonesia yang masuk jajaran 100 terkaya di dunia. Namun, jumlah orang miskin hampir 26 juta orang. Bank Dunia sejak sepuluh tahun lalu melaporkan sepuluh persen orang Indonesia terkaya menguasai sekitar 77% dari seluruh kekayaan di negeri ini. Satu persen di antara mereka menguasai separuh harta yang ada.

Lebih ironi lagi, Indonesia malah makin tercekik utang. Akhir tahun ini utang Pemerintah mencetak rekor terbesar sepanjang sejarah bangsa. Tembus Rp 8.041,01 triliun. Di sisi lain, pembangunan yang ada justru makin menghadirkan ketidakadilan bagi rakyat dan lebih berpihak kepada oligarki. Mantan Wapres Jusuf Kalla menilai program hilirisasi pertambangan hanya menguntungkan asing dan aseng. Pasalnya, pabrik pengolahan dan tambang nikel 90 persen dikuasai asing.

Di sektor batubara, para konglomerat tambang batubara dimanjakan Pemerintah dengan kebijakan royalti nol persen. Artinya, mereka tidak perlu membayar royalti kepada Pemerintah. Keputusan ini mempertegas keberpihakan Pemerintah kepada pengusaha besar pertambangan batubara. Di tengah naiknya harga batubara, mereka semakin kaya tanpa perlu membayar royalti kepada negara.

Anehnya, Pemerintah tetap ngotot dengan proyek prestisius yang tidak menguntungkan rakyat, seperti IKN dan Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB). Pembangunan IKN akan menghabiskan dana 524,7 triliun. Ini setara dengan membangun 10 kota. Pembangunan KCJB menelan biaya total sekitar US$7,27 miliar atau setara dengan Rp 112 triliun. Ekonom Faisal Basri memperkirakan proyek KCJB baru bisa balik modal setelah 139 tahun! Padahal KCJB tidaklah dinikmati semua rakyat Indonesia.

Keadaan ini makin diperburuk dengan korupsi yang tidak mati-mati, dan melibatkan para pejabat tinggi. Ada dua menteri dan satu wakil menteri di pemerintahan Jokowi yang kembali terjerat kasus korupsi: Menkominfo Johnny G Plate, Mentan Sahrul Yasin Limpo dan Wamenkumham Edward Omar Sharif Hiariej. Berarti sudah enam menteri Jokowi tersandung kasus korupsi. Lebih tragis lagi, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Firli Bahuri malah ditetapkan oleh Kepolisian sebagai tersangka korupsi dalam kasus pemerasan terhadap mantan Mentan Sahrul Yasin Limpo.

Di bidang politik dan pemerintahan, dugaan penyimpangan kekuasaan semakin menjadi-jadi. Pemerintah malah lestarikan politik dinasti. Mahkamah Konstitusi secara kontroversial mengubah batas usia capres-cawapres dalam UU Pemilu sehingga meloloskan putra Presiden Jokowi, Gibran, menjadi cawapres dalam Pilpres 2024. MK kala itu dipimpin oleh Anwar Usman yang merupakan adik ipar Presiden Jokowi.

Mencari Solusi

Sesungguhnya akar persoalan bangsa dan negara ini bukanlah semata karena faktor individu, yaitu pemimpin/pejabat yang tidak amanah dan tidak shiddiq. Tidak sedikit orang yang jujur dan benar justru tersingkir dari kekuasaan. Akar persoalan yang dihadapi umat adalah persoalan ideologis, yakni penerapan akidah sekularisme yang melahirkan sistem yang rusak, yakni kapitalisme dan demokrasi .

Tanda negeri ini sekuler adalah menuduh orang atau kelompok yang memperjuangkan Islam secara politik sebagai pengusung politik identitas. Mereka bahkan dilabeli sebagai kaum radikal. Muncul seruan kebencian terhadap syariah Islam dan kewajiban penegakan Khilafah. Bahkan penerapan syariah Islam dituduh sebagai ancaman bagi kehidupan bangsa. Padahal biang kerusakan hari ini adalah sekularisme dan kapitalisme-demokrasi.

Sekularisme menghapuskan aturan halal-haram. Semua diukur dengan kepentingan dan kemanfaatan. Itulah sebabnya belum ada pelarangan dan sanksi bagi kaum LGBT, seks di luar nikah boleh dengan alasan consent, dsb.

Sistem kapitalisme dan demokrasi membuka pintu lebar bagi kaum kapitalis untuk melobi eksekutif dan legislatif agar dibuat peraturan yang menguntungkan mereka, seperti UU Cipta Kerja, UU Minerba dan UU Omnibus Law Kesehatan. Atinya, aturan dibuat bukan untuk kepentingan rakyat, tetapi untuk kepentingan oligarki. Demokrasi yang katanya menjamin kedaulatan di tangan rakyat adalah mitos dan isapan jempol belaka. Pantas jika kerusakan demi kerusakan terus terjadi. Demikian seperti difirmankan Allah SWT:

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ اَيْدِى النَّاسِ لِيُذِيْقَهُمْ بَعْضَ الَّذِيْ عَمِلُوْا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ

Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusia. Allah menghendaki mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar) (TQS ar-Rum [30]: 41).

Wahai kaum Muslim! Sadarilah, selama kita tidak melepaskan diri dari sistem rusak ini, maka upaya keluar dari persoalan bangsa seperti orang yang berputar-putar dalam lingkaran tanpa jalan keluar. Tidak ada solusi yang bisa menyelamatkan umat dan negeri ini melainkan dengan menjadikan Islam sebagai akidah umat dan menjalankan syariah Islam secara kâffah di bawah naungan Khilafah Islamiyah.

WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. []

—*—

Hikmah:

Imam Malik bin Anas rahimahulLâh berkata:

لَنْ يُصْلِحَ آخِرَ هَذِهِ الأُمَّةِ إِلاَّ مَا أَصْلَحَ أَوَّلَهَا

Tidak akan bisa memperbaiki kondisi umat akhir zaman ini kecuali apa yang telah memperbaiki kondisi generasi awalnya. (Imam at-Tirmidzi, Adhwâ’ al-Bayân [Mukhtashar asy-Syamâ-il Muhammadiyyah], 2/282). []

Oleh: Refa | 18 November 2023

MEREKA MENGKHIANATI PALESTINA


Makin brutal agresi militer kelompok zionis penjajah terhadap warga Palestina, khususnya di Jalur Gaza. Sampai hari ke-37 jumlah korban sudah tembus 11.800 jiwa. Korban paling banyak justru anak-anak. Ada yang menghitung setiap 10 menit satu anak Palestina meninggal. Sekitar 70 persen warga Gaza kini mengungsi. Dunia semakin melihat serangan entitas Yahudi bukan untuk melawan Hamas, tetapi untuk memusnahkan penduduk Gaza.

Kebiadaban zionis terlihat dengan serangan membabi-buta terhadap rumah sakit-rumah sakit. Salah satunya adalah Rumah Sakit Indonesia di Gaza yang menjadi sasaran serangan brutal militer entitas Yahudi. Mereka menuduh lokasi itu menyembunyikan pejuang Hamas yang kemudian dibantah oleh pihak rumah sakit. Namun, serangan mereka tak kunjung berhenti.

Yang paling memilukan, negara-negara Barat seperti Amerika Serikat, Prancis, Inggris dan Jerman secara terbuka memberikan dukungan, bantuan keuangan dan militer kepada entitas Yahudi. Sebaliknya, para pemimpin Dunia Islam hanya mengecam dan mengemis bantuan PBB.

Pengkhianatan Pemimpin Muslim

Saat krisis Palestina mulai terbuka, Gedung Putih langsung menjanjikan tambahan anggaran militer kepada entitas Yahudi sebesar Rp 225 triliun untuk memerangi Hamas. Padahal setiap tahunnya AS sudah memberikan dana militer Rp 60 triliun kepada negara Yahudi. Presiden AS Joe Biden juga mengirimkan Kapal Induk USS Gerald R. Ford yang mengangkut dua ribu marinir dan Kapal Induk USS Dwight D. Eisenhower. Presiden Prancis Macron juga langsung menemui pimpinan zionis Netanyahu dan berjanji akan membantu dia melawan para ’teroris’.

Sebaliknya, tak ada tindakan serupa yang dilakukan oleh para pemimpin Arab dan Dunia Islam untuk menghentikan agresi entitas Yahudi. Mulut mereka hanya berbusa-busa mengirim kecaman serta bantuan keuangan dan logistik seadanya. Lalu mereka sudah merasa puas dengan tindakan itu. Inilah pengkhianatan pertama mereka terhadap kaum Muslim dan negeri Palestina. Padahal mereka punya kekuatan militer besar yang bisa dipakai untuk menyelamatkan Palestina sekaligus menghancurkan negara zionis itu.

Pengkhianatan berikutnya, para pemimpin Muslim ini masih membuka hubungan bilateral dengan zionis Yahudi. Para penguasa Yordania, Qatar, Mesir dan Arab Saudi bahkan menolak usulan embargo minyak ke negeri Yahudi dalam konferensi tingkat tinggi (KTT) luar biasa antara Liga Arab dan Organisasi Kerja sama Islam (OKI) di Riyadh, Arab Saudi, pada Sabtu (11/11). Artinya, tangan para pemimpin Muslim itu ikut berlumuran darah Muslim Palestina. Pasalnya, mereka telah memberikan bahan bakar untuk kendaraan-kendaraan tempur zionis yang dipakai menggempur Gaza, membunuhi wanita, anak-anak dan bayi-bayi.

Sudah lama diketahui, eksistensi Yahudi itu disokong oleh sejumlah pemimpin Dunia Islam baik secara politik maupun hubungan ekonomi. Kaum zionis itu mendapatkan minyak bumi dari perdagangan dengan Azerbaijan, Kazakhstan dan Turki. Mereka juga mengandalkan pasokan air dengan membeli dari Yordania dan juga Turki.

Pengkhianatan mereka yang lain adalah menjadikan negara-negara mereka sebagai jalur perlintasan militer Amerika Serikat yang membantu entitas Yahudi. Ketika muncul krisis di Gaza, pemerintah Yordania yang ketakutan menampung dua skuadron pesawat tempur AS dan menerima pembangunan sistem rudal patriot. AS juga telah lama membangun sejumlah pangkalan militer di beberapa negeri Muslim seperti Arab Saudi, Qatar, Kuwait, UAE dan Turki. Pangkalan-pangkalan militer itu bisa digunakan untuk memudahkan mobilisasi militer AS ke Timur Tengah.

Para pemimpin Arab dan Dunia Islam bukan saja mengkhianati Palestina. Mereka juga sudah tidak malu lagi mengkhianati Allah dan Rasul-Nya. Mereka bersekutu dengan musuh-musuh Allah. Padahal Allah telah berfirman:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَتَّخِذُواْ بِطَانَةً مِّن دُونِكُمۡ لَا يَأۡلُونَكُمۡ خَبَالاً وَدُّواْ مَا عَنِتُّمۡ قَدۡ بَدَتِ ٱلۡبَغۡضَآءُ مِنۡ أَفۡوَٰهِهِمۡ وَمَا تُخۡفِي صُدُورُهُمۡ أَكۡبَرُۚ قَدۡ بَيَّنَّا لَكُمُ ٱلۡأٓيَٰتِۖ إِن كُنتُمۡ تَعۡقِلُونَ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menjadikan teman kepercayaan kalian orang-orang yang ada di luar kalangan kalian. Mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemadaratan bagi kalian. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kalian. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, sementara apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepada kalian ayat-ayat (Kami) jika saja kalian paham (TQS Ali Imran [3]: 118).

Pengkhianatan mereka berikutnya adalah menyerahkan nasib Palestina kepada PBB agar menerima gencatan senjata dan solusi dua negara (two-state solution). Usulan solusi ini sama saja dengan mengakui eksistensi entitas Yahudi yang telah merampok dan membunuhi warga Palestina untuk tetap memiliki daerah rampasan mereka. Kaum Muslim Palestina dipaksa untuk mengakui keberadaan para penjajah di atas tanah mereka. Inilah sikap pengecut dan pandir para pemimpin Dunia Islam yang beramai-ramai menyerahkan Palestina untuk terus dijagal oleh zionis Yahudi. Padahal seharusnya para pemimpin Dunia Islam mengirimkan pasukan untuk membebaskan negeri Palestina dari kaum zionis penjajah.

Gaza Ladang Syuhada

Sikap ksatria justru ditunjukkan oleh kaum Muslim di tanah Palestina, khususnya Gaza. Mereka memberikan perlawanan terhadap militer zionis. Sepanjang pertempuran para pejuang Muslim yang tergabung dalam Brigade Izzuddin al-Qasam berhasil menghancurkan 136 kendaraan militer canggih milik zionis seperti tank dan kendaraan lapis baja, menewaskan lebih dari 400 prajurit dan pasukan keamanan zionis.

Perlawanan kaum Muslim Palestina adalah jihad fi sabilillah, bukan tindakan terorisme seperti yang dipropagandakan zionis Yahudi dan negara-negara Barat. Para pejuang Palestina mengangkat senjata untuk mempertahankan negeri Muslim dari serangan kaum kuffâr dan mengusir mereka. Ini adalah pelaksanaan firman Allah SWT:

وَاقْتُلُوهُمْ حَيْثُ ثَقِفْتُمُوهُمْ وَأَخْرِجُوهُم مِّنْ حَيْثُ أَخْرَجُوكُمْ

Perangilah mereka di mana saja kalian menjumpai mereka dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kalian (TQS al-Baqarah [2]: 191).

Mereka juga mengamalkan sabda Nabi saw.:

جَاهِدُوا اَلْمُشْرِكِينَ بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ وَأَلْسِنَتِكُمْ

Berjihadlah kalian melawan kaum musyrik dengan harta, jiwa dan lisan kalian (HR Ahmad dan Nasa’i).

Segala pengorbanan harta dan jiwa mereka di jalan Allah tidak akan percuma. Sungguh semua itu adalah perdagangan dengan Allah yang akan dibayar dengan surga. Allah SWT berfirman:

إِنَّ ٱللَّهَ ٱشۡتَرَىٰ مِنَ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ أَنفُسَهُمۡ وَأَمۡوَٰلَهُم بِأَنَّ لَهُمُ ٱلۡجَنَّةَۚ يُقَٰتِلُونَ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ فَيَقۡتُلُونَ وَيُقۡتَلُونَۖ وَعۡدًا عَلَيۡهِ حَقًّا فِي ٱلتَّوۡرَىٰةِ وَٱلۡإِنجِيلِ وَٱلۡقُرۡءَانِۚ وَمَنۡ أَوۡفَىٰ بِعَهۡدِهِۦ مِنَ ٱللَّهِۚ فَٱسۡتَبۡشِرُواْ بِبَيۡعِكُمُ ٱلَّذِي بَايَعۡتُم بِهِۦۚ وَذَٰلِكَ هُوَ ٱلۡفَوۡزُ ٱلۡعَظِيمُ

Sungguh Allah telah membeli dari kaum Mukmin diri dan harta mereka dengan bayaran surga untuk mereka. Mereka berperang di jalan Allah. Lalu mereka membunuh atau terbunuh. Itu telah menjadi janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan al-Quran. Siapakah yang lebih menepati janji (selain) Allah? Karena itu bergembiralah dengan jual-beli yang telah kalian lakukan itu. Itulah kemenangan yang besar (TQS at-Taubah [9]: 111).

Gugurnya para pejuang sebagai syuhada juga dimuliakan Allah. Allah menyebut mereka tetap hidup dan mendapatkan rezeki-Nya:

وَلَا تَحۡسَبَنَّ ٱلَّذِينَ قُتِلُواْ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ أَمۡوَٰتَۢاۚ بَلۡ أَحۡيَآءٌ عِندَ رَبِّهِمۡ يُرۡزَقُونَ

Janganlah kalian mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati. Bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhan mereka dengan mendapat rezeki (TQS Ali Imran [3]: 169).

Sudah banyak beredar berita bahwa jasad-jasad para syuhada Gaza menebarkan aroma harum yang menakjubkan. Inilah kemuliaan para pejuang Islam.

Wahai kaum Muslim: Anda sekalian telah melihat dengan mata terbuka kepengecutan para pemimpin Arab dan Dunia Islam. Mereka bersembunyi di balik singgasana dan jubah mereka. Mereka tidak malu dengan anak-anak dan perempuan di Gaza yang melemparkan batu ke arah tentara Yahudi. Mereka bahkan menghadang tank baja walau ditebus dengan nyawa. Para pemimpin itu punya kekuatan militer besar, tetapi hanya menjadi penghuni barak. Peralatan tempur mereka teronggok di gudang-gudang sampai berkarat.

Mereka bangga patuh pada aturan PBB dan Konvensi Jenewa sambil mencampakkan perintah Allah SWT. Dunia tahu bagaimana Arab Saudi bisa mengerahkan pasukan untuk memerangi Houthi di Yaman Utara, tetapi berpangku tangan terhadap negara zionis. Turki membantu Ukraina melawan Rusia dengan mengirimkan drone bersenjata, mengirimkan operasi militer ke Irak dan Suriah; tetapi tak ada satu butir peluru pun ditembakkan ke arah militer zionis.

Apakah mereka lupa kalau kekuasaan di dunia adalah fana dan akan berakhir? Tidakkah mereka mengambil pelajaran dari para pemimpin sebelumnya seperti Raja Faisal di Arab Saudi, Raja Farouk di Mesir, Saddam Husein di Irak, Qadafi di Libya? Mereka pada akhirnya digulingkan juga oleh Amerika dan Inggris dari kekuasaan mereka. Padahal mereka sudah menghambakan diri menjadi pelayan-pelayan Barat dan menzalimi umat.

Seharusnya mereka mengingat janji Allah SWT:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ تَنْصُرُوا اللَّهَ يَنْصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ

Wahai orang-orang yang beriman! Jika kalian menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolong kalian dan meneguhkan kedudukan kalian (TQS Muhammad [47]: 7).

WalLâhu a’lam. []

—*—

Hikmah:

Nabi saw. bersabda:

لِكُلِّ غَادِرٍ لِوَاءٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يُرْفَعُ لَهُ بِقَدْرِ غَدْرِهِ، أَلَا وَلَا غَادِرَ أَعْظَمُ غَدْرًا مِنْ أَمِيرِ عَامَّةٍ

Setiap pengkhianat memiliki panji pada Hari Kiamat yang akan dikibarkan setinggi-tingginya sesuai kadar pengkhianatannya. Ketahuilah tidak ada pengkhianat yang lebih besar penghianatannya daripada pengkhianatan seorang pemimpin kepada rakyatnya. (HR Muslim). []


Palestina makin menderita. Entitas Yahudi terus melancarkan serangan balasan membabi-buta. Bukan saja terhadap pejuang Palestina, tetapi juga warga sipil, anak-anak, perempuan, tenaga medis, juga jurnalis. Bahkan rombongan pengungsi pun dihadang serangan brutal militer. Sampai tanggal 15 Oktober kemarin, Kementerian Kesehatan melaporkan jumlah korban tewas di Gaza mencapai 2.450 jiwa. Termasuk 724 di antaranya anak-anak. Korban luka-luka 9.200 orang.

Jumlah bom yang dijatuhkan kaum agresor Yahudi mencapai 6 ribu bom dengan total berat 4 ribu ton. Militer Israel juga menggunakan bom fosfor putih. Bom tersebut sesungguhnya telah dilarang penggunaannya di medan perang karena efek merusaknya yang dahsyat pada korban.

Penderitaan warga Palestina semakin bertambah dengan hancurnya fasilitas air bersih, adanya pemadaman listrik dan pemutusan hubungan internet oleh kaum Yahudi. Mereka membunuhi warga Palestina, terutama kaum Muslim. Namun, mereka juga berusaha rapat-rapat menutup kekejaman yang mereka lakukan. Lalu mereka menyebarkan hoaks kekejaman pasukan HAMAS yang sama sekali tidak terbukti.

Agresor dan Penjajah

Klaim kaum Yahudi dibantu Barat yang selalu menyatakan bahwa apa yang mereka lakukan selama ini terhadap bangsa Arab, khususnya penduduk Palestina, sebagai ’self defense’ (membela diri) adalah kebohongan. Nyatanya setiap hari mereka melakukan penggusuran, pengusiran dan pembunuhan terhadap rakyat Palestina. Termasuk membunuhi wanita, lansia dan anak-anak.

Klaim mereka sebagai penduduk asli tanah Palestina dan pemilik tanah yang dijanjikan Tuhan juga dusta besar. Pernyataan itu sesungguhnya adalah kedustaan yang dikarang oleh pendiri negara Yahudi, Theodor Herzl. Hakikatnya mereka adalah agresor keji. Tak ada satu pun ayat dalam kitab suci terdahulu, apalagi dalam al-Quran, yang menyatakan Palestina sebagai tanah yang dijanjikan Tuhan untuk mereka.

Kaum Zionis Yahudi mendapatkan tanah Palestina lewat bantuan Inggris dan Prancis melalui Perjanjian Sykes-Picot. Kedua negara tersebut mendukung pembentukan negara Yahudi di tanah Palestina. Kedua negara ini bersekongkol untuk menyembelih Khilafah Utsmaniyah. Mereka lalu menjadikan tanah air kaum Muslim, termasuk tanah Palestina, sebagai harta rampasan mereka.

Mengapa Harus Jihad?

Ada tiga alasan mengapa solusi pembebasan Palestina hanya bisa dilakukan dengan jihad fi sabilillah. Pertama: Siapapun yang masih waras akan melihat kemustahilan mengakhiri penjajahan Zionis Yahudi lewat jalur politik. Berbagai perundingan yang dilakukan oleh negara-negara Barat, termasuk PBB, dengan otoritas Palestina dan kaum Yahudi penjajah tidak memberikan keuntungan apa-apa bagi warga Palestina. Malah wilayah Palestina makin terus dicaplok oleh kaum Zionis, sementara dunia mendiamkan hal itu.

Berbagai kutukan dan resolusi PBB, termasuk kecaman dari para pemimpin Dunia Islam, juga tidak berpengaruh apapun terhadap kaum Yahudi. Badan Hak Asasi Manusia PBB (UNHCR) sejak tahun 2006 sudah mengeluarkan 45 resolusi menentang kaum Yahudi. Namun, tak ada satu pun yang digubris.

Kedua: Islam telah mengharamkan berdamai dan bersahabat dengan entitas yang memerangi kaum Muslim. Karena itu apapun bentuk perdamaiannya, apalagi solusi dua negara yang ditawarkan Barat, adalah haram. Allah SWT berfirman:

إِنَّمَا يَنۡهَىٰكُمُ ٱللَّهُ عَنِ ٱلَّذِينَ قَٰتَلُوكُمۡ فِي ٱلدِّينِ وَأَخۡرَجُوكُم مِّن دِيَٰرِكُمۡ وَظَٰهَرُواْ عَلَىٰٓ إِخۡرَاجِكُمۡ أَن تَوَلَّوۡهُمۡۚ وَمَن يَتَوَلَّهُمۡ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلظَّٰلِمُونَ

Sungguh Allah telah melarang kalian menjadikan sebagai kawan kalian orang-orang yang memerangi kalian karena agama, mengusir kalian dari negeri kalian, dan membantu (orang lain) untuk mengusir kalian. Siapa saja yang menjadikan mereka sebagai kawan, mereka itulah kaum yang zalim (TQS al-Mumtahanah [60]: 9).

Ketiga: Syariah Islam telah mewajibkan jihad fi sabilillah atas kaum Muslim ketika mereka diperangi musuh. Allah SWT berfirman:

فَمَنِ اعْتَدَىٰ عَلَيْكُمْ فَاعْتَدُوا عَلَيْهِ بِمِثْلِ مَا اعْتَدَىٰ عَلَيْكُمْ

Siapa saja yang menyerang kalian, seranglah dia seimbang dengan serangannya terhadap kalian (TQS al-Baqarah [2]: 194).

Allah SWT juga memerintahkan untuk mengusir siapapun yang telah mengusir kaum Muslim:

وَاقْتُلُوهُمْ حَيْثُ ثَقِفْتُمُوهُمْ وَأَخْرِجُوهُم مِّنْ حَيْثُ أَخْرَجُوكُمْ

Perangilah mereka di mana saja kalian menjumpai mereka dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kalian (TQS al-Baqarah [2]: 191).

Qadhi Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahulLâh dalam kitab Asy-Syakhsiyyah al-Islâmiyyah Jilid 2 menyatakan bahwa jihad adalah fardhu ’ain jika kaum Muslim diserang oleh musuh. Fardhu ain ini bukan hanya berlaku untuk Muslim Palestina, tetapi juga bisa meluas bagi kaum Muslim di sekitar wilayah Palestina jika agresi musuh tidak bisa dihadang warga setempat.

Ini juga sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Said bin Ali Wahf al-Qahthani dalam kitab Al-Jihâd fî SabîlilLâh: ”Jika musuh telah memasuki salah satu negeri kaum Muslim maka fardhu ’ain atas penduduk negeri tersebut untuk memerangi musuh dan mengusir mereka. Juga wajib atas kaum Muslim untuk menolong negeri itu jika penduduknya tidak mampu mengusir musuh. Hal itu dimulai dari yang terdekat kemudian yang terdekat.” (Al-Qahthani, Al-Jihâd fî SabîlilLâh Ta’âla, hlm. 7, Maktabah Syamilah).

Berdasarkan hukum ini, wajib bagi kaum Muslim di wilayah terdekat Palestina seperti Yordania, Mesir, Libanon dan Suriah untuk mengirimkan pasukan untuk mengusir kaum Yahudi sampai mereka benar-benar terusir dari sana. Haram bagi mereka berdiam diri atau hanya sekadar mengecam.

Karena itu jihad adalah solusi bagi agresi Zionis Yahudi atas tanah Palestina. Hal itu sesungguhnya sangat mudah. Pasalnya, kekuatan militer negeri-negeri Muslim seperti Mesir, Suriah dan Yordania secara perhitungan jauh di atas kekuatan militer kaum Yahudi. Sebagai perbandingan, Pasukan Pertahanan Yahudi (IDF) hanya berjumlah 169.500 orang, 1.300 tank. Adapun kekuatan militer Mesir adalah 450.000 personel militer aktif, dengan tank perang 2,16 ribu dan 5,7 ribu kendaraan perang. Apalagi jika negeri-negeri Muslim lainnya bersatu. Dengan izin Allah, kekuatan entitas Yahudi akan hancur-lebur.

Mengapa Harus Khilafah?

Melihat realitas politik hari ini, tidak mungkin kaum Muslim mengharapkan pihak lain, termasuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), untuk menolong mereka. Justru PBB juga terlibat dalam kelahiran dan pengakuan negara Yahudi tersebut. Mustahil pula meminta bantuan kepada negara-negara Barat karena mereka, baik AS maupun Uni Eropa, mendukung kaum Yahudi penjajah. Amerika Serikat akan mengerahkan bantuan militer saat ini. Secara rutin mereka pun setiap tahun menggelontorkan USD3,8 miliar (lebih dari Rp 54 triliun) untuk keperluan militer kaum Yahudi.

Tampak bahwa entitas Yahudi ini menjadi kuat karena disokong oleh kekuatan besar. Karena itu sudah seharusnya Palestina pun didukung oleh kekuatan besar kaum Muslim. Jika Barat yang kafir bersatu membela entitas Yahudi, mengapa para pemimpin Dunia Islam hanya diam dan mengoceh belaka? Seolah-olah mereka tidak pernah membaca firman Allah SWT:

وَاقْتُلُوهُمْ حَيْثُ ثَقِفْتُمُوهُمْ وَأَخْرِجُوهُمْ مِنْ حَيْثُ أَخْرَجُوكُمْ

Perangilah mereka di mana saja kalian menjumpai mereka dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kalian (TQS al-Baqarah [2]: 191).

Oleh sebab itu, Palestina hanya bisa dibebaskan jika Khilafah berdiri untuk melindungi tanah yang Allah berkahi tersebut. Khilafah pun akan mengusir para penjajah dari Dunia Islam. Dulu Palestina juga masuk ke dalam pelukan dan perlindungan kaum Muslim pada masa Kekhilafahan Umar bin al-Khaththab ra. Saat itu Amirul Mukminin Umar bin al-Khaththab ra. menandatangani Perjanjian Umariyah bersama Uskup Yerusalem Sofronius. Di antara klausulnya adalah tidak mengizinkan seorang Yahudi pun tinggal di tanah Palestina.

Pada masa Rasulullah saw., kaum Yahudi di Madinah juga terusir dari Madinah setelah mereka melakukan pengkhianatan terhadap Negara Islam dan kaum Muslim. Kaum Yahudi Bani Qainuqa diperangi dan diusir oleh Rasulullah saw. setelah mereka melecehkan kehormatan seorang Muslimah dan membunuh seorang laki-laki pedagang Muslim yang membela muslimah tersebut. Yahudi Bani Quraizhah diperangi oleh kaum Muslim setelah mereka bersekongkol dengan kaum musyrik Quraisy untuk membunuh Nabi saw. pada Perang Ahzab.

Khilafah pula yang membentengi Palestina untuk terakhir kali dari tipudaya gembong Yahudi Theodor Herzl yang merayu Khalifah Sultan Abdul Hamid II. Kala itu Herzl mencoba menyogok Khalifah dengan uang yang sangat banyak dan berjanji akan melunasi utang-utang Khilafah Utsmaniyah. Namun, harga diri dan ghirah Islam Sultan Abdul Hamid II amat tinggi. Ia menolak tawaran itu bahkan meludahi Herzl.

Karena itulah eksistensi Khilafah Islamiyah adalah vital dan wajib bagi kaum Muslim karena ia akan menjadi pelindung umat. Khilafah adalah perisai yang akan melindungi umat sehingga mereka merasa aman dan nyaman. Dengan Khilafah, harta, darah dan jiwa umat tidak akan tumpah sia-sia. Akan ada pembelaan dan pembalasan untuk itu semua.

WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. []

Hikmah:

Nabi Muhammad saw. bersabda:

إِنَّمَا الْإِمَامُ جُنَّةٌ، يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ، وَيُتَّقَى بِهِ

Sungguh Imam (Khalifah) itu laksana perisai; orang-orang akan berperang di belakang dia dan menjadikan dia sebagai pelindung (mereka). (HR Muslim).[]

Oleh: Refa | 22 September 2023

HARAM MERAMPAS LAHAN SECARA ZALIM


Warga Melayu di Rempang menjerit pilu. Lahan yang sudah mereka tempati sejak turun-temurun, tanpa mereka ketahui, ternyata kepemilikannya sudah berpindah tangan. Kini mereka dihadapkan pada kebijakan penggusuran. Di atas tanah mereka akan dibangun Rempang Eco City. Di Kepulauan Rempang akan dibangun juga industri silika dan solar panel milik perusahaan Cina.

Konflik pun pecah. Warga yang berusaha mempertahankan lahan mereka dihalau oleh aparat keamanan dengan cara kekerasan. Pemerintah memaksa warga harus mengosongkan lahan mereka segera. Pemerintah berdalih, investasi yang bernilai Rp 300 triliun itu akan meningkatkan pendapatan asli daerah dan menyejahterakan warga. Meski banyak menuai kecaman, Pemerintah tetap akan melanjutkan proyek tersebut.

Konflik Lahan Marak

Konflik Rempang menambah panjang deretan persoalan lahan di Tanah Air. Komisi Ombudsman menyebutkan laporan masyarakat tentang agraria mencapai 1.612 laporan sepanjang 2021. Pada tahun 2022, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional saat itu membeberkan jumlah tanah sengketa yang terdaftar sudah hampir 90 juta bidang tanah, sementara yang berkonflik mencapai 8.000 kasus. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mendata sepanjang delapan tahun kepemimpinan Jokowi ada 2.710 konflik agraria di seluruh Indonesia dan tidak ada solusi nyata untuk itu.

Dalam kasus Rempang, Pemerintah berdalih warga tidak mempunyai hak kepemilikan dan hak pemanfaatan. Karena itu Pemerintah mengklaim kebijakan di Rempang adalah pengosongan, bukan penggusuran. Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Hadi Tjahjanto menyebutkan warga Rempang tidak punya sertifikat lahan. Dengan alasan itulah, sejak tahun 2001 Pemerintah pusat dan BP Batam menerbitkan Hak Pengelolaan Lahan (HPL) untuk perusahaan swasta. HPL itu kemudian berpindah tangan ke PT Makmur Elok Graha.

Ada indikasi Pemerintah menggunakan cara domein verklaring, yakni “negaraisasi” lahan. Artinya, lahan yang tidak memiliki bukti kepemilikan secara otomatis beralih menjadi milik negara. Lalu Negara berwenang untuk mengelola lahan itu, termasuk menyerahkan lahan tersebut kepada pihak lain.

Domein verklaring adalah konsep kolonialis Belanda untuk menguasai lahan milik pribumi yang tidak mempunyai bukti kepemilikan lahan. Kekhawatiran ini disampaikan sejumlah pihak, termasuk Komnas HAM, saat mengkritisi RUU Pertanahan pada tahun 2019. Dengan adanya UU Cipta Kerja juga banyak pihak yang mengkhawatirkan warga akan mudah kehilangan hak kepemilikan lahan. Pasalnya, dalam UU Cipta Kerja (Pasal 103 ayat 2) disebutkan: “Untuk kepentingan umum dan/atau proyek strategis nasional, lahan budidaya pertanian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dialihfungsikan.”

Kepemilikan lahan oleh warga juga terancam oleh maraknya penggandaan sertifikat kepemilikan lahan. Banyak warga berkonflik karena sertifikat lahan ternyata dimiliki lebih dari satu orang. Ironinya, kejahatan penggandaan sertifikat lahan ini dilakukan mafia tanah yang justru kerap melibatkan oknum pejabat Badan Pertanahan Negara.

Islam Melindungi Kepemilikan Lahan

Beda dengan sistem hukum lahan di negeri ini, syariah Islam melindungi harta masyarakat secara total, termasuk lahan. Islam mengatur skema kepemilikan lahan dengan adil. Warga bisa memiliki lahan melalui pemberian seperti hadiah atau hibah dan warisan. Islam juga membolehkan Negara Khilafah membagikan tanah kepada warga secara cuma-cuma. Rasulullah saw., misalnya, pernah memberikan tanah kepada beberapa orang dari Muzainah atau Juhainah. Beliau pun pernah memberikan suatu lembah secara keseluruhan kepada Bilal bin al-Harits al-Mazani.

Syariah Islam juga menetapkan bahwa warga bisa memiliki lahan dengan cara mengelola tanah mati, yakni lahan tak bertuan, yang tidak ada pemiliknya. Rasulullah saw. bersabda:

مَنْ أَحْيَا أَرْضًا مَيْتَةً فَهِيَ لَهُ وَلَيْسَ لِعِرْقٍ ظَالِمٍ حَقٌّ

Siapa saja yang menghidupkan tanah mati maka tanah itu menjadi miliknya dan tidak ada hak bagi penyerobot tanah yang zalim (yang menyerobot tanah orang lain) (HR at-Tirmidzi, Abu Dawud dan Ahmad).

Beliau juga bersabda:

‌مَنْ ‌سَبَقَ إِلَى مَا ‌لَمْ ‌يَسْبِقْ إِلَيْهِ مُسْلِمٌ فَهُوَ لَهُ

Siapa saja yang lebih dulu sampai pada sebidang tanah, sementara belum ada seorang Muslim pun yang mendahuluinya, maka tanah itu menjadi miliknya (HR ath-Thabarani).

Dengan demikian lahan yang tidak ada pemiliknya, lalu dihidupkan oleh warga dengan cara ditanami, misalnya, atau didirikan bangunan di atasnya, atau bahkan dengan sekadar dipagari, maka otomatis lahan itu menjadi miliknya. Nabi saw. bersabda:

مَنْ أَحَاطَ حَائِطًا عَلَى أَرْضٍ فَهِيَ لَهُ

Siapa saja yang mendirikan pagar di atas tanah (mati) maka tanah itu menjadi miliknya (HR ath-Thabarani).

Namun demikian syariah Islam juga mengingatkan para pemilik lahan agar tidak menelantarkan lahannya. Penelantaran lahan selama tiga tahun menyebabkan gugurnya hak kepemilikan atas lahan tersebut. Selanjutnya lahan itu bisa diambil paksa oleh Negara dan diberikan kepada pihak yang sanggup mengelola lahan tersebut. Ketetapan ini berdasarkan Ijmak Sahabat pada masa Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. Imam Abu Yusuf dalam Kitab Al-Kharâj mencantumkan perkataan Khalifah Umar ra., “Tidak ada hak bagi pematok lahan setelah tiga tahun (ditelantarkan),” (Abu Yusuf, Al-Kharâj, 1/77, Maktabah Syamilah).

Imam Abu Ubaid dalam Kitab Al-Amwâl meriwayatkan bahwa Khalifah Umar ra. pernah mengambil kembali lahan milik Bilal bin al-Harits al-Mazani. Sebelumnya lahan tersebut merupakan pemberian dari Rasulullah saw. Namun, Khalifah Umar ra. melihat lahan tersebut ditelantarkan. Kemudian beliau memerintahkan agar Bilal hanya boleh menguasai lahan seluas yang sanggup ia kelola (Abu Ubaid, Al-Amwâl, hlm. 328, Maktabah Syamilah).

Hukum yang jelas seperti ini akan memberikan keadilan bagi para pemilik lahan. Kepemilikan mereka yang telah puluhan tahun atas lahan tidak bisa dibatalkan atau diambil-alih oleh siapa saja, bahkan oleh Negara sekalipun, hanya karena tidak bersertifikat. Malah terbukti, ketika sertifikat menjadi satu-satunya bukti keabsahan kepemilikan lahan, ini justru membuka terjadinya perampasan lahan. Pasalnya, ada segelintir orang yang mempunyai akses mengurus sertifikat lahan. Sebaliknya, warga yang tidak mempunyai akses mengurus lahan terancam status kepemilikannya. Bahkan karena tidak ada sertifikat, Negara bisa semena-mena mengambil-alih lahan milik warga yang sudah turun-temurun mereka kelola dan mereka huni.

Zalim!

Perampasan lahan tanpa alasan syar’i adalah perbuatan ghasab dan zalim. Allah SWT telah mengharamkan memakan harta sesama manusia dengan cara yang batil, termasuk dengan cara menyuap penguasa, agar diberikan kesempatan merampas hak milik orang lain. Allah SWT berfirman:

وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ

Janganlah kalian makan harta di antara kalian dengan cara yang batil. (Jangan pula) kalian membawa urusan harta itu kepada para penguasa dengan maksud agar kalian dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kalian tahu (TQS al-Baqarah [2]: 188).

Ayat di atas secara tegas mengancam siapa saja yang ingin menguasai harta orang lain, termasuk lahan orang lain, dengan cara menyuap penguasa. Suatu hal yang dipandang lumrah hari ini. Tidak jarang orang-orang kaya, termasuk pengusaha, menyuap pejabat agar dapat menguasai lahan sekalipun dengan cara merampas lahan tersebut dari orang lain.

Tentang perampasan tanah, Nabi saw. telah mengancam para pelakunya dengan siksaan yang keras pada Hari Akhir. Beliau bersabda:

مَنْ أَخَذَ شِبْرًا مِنَ الأَرْضِ ظُلْمًا، فَإِنَّهُ يُطَوَّقُهُ يَوْمَ القِيَامَةِ مِنْ سَبْعِ أَرَضِيْنَ

Siapa saja yang mengambil sejengkal tanah secara zalim, maka Allah akan mengalungkan tujuh bumi kepada dirinya (HR Muttafaq ‘alayh).

Rasulullah saw. juga mengingatkan bahwa Allah SWT menunda balasan bagi para pelaku kezaliman. Namun, ketika Allah menurunkan siksa-Nya, tak ada yang dapat lolos dari azab tersebut. Beliau bersabda:

إِنَّ اللهَ لَيُمْلِـي لِلظَّالِـمِ حَتَّى إِذَا أَخَذَهُ لَـمْ يُفْلِتْهُ

Sungguh Allah pasti menunda (hukuman) bagi orang zalim. Namun, jika Allah telah menyiksa orang zalim itu, Allah tidak akan melepaskan dirinya (HR al-Bukhari).

Wahai kaum Muslim, sengketa lahan dan perampasan lahan tidak akan pernah tuntas selama tidak dikelola dengan syariah Islam. Aturan hari ini akan terus mengancam pemilik lahan, terutama rakyat. Mereka kesulitan mendapatkan pengakuan atas kepemilikan lahan mereka. Sebaliknya, penguasanya justru lebih sering berpihak pada korporasi atas nama investasi. Hari ini saja di Tanah Air jauh lebih banyak lahan dikuasai oleh pengusaha daripada oleh rakyat biasa. Walhi menyebutkan 94,8% lahan dikuasai oleh para pengusaha. Begitu sedikit yang tersisa untuk rakyat. Ini akibat tata kelola lahan yang rusak dan keberpihakan penguasa kepada pengusaha, bukan kepada rakyat. Inilah sumber kerusakan tersebut.

Hanya syariah Islam yang bisa memberikan perlindungan menyeluruh dan berkeadilan untuk seluruh umat manusia. Bergegaslah menuju penerapannya. Dengan penerapan syariah Islam, Allah SWT pasti akan mendatangkan keberkahan berlimpah untuk umat manusia.

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَٰكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

Jika penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi. Akan tetapi, mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu. Karena itu Kami menyiksa mereka disebabkan perbuatan mereka itu (TQS al-A’raf [7]: 96). []

—*—

Hikmah:

Rasulullah saw. bersabda:

وَاتَّقِ دَعْوَةَ الْمَظْلُومِ، فَإِنَّ دَعْوَةَ الْمَظْلُومِ مُجَابَةٌ

Takutlah terhadap doa orang yang terzalimi karena doa orang yang terzalimi itu mustajab (cepat terkabul). (HR Malik). []

Oleh: Refa | 15 September 2023

HARAM MENGAWASI DAN MENCURIGAI MASJID!


Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Rycko Amelza mengusulkan adanya mekanisme kontrol rumah ibadah. Tujuannya untuk mencegah penyebaran paham radikalisme. Usulan tersebut muncul saat menanggapi pernyataan anggota Komisi III DPR RI Irjen Pol (Purn) Drs. H. Safaruddin, M.I.Kom. Saat itu ia menyinggung adanya masjid di instansi Pemerintah di Kalimantan Timur yang menurut dia setiap hari isi ceramahnya mengkritik Pemerintah.

Selanjutnya BNPT juga akan melibatkan masyarakat agar turut mengawasi ceramah-ceramah di masjid. Harapannya, tokoh agama dan warga yang akan mencegah dan menegur ujaran yang menyebarkan rasa kebencian, kekerasan dan permusuhan.

Namun, rencana ini langsung menuai reaksi keras dari kalangan Muslim, bahkan juga dari Persatuan Gereja Indonesia (PGI). Wakil Ketua MUI Anwar Abbas menyatakan bahwa cara berpikir dan bersikap BNPT ini menunjukkan corak kepemimpinan yang tiranic dan despotisme. Ketua Muhammadiyah Haedar Nashir menilai usulan BNPT ini akan menimbulkan konflik antar golongan di masyarakat.

Tajassus Haram!

Mengawasi masjid dan aktivitas kaum Muslim di dalamnya adalah bentuk tajassus yang secara jelas hukumnya haram. Allah SWT berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا ۚ

Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka (kecurigaan), karena sebagian dari prasangka itu dosa. Janganlah kalian mencari-cari keburukan orang. Jangan pula kalian menggunjingkan satu sama lain (TQS al-Hujurat [49]: 12).

Maknanya, kata Imam Ibnu Jarir ath-Thabari rahimahulLâh, “Janganlah sebagian dari kalian mencari-cari keburukan orang lain. Jangan pula menyelidiki rahasia-rahasianya untuk mencari keburukan-keburukannya. Hendaklah kalian menerima urusannya yang tampak bagi kalian. Dengan yang tampak itu hendaknya kalian memuji atau mencela, bukan dengan rahasia-rahasianya yang tidak kalian ketahui.” (Tafsîr ath-Thabari, 7/85).

Larangan memata-matai sesama Muslim juga dipertegas oleh Nabi saw.:

«إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ، فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الحَدِيثِ، وَلاَ تَحَسَّسُوا، وَلاَ تَجَسَّسُوا، وَلاَ تَحَاسَدُوا، وَلاَ تَدَابَرُوا، وَلاَ تَبَاغَضُوا»

Jauhilah oleh kalian prasangka karena sungguh prasangka itu ujaran yang paling dusta. Jangan pula kalian melakukan tahassus, tajassus (mematai-matai), saling hasad, saling membelakangi dan saling membenci (HR al-Bukhari).

Para ulama memasukkan perbuatan memata-matai orang lain ke dalam dosa besar. Hal ini karena kerasnya ancaman bagi para pelakunya. Rasulullah saw. bersabda:

«وَمَنِ اسْتَمَعَ إِلَى حَدِيثِ قَوْمٍ، وَهُمْ لَهُ كَارِهُونَ، أَوْ يَفِرُّونَ مِنْهُ، صُبَّ فِي أُذُنِهِ الآنُكُ يَوْمَ القِيَامَةِ»

Siapa saja yang berusaha mendengarkan pembicaraan orang-orang, sedangkan mereka tidak suka (didengarkan), atau mereka menjauh dari dirinya, maka pada telinganya akan dituangkan cairan tembaga pada Hari Kiamat (HR al-Bukhari).

Ibnu Hajar al-Haitami rahimahulLâh berkata, “Perbuatan tajassus dikategorikan dosa besar tampak jelas di dalam hadis ini walaupun aku tidak melihat ulama menyebutkan demikian. Pasalnya, dituangkan cairan tembaga pada dua telinga pada Hari Kiamat merupakan ancaman yang sangat keras.” (Az-Zawâjir ‘an Iqtirâf al-Kabâ-ir, 2/268. Maktabah Syamilah).

Keharaman memata-matai orang lain juga dipertegas dalam hadis Nabi saw. berikut:

«لَوْ أَنَّ امْرَأً اطَّلَعَ عَلَيْكَ بِغَيْرِ إِذْنٍ فَخَذَفْتَهُ بِعَصَاةٍ فَفَقَأْتَ عَيْنَهُ، لَمْ يَكُنْ عَلَيْكَ جُنَاحٌ»

Andai seseorang mengintip dirimu tanpa izin, lalu engkau melempar dia dengan kerikil hingga engkau mencongkel matanya, maka engkau tidak berdosa (HR al-Bukhari dan Muslim).

Larangan memata-matai ini bersifat umum meliputi semua bentuk seperti: mengawasi dari kejauhan, menguping pembicaraan, memasang alat penyadap atau kamera; termasuk menyadap pembicaraan, email, whatsapp, atau meminta warga, untuk saling memata-matai tetangganya atau orang lain.

Keharaman tajassus juga berlaku baik atas individu rakyat, organisasi, perusahaan juga negara. Ini karena nas-nya bersifat umum. Obyek yang dimata-matai juga berlaku umum, baik terhadap warga Muslim maupun ahludz-dzimmah. Keharaman penguasa melakukan tindakan memata-matai warga disampaikan oleh Baginda Nabi saw.:

« إِنَّ الْأَمِيرَ إِذَا ابْتَغَى الرِّيبَةَ فِي النَّاسِ أَفْسَدَهُمْ»

Sungguh seorang penguasa itu, jika mencurigai rakyatnya, berarti ia telah merusak mereka (HR Ahmad).

Jadi jelas sudah, haram hukumnya mengawasi atau memata-matai masjid dan aktivitas dakwah di dalamnya.

Penguasa Wajib Dikoreksi

Mengoreksi penguasa adalah salah satu bentuk amar makruf nahi mungkar yang diperintahkan agama. Baginda Nabi saw. bersabda:

«لَتَأْمُرُنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلَتَنْهَوُنَّ عَنِ الْمُنْكَرِ أَوْ لَيُسَلِّطَنَّ اللَّهُ عَلَيْكُمْ شِرَارَكُمْ فَيَدْعُو خِيَارُكُمْ فَلَا يُسْتَجَابُ لَهُمْ»

Hendaklah kalian melakukan amar makruf nahi mungkar atau (jika tidak) Allah akan menjadikan orang yang berkuasa atas diri kalian adalah yang paling jahat di antara kalian, kemudian orang-orang terkemuka di antara kalian berdoa, tetapi doa mereka tidak dikabulkan (HR al-Bazzar).

Demikian agungnya amal mengoreksi penguasa hingga Nabi saw. menyebut amal ini sebagai jihad yang paling utama.

«أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ»

Jihad yang paling utama ialah menyatakan kebenaran di hadapan penguasa zalim (HR Abu Dawud).

Karena itu mengoreksi penguasa bukanlah menjelek-jelekkan penguasa atau ujaran kebencian (hate speech). Ini adalah kewajiban setiap muslim yang menyaksikan kemungkaran di hadapannya, terutama yang dilakukan penguasa. Nabi saw. bersabda:

«مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَراً فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَستَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَستَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيْمَانِ»

Siapa saja di antara kalian yang melihat kemungkaran, ubahlah dengan tangannya. Jika tidak bisa, ubahlah dengan lisannya. Jika tidak bisa, ingkarilah dengan hatinya, dan itu merupakan selemah-lemahnya iman (HR Muslim).

Penguasa yang menolak dikritisi oleh rakyatnya adalah ciri penguasa totaliter. Lebih mengherankan lagi jika ada wakil rakyat yang tidak mengkritik penguasa, atau malah marah dan menolak kritik dari rakyatnya. Padahal mereka adalah wakil rakyat dan digaji oleh rakyat untuk membela kepentingan rakyat.

Lebih tepat bila hari ini aparat keamanan mengawasi dan menindak setiap kebijakan pemerintah yang sudah banyak merugikan negara dan rakyat seperti sengketa lahan di kawasan Rempang, meninggalnya ratusan warga dalam Tragedi Kanjuruhan, penyelundupan jutaan ton nikel ke luar negeri, pengesahan UU Cipta Kerja, IKN, mangkrak dan tekornya banyak proyek yang dibangun pemerintah, seperti kereta cepat Jakarta-Bandung, dsb. Bukan malah memata-matai dan menindak rakyat yang melakukan koreksi pada penguasa. Itu ibarat pepatah; buruk muka cermin dibelah.

Padahal mencurigai apalagi menghalangi amar maruf nahi mungkar adalah tindakan kemungkaran. Apalagi sampai menghalang-halangi orang yang berdakwah menyampaikan kalimatullah di masjid. Allah SWT berfirman:

…أَلَا لَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الظَّالِمِينَ (18) الَّذِينَ يَصُدُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ وَيَبْغُونَهَا عِوَجًا وَهُمْ بِالْآخِرَةِ هُمْ كَافِرُونَ

Ingatlah, laknat Allah (ditimpakan) atas orang-orang zalim, (yaitu) orang-orang yang menghalangi (manusia) dari jalan Allah dan menghendaki (supaya) jalan itu bengkok. Mereka itulah orang-orang yang mengingkari adanya Hari Akhirat (TQS Hud [11]: 18-19).

Islamofobia

Pengawasan masjid dengan dalih pencegahan radikalisme adalah bentuk islamofobia. Takut dan benci pada ajaran agama seperti mencurigai aktivitas dakwah di masjid. Sebagaimana takut dan benci pada penerapan syariat Islam yang sebenarnya itu adalah kewajiban kaum muslimin.

Label radikalisme sendiri produk dari Barat untuk menyudutkan dan menyerang Islam. Barat menggunakan istilah radikalisme pada kelompok-kelompok Islam yang menolak tunduk pada kepentingan mereka dan menolak ajaran sekularisme-liberalisme yang mereka propagandakan. Kepentingan Barat itu adalah melestarikan imperialisme gaya baru mereka berupa penjajahan ekonomi, politik, sosial, budaya juga militer. Lalu Barat memuji-muji kelompok Islam yang akomodatif terhadap kepentingan mereka dan menerima ajaran-ajaran mereka dengan nama Islam moderat.

Padahal nilai-nilai sekularisme dan liberalisme yang dibungkus dengan demokrasi sudah terbukti mengandung mafsadat seperti: mengesahkan LGBT, melegalkan minuman keras, perzinaan dan pelacuran, muamalah ribawi, bahkan sekarang muncul wacana dari Pemerintah untuk memungut pajak dari judi online. Belum lagi penjarahan SDA dengan mengatasnamakan investasi yang hanya memberikan keuntungan pada para pengusaha asing dan aseng.

Wahai umat Muslim, mereka yang mencintai agamanya dan negerinya pasti tidak akan mau melihat negeri ini terseret menuju kehancuran. Mereka akan berusaha keras menyelamatkan umat dan negeri ini agar menjadi negeri yang penuh berkah. Untuk itulah dakwah harus digiatkan agar kalamullah menjadi tinggi dan syariah Islam dalam naungan Khilafah tegak di muka bumi.

«لَا يَزَالُ مِنْ أُمَّتِي أُمَّةٌ قَائِمَةٌ بِأَمْرِ اللَّهِ، لَا يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ، وَلَا مَنْ خَالَفَهُمْ، حَتَّى يَأْتِيَهُمْ أَمْرُ اللَّهِ وَهُمْ عَلَى ذَلِكَ»

Selalu ada dari umatku senantiasa yang menegakkan perintah Allah. Tidak dapat mencelakai mereka orang yang menghina mereka dan menyelisihi mereka hingga datang pertolongan Allah kepada mereka, sedangkan mereka tetap dalam kondisi demikian (HR al-Bukhari). []

Hikmah:

Nabi saw. bersabda:

اِذَا رَاَيْتُمُ الرَّجُلَ يَعْتَادُ الْمَسْجِدَ فَاشْهَدُوْا لَهُ باِلإِيْمَانِ

Artinya, “Apabila kamu sekalian melihat seseorang biasa ke masjid, maka saksikanlah bahwa ia benar-benar beriman.” (HR. Tirmidzi dari Abu Sa’id Al Khudri).[]

Oleh: Refa | 18 Agustus 2023

KEMERDEKAAN YANG SESUNGGUHNYA


Sebagaimana diketahui, penjajahan di dunia ini bisa dipilah menjadi dua. Pertama, penjajahan fisik. Kedua, penjajahan non-fisik.

Penjajahan fisik dilakukan dengan pendudukan (ihtilâl); dengan menduduki wilayah, menguasai sumber daya alam, menundukkan sumber daya manusianya, kemudian mengontrol kekuasaan militer, politik, pemerintahan, ekonomi, sosial, dan sebagainya. Inilah yang dilakukan oleh negara-negara penjajah Barat pengusung utama ideologi Kapitalisme-sekularisme pada masa lalu, khususnya di Dunia Islam, termasuk negeri ini.

Adapun penjajahan non-fisik dilakukan melalui pemikiran, pendidikan, budaya dan soft power yang lainnya. Biasanya dilakukan dengan menggunakan strategi dan agen. Mereka ditanam di semua sektor; mulai dari sektor politik, pemerintahan, militer, ekonomi, budaya, agama, hukum dan sebagainya. Inilah yang dilakukan oleh negara-negara penjajah Barat pengusung utama ideologi Kapitalisme-sekularisme pada masa sekarang, khususnya di Dunia Islam, termasuk negeri ini.

Karena itu secara de jure negeri-negeri kaum Muslim, termasuk negeri ini, memang sudah dinyatakan merdeka. Ini karena kaum penjajah telah lama meninggalkan negeri kaum Muslim. Namun, secara de facto pemikiran, mindset dan cara pandang penjajah itu tetap dipertahankan, terutama oleh para penguasa dan elit-elit politiknya. Bahkan mereka mengundang penjajah itu untuk mengangkangi dan mengeruk kekayaan negeri mereka atas nama “investasi” dan sebagainya.

Indonesia Hari Ini

Terkait Indonesia, era penjajahan fisik yang dialami bangsa ini memang sudah lama berakhir. Kaum penjajah yang pernah menjajah negeri ini pun—seperti Portugis, Belanda, Inggris dan Jepang—sudah lama terusir. Negeri ini bahkan telah merayakan Hari Kemerdekaan sekaligus Hari Ulang Tahun (HUT)-nya yang ke-78.

Namun sayang, setelah 78 tahun merdeka, cita-cita kemerdekaan yang diharap-harapkan oleh bangsa ini—adil, makmur, sejahtera, gemah ripah loh jinawi—masih jauh panggang dari api. Terbukti, angka kemiskinan masih tinggi. Angka pengangguran masih besar. Biaya pendidikan, khususnya pendidikan tinggi, masih mahal. Harga BBM, listrik, LPG dan sejumlah kebutuhan pokok terus merangkak naik. Aneka pajak pun terasa makin mencekik.

Di sisi lain, kesenjangan ekonomi makin melebar. Kekayaan alam lebih banyak dinikmati oleh segelintir orang. Mereka adalah para pengusaha dan korporasi asing dan aseng. Merekalah yang selama ini menguasai sebagian besar sumber daya alam (SDA) seperti barang tambang (emas, perak, nikel, tembaga, bijih besi), energi (seperti batubara) dan migas (minyak dan gas). Mereka pun—yakni para oligarki—menguasai sebagian besar lahan, termasuk hutan, yang sebagiannya telah berubah menjadi perkebunan sawit. Total luas area lahan yang mereka kuasai ratusan ribu bahkan jutaan hektar.

Yang tak kalah memprihatinkan, utang negara makin bertumpuk. Korupsi makin menjadi-jadi. BUMN banyak yang merugi. Banyak proyek infrastruktur yang kemudian menjadi beban negara, seperti proyek kereta cepat dan IKN.

Pada saat yang sama, ketidakadilan makin nyata. Hukum makin tajam ke bawah dan makin tumpul ke atas. Banyak koruptor dihukum ringan. Bahkan divonis bebas. Sebaliknya, tak sedikit rakyat kecil—misal yang mencuri tak seberapa dan sering karena dorongan rasa lapar—dihukum berat.

Belum lagi kita bicara moral. Sebagaimana diketahui, salah satu cita-cita utama kemerdekaan—terutama yang dirumuskan dalam sistem pendidikan nasional—adalah bagaimana melahirkan generasi yang beriman dan bertakwa. Faktanya, hari ini moralitas generasi muda makin merosot. Perilaku seks bebas makin liar. Bahkan banyak remaja terjerumus ke dalam perilaku LGBT. Banyak dari mereka yang terjerat narkoba. Kasus bullying (perundungan), khususnya di kalangan pelajar dan remaja, juga makin sering terjadi. Bahkan kasus kejahatan dengan pelaku pelajar dan mahasiswa sudah sering kita saksikan. Ragam kriminalitas pun makin hari makin beragam dan makin mengerikan.

Semua persoalan yang membelit bangsa ini bermuara pada keterjajahan bangsa ini secara non-fisik, bahkan dalam wujud yang paling fundamental: yakni keterjajahan secara pemikiran/ideologi. Harus diakui, bangsa dan negeri ini telah lama terjajah oleh pemikiran/ideologi Kapitalisme-sekuler. Keterjajahan oleh pemikiran/ideologi Kapitalisme-sekuler inilah yang menjadikan bangsa dan negeri ini terjajah secara non-fisik dalam berbagai bidang lainnya. Terjajah secara ekonomi, sosial, politik, budaya, hukum, pendidikan, dll.

Dengan demikian, kita memang layak dan wajib bersyukur karena kita telah lama terbebas dari penjajahan fisik. Namun, kita pun harus merasa prihatin dan tidak boleh melupakan bahwa bangsa ini masih dalam keterjajahan secara non-fisik, yang bermuara pada keterjajahan oleh pemikiran/ideologi Kapitalisme-sekuler.

Merdeka dari Segala Bentuk Penjajahan

Penjajahan, baik fisik maupun non-fisik, sesungguhnya merupakan manifestasi dari isti’bâd (perbudakan), yaitu menjadikan manusia sebagai budak bagi manusia lainnya. Karena itu Islam telah mengharamkan penjajahan. Allah SWT berfirman:

إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ لاَ إِلَٰهَ إِلاَّ أَنَا فَاعْبُدْنِي

Sungguh Aku adalah Allah. Tidak ada tuhan yang lain, selain Aku. Karena itu sembahlah Aku (QS Thaha [20]: 14).

Imam ath-Thabari menjelaskan: “Innanî ana Allâh (Sungguh Aku adalah Allah),” bermakna: Allah menyatakan, “Sungguh Akulah Tuhan Yang berhak disembah. Tak ada penghambaan kecuali kepada Dia. Tidak ada satu pun tuhan, kecuali Aku. Karena itu janganlah kalian menyembah yang lain, selain Aku. Sungguh tidak ada yang berhak menjadi tempat menghambakan diri, yang boleh dan layak dijadikan sembahan, selain Aku.” Lalu frasa, “Fa’budnî (Karena itu sembahlah Aku),” bermakna: Allah menyatakan, “Murnikanlah ibadah hanya kepada-Ku, bukan sesembahan lain, selain Aku.” (Ibn Jarir at-Thabari, Tafsîr ath-Thabari, QS Thaha [20]: 14).

Inilah kalimat tauhid. Kalimat tauhid ini pada dasarnya telah terpatri di dalam hati setiap Muslim. Jika tauhid mereka murni dan jernih, kemudian pemahaman yang terbentuk dari sana juga jernih, maka tauhid itu akan membangkitkan semangat penghambaan hanya kepada Allah. Spirit tauhid ini pun sekaligus akan membangkitkan perlawanan terhadap segala bentuk perbudakan/penghambaan atas sesama manusia, termasuk penjajahan atas segala bangsa. Inilah yang tampak dari kalimat Rub’i bin ‘Amir kepada panglima Persia, Rustum:

اللهُ اِبْتَعَثَنَا لِنُخْرِجَ مَنْ شَاءَ مِنْ عِبَادَةِ الْعِبَادِ إِلَى عِبَادَةِ اللهِ، وَ مِنْ ضَيْقِ الدُّنْيَا إِلىَ سِعَتِهَا، وَ مِنْ جُوْرِ اْلأَدْيَانِ إِلَى عَدْلِ اْلإِسْلاَمِ

“Allah telah mengirim kami untuk mengeluarkan (memerdekakan) siapa saja yang Dia kehendaki dari penghambaan kepada sesama manusia menuju penghambaan hanya kepada Allah; dari sempitnya dunia menuju keluasannya; dari kezaliman agama-agama yang ada menuju ke keadilan Islam.” (Ibn Jarir at-Thabari, Târîkh al-Umam wa al-Mulûk, 3/520; Ibn Katsir, Al-Bidâyah wa an-Nihâyah, 7/39).

Inilah spirit Islam. Spirit ini muaranya ada pada kalimat tauhid, “Lâ Ilâha illalLâh, Muhammad RasûlulLâh” (Tidak ada yang berhak disembah kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah).

Kemerdekaan Hakiki

Atas dasar itu, menjadi kewajiban kaum Muslim secara bersama, untuk bertafakur menyertai rasa syukur, dengan melihat realitas yang ada di negeri kita di segala bidang, sudahkah sistem yang mengatur kehidupan umat di segala bidang ditegakkan di atas prinsip tauhid? Sudahkah hakikat dan prinsip-prinsip kemerdekaan hakiki menurut ajaran Islam, seperti yang dikemukakan oleh Rub’i bin Amir di atas, telah kita dapatkan?

Jika belum, menjadi tugas kita bersama untuk mewujudkan kemerdekaan hakiki itu. Jika perjuangan dulu bertujuan untuk merebut kemerdekaan dari penjajahan fisik, kini diperlukan perjuangan baru untuk membebaskan umat dari penjajahan ideologi Kapitalisme-sekuler, hukum jahiliah, ekonomi kapitalis, budaya dan segenap tatanan yang tidak islami. Berikutnya kita wajib berjuang untuk menegakkan tatanan masyarakat dan negara yang benar-benar bertumpu pada prinsip-prinsip tauhid. Tatanan tersebut tidak lain adalah tatanan yang diatur oleh aturan-aturan Allah atau syariah Islam. Inilah kemerdekaan hakiki dalam pandangan Islam.

Dengan demikian, bangsa dan negeri ini bisa dikatakan benar-benar meraih kemerdekaan hakiki ketika mereka mau tunduk sepenuhnya kepada Allah. Tentu dengan menaati seluruh perintah dan larangan-Nya. Caranya dengan melepaskan diri dari belenggu ideologi dan sistem sekuler yang bertentangan dengan tauhid seraya menegakkan sistem Islam secara total.

Selain itu, misi Islam adalah mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya. Maka dari itu, tidak ada negeri yang dikuasai Islam berubah kusam, sengsara, mundur dan terbelakang. Pada masa lalu Spanyol dan beberapa negeri Eropa lain, misalnya, justru mencapai kemajuan ketika berada di bawah kekuasaan Islam, saat belahan dunia lain sedang mengalami masa kegelapan.

Alhasil, bangsa dan negeri ini pun, jika ingin lepas dari “kegelapan” menuju “cahaya”, atau jika ingin bebas dari segala keterpurukan (sebagaimana saat ini) menuju era kebangkitan dan kemajuan, mau tidak mau, harus merujuk pada Islam. Caranya dengan menerapkan pemikiran/ideologi dan sistem Islam secara kâffah dalam seluruh aspek kehidupan.

WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. []

—*—

Hikmah:

Sayidina Umar bin al-Khaththab ra. berkata:

إِنَّا كُنَّا أَذَلَّ قَوْمٍ، فَأَعَزَّنَا اللهُ بِاْلإِسْلاَمِ. فَمَهْمَا نَطْلُبُ الْعِزَّةَ بِغَيْرِ مَا أَعَزَّنَا اللهُ بِهِ، أَذَلَّنَا اللهُ

Sungguh, kami adalah bangsa yang paling hina. Lalu Allah memuliakan kami dengan Islam. Karena itu tatkala kami mencari kemuliaan tanpa Islam yang dengan Islam itu Allah telah memuliakan kami, Allah pasti akan (kembali) menghinakan kami. (HR al-Hakim).

Oleh: Refa | 11 Agustus 2023

KEMERDEKAAN UNTUK SIAPA?


Beberapa hari lagi negeri ini akan merayakan Hari Kemerdekaan ke-78. Umur yang menunjukkan bahwa bangsa ini semestinya sudah berada dalam kondisi makmur sejahtera, berkeadilan serta berdaulat tanpa tekanan dari pihak asing dan tidak bergantung pada mereka.

Karena itu agenda penting dalam menyambut Hari Kemerdekaan adalah merenungi perjalanan negeri ini; apakah kemerdekaan ini sudah mendatangkan berkah yang menyejahterakan rakyat atau sebaliknya. Bukan justru sibuk dengan agenda seremonial, lalu melupakan kondisi sesungguhnya.

Merdeka dan Keadilan Ekonomi

Setelah 78 tahun merdeka dari penjajahan fisik, mirisnya Indonesia masih terjerat utang yang mencekik. Pada bulan April Kementerian Keuangan melaporkan posisi utang Pemerintah adalah Rp 7.849,89 triliun. Sama artinya tiap warga Indonesia menanggung utang negara sebesar Rp 28 juta.

Apalagi menurut anggota Komisi XI DPR Misbakhun, utang Pemerintah sebenarnya lebih dari Rp 20.000 triliun. Menurut dia, angka itu merupakan akumulasi berbagai jenis utang. Jumlah itu adalah akumulasi utang sejak NKRI berdiri pada 1945 dengan semua periode presiden. Jika utang ini dikelola secara serampangan, ia bakal menjadi beban dan bom waktu yang akan meletus menjadi krisis dahsyat melebihi krisis moneter 97/98.

Prihatinnya lagi, dengan utang sebanyak itu nikmat kemerdekaan dan ekonomi hanya dinikmati segelintir orang. Laporan Global Wealth Report 2018 yang dirilis Credit Suisse menunjukkan: 1% orang terkaya di Indonesia menguasai 46,6% total kekayaan penduduk dewasa di Tanah Air; 10% orang terkaya menguasai 75,3% total kekayaan penduduk. Artinya, pembangunan selama masa kemerdekaan ini hanya dinikmati oleh sebagian kecil penduduk di negeri ini.

Ketidakadilan juga terjadi dalam kepemilikan lahan di Tanah Air. Pada tahun 2022, menurut Wakil Ketua Komisi II DPR RI Saan Mustopa, tercatat 68 persen tanah di Indonesia dikuasai 1 persen kelompok pengusaha dan korporasi besar. Bahkan ada satu korporasi yang menguasai lahan perkebunan sawit dengan luas total 123.591 hektare, hampir dua kali lipat wilayah DKI Jakarta yang luasnya 66.150 hektare.

Dengan ketimpangan seperti ini tidak aneh jika World Bank melaporkan bahwa 40 persen warga Indonesia terkategori miskin. Perhitungannya, garis kemiskinan ekstrem ditetapkan sebesar 2,15 dolar AS perkapita perhari. Ini setara dengan Rp 967.950 perkapita perbulan. Artinya, warga yang berpenghasilan di bawah itu patut disebut sebagai miskin. Sesuai hitungan World Bank, berarti ada 108 juta warga miskin Indonesia.

Dampak kemiskinan itu banyak. Ada 1,9 juta lulusan SMA yang tidak bisa melanjutkan kuliah karena tingginya biaya pendidikan. Ada 17 juta warga Indonesia terpapar gizi buruk yang merupakan angka tertinggi di Asia Tenggara. Ada 81 juta warga milenial tidak memiliki rumah. Ada 14 juta warga menempati hunian tidak layak huni. Jutaan rakyat Indonesia juga terbelit utang pinjol hingga puluhan triliun rupiah. Bahkan sudah terjadi kasus bunuh diri dan pembunuhan akibat riba pinjol.

Merdeka dan Pembangunan

Perihnya lagi, Pemerintah malah terus melakukan pembangunan yang tidak memberikan keuntungan bagi rakyat. Proyek IKN terus digarap meski sampai hari ini tidak ada kepastian investasi. Bahkan Presiden Jokowi sampai mengobral konsesi Hak Guna Usaha (HGU) sampai 190 tahun serta Hak Guna Bangunan (HGB) dan Hak Pakai (HP) sampai 160 tahun bagi investor di Ibu Kota Negara (IKN). Presiden juga sudah menjanjikan lahan seluas 34 ribu hektar bagi pengusaha Cina untuk berinvestasi di sana.

Ironinya, menurut Komisi Ombudsman, regulasi dari pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara saat ini masih memunculkan banyak permasalahan, terutama mengenai tata ruang (RDTR). Ombudsman menilai banyak status tanah yang tumpang-tindih. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan sejumlah NGO memperingatkan potensi konflik yang kemungkinan melibatkan 16.800 orang dari 21 masyarakat adat di sekitar IKN Nusantara.

Pemerintah juga terus ngotot melanjutkan pembangunan Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KJCB). Padahal proyek ini sudah molor dan menambah anggaran sampai Rp 110 triliun untuk lintasan hanya sepanjang 142,3 kilometer. Padahal dana sebanyak itu bisa dipakai pembangunan hampir 1 juta rumah bersubsidi yang dibutuhkan rakyat.

Sementara itu sumber daya alam yang harusnya bisa menyejahterakan rakyat justru banyak dikuasai korporasi lokal, asing dan aseng. Contohnya smelter nikel di Tanah Air justru banyak dikuasai perusahaan asal Cina yang membeli murah bijih nikel dari perusahaan pribumi. Mereka juga mendapatkan tax holiday dari Pemerintah selama 30 tahun. Diperkirakan Indonesia tekor Rp 32 triliun dari investasi smelter nikel asal Cina. Itu belum termasuk kerugian atas rusaknya alam dan lingkungan di sekitar smelter nikel.

Merdeka dan Keadilan Hukum

Bangsa yang merdeka juga seharusnya menikmati perlakuan hukum yang adil. Tidak pandang strata sosial dan jabatan. Kondisi ini tampaknya masih jauh dari realita. Survei Litbang Kompas Mei 2023 menemukan, penegakan hukum masih menjadi bidang yang nilai kepuasan publiknya paling rendah. Ini menandakan bahwa rakyat kian tidak percaya dengan penegakan hukum di Tanah Air.

Publik melihat dengan mata terbuka bagaimana para koruptor seperti mendapatkan privilege dalam penegakan hukum. Hukum sering dilihat tumpul ke atas, namun tajam ke bawah. Kasus mega skandal keuangan Rp 349 triliun di lingkungan Kementerian Keuangan sampai hari ini tidak terdengar kabarnya lagi. Begitu pula kasus Harun Masiku seperti lenyap begitu saja.

Indonesia Corruption Watch (ICW) mengeluhkan para koruptor sering mendapat hukuman ringan dan mudah mendapatkan remisi. Selain itu banyak mantan terpidana korupsi yang bisa aktif kembali berpolitik dan menjadi pejabat atau wakil rakyat. Bahkan ada tersangka korupsi yang masih juga dilantik menjadi kepala daerah.

Pelanggaran hukum dan ketidakadilan justru seperti dibiarkan oleh penguasa. Tewasnya 135 warga di stadion Kanjuruhan Malang sampai hari ini tidak mendapatkan keadilan. Bahkan Presiden Jokowi menyalahkan kondisi stadion yang tidak layak pakai. Pengadilan juga memutuskan aparat tidak bersalah karena kondisi itu disebabkan tiupan angin yang menyebabkan gas air mata mengarah pada penonton. Padahal keluarga korban ada yang kehilangan anak, saudara dan tulang punggung mereka. Bahkan ada yang satu keluarga tewas dalam peristiwa tersebut. Namun, tak ada pembelaan yang pantas dari negara untuk mereka.

Bukan Kufur Nikmat

Mungkin ada orang yang menyatakan bahwa jika seorang Muslim terus-menerus mencari kekurangan dalam perjalanan kemerdekaan negara ini, maka itu adalah tanda kufur nikmat. Padahal Allah SWT telah memerintahkan setiap hamba mensyukuri nikmat-Nya dan melarang kufur nikmat. Allah SWT berfirman:

وَاِذْ تَاَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئنْ شَكَرْتُمْ لأَزِيْدَنَّكُمْ وَلَئنْ كَفَرْتُمْ اِنَّ عَذَابِيْ لَشَدِيْدٌ

(Ingatlah) saat Tuhan kalian memaklumkan, “Sungguh jika kalian bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) untuk kalian. Namun, jika kalian mengingkari (nikmat-Ku), pasti azab-Ku sangat berat.” (TQS Ibrahim [14]: 7).

Berkaitan dengan ayat ini, Imam Jarir Ath-Thabari menjelaskan makna bersyukur: “Jika kalian bersyukur kepada Tuhan kalian, dengan ketaatan kalian kepada-Nya dalam hal yang Dia perintahkan kepada kalian dan yang Dia larang kepada kalian, niscaya ditambahkan untuk kalian apa yang ada pada tangan-Nya dan nikmat-Nya atas kalian.”

Menurut Imam al-Ghazali, makna syukur yang hakiki adalah juga dengan ketaatan: “…Makna syukur adalah menggunakan nikmat dalam menyempurnakan hikmah untuk apa nikmat itu (diciptakan), yaitu ketaatan kepada Allah,” (Al-Ghazali, Ihyâ’ Ulûm ad-Dîn, [Beirut, Darul Fikr: 2015 M], Juz IV).

Kewajiban umat hari ini adalah merenungi apakah betul mereka telah mensyukuri nikmat kemerdekaan dalam bentuk ketaatan pada perintah dan larangan Allah? Apakah bangsa ini telah menggunakan seluruh nikmat kemerdekaan ini di jalan Allah, dengan menerapkan hukum-hukum-Nya untuk menata negara dan masyarakat? Sayangnya tidak. Padahal jika saja itu dilakukan, pastilah Allah akan menambah terus nikmat kemerdekaan dengan limpahan berkah yang menciptakan keadilan, kemakmuran dan keamanan yang sentosa.

Akibat bangsa ini tidak mensyukuri kemerdekaan dengan ketaatan kepada Allah, dengan cara melaksanakan semua aturan-Nya, maka yang terjadi adalah sebaliknya, Allah menimpakan berbagai bencana karena mereka kufur nikmat, yakni tidak menggunakan semua nikmat itu di jalan-Nya. Allah SWT berfirman:

وَضَرَبَ اللَّهُ مَثَلاً قَرْيَةً كَانَتْ آمِنَةً مُطْمَئِنَّةً يَأْتِيهَا رِزْقُهَا رَغَدًا مِنْ كُلِّ مَكَانٍ فَكَفَرَتْ بِأَنْعُمِ اللَّهِ فَأَذَاقَهَا اللَّهُ لِبَاسَ الْجُوعِ وَالْخَوْفِ بِمَا كَانُوا يَصْنَعُونَ

Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dulunya aman lagi tenteram. Rezekinya datang kepada mereka melimpah-ruah dari segenap tempat. Namun, (penduduk)-nya mengingkari nikmat-nikmat Allah. Karena itu Allah menimpakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan karena dosa-dosa yang selalu mereka perbuat (TQS an-Nahl [16]: 112).

Semua bencana hari ini terjadi akibat umat justru menjauhkan hukum-hukum Allah dari kehidupan. Mereka malah mengambil hukum-hukum buatan manusia yang terbukti rusak dan merusak.

Alhasil, jika bangsa ini ingin benar-benar merdeka, mereka harus mau diatur oleh hukum-hukum Allah dalam semua aspek kehidupan mereka. Hanya dengan itulah mereka mampu mewujudkan cita-cita kemerdekaannya, yakni kehidupan yang sejahtera, adil, makmur dan mendapatkan ridha Allah SWT.

WalLâhu a’lam. []

—*—

Hikmah:

Ibnu Qayyim al-Jauziyah berkata:

الشُكْرُ ظُهُوْرُ أَثَرِ نِعْمَةِ اللهِ عَلَى لِسَانِ عَبْدِهِ: ثَنَاءً وَاعْتِرَافًا، وَعَلَى قَلْبِهِ شُهُوْدًا وَمَحَبَّةً، وَعَلَى جَوَارِحِهِ اِنْقِيَادًا وَطَاعَةً

Syukur adalah menampakkan adanya nikmat Allah atas hamba melalui lisannya, yaitu berupa pujian dan pengakuan (bahwa ia telah diberi nikmat); melalui hatinya, yaitu berupa persaksian dan kecintaan kepada Allah; dan melalui anggota badannya, yakni berupa kepatuhan dan ketaatan kepada Allah. (Ibnu al-Qayyim, Madârij as-Sâlikîn, 2/244). []


Belakangan ini kata hijrah menjadi suatu istilah yang begitu digandrungi kaum Muslim. Kata hijrah menjadi lekat untuk pribadi-pribadi yang ingin berubah menuju kehidupan Islami. Ini merupakan pertanda positif. Tinggal bagaimana perubahan itu dilanjutkan dengan mengkaji Islam secara penuh. Tentu agar makna hijrah tidak sebatas perbaikan akhlak pribadi, ibadah atau muamalah. Hijrah tidak lain adalah perubahan total menuju kehidupan Islami yang utuh.

“Hijrah Hati”

Imam Ibnu Qayyim rahimahulLâh dalam kitabnya Risâlah At-Tâbûkiyah menguraikan ada dua jenis hijrah. Pertama, hijrah bi al-jismi (hijrah fisik), yakni berpindah dari satu negeri ke negeri lain, yakni dari negara kufur (dâr al-kufr) menuju Negara Islam (Dâr al-Islâm). Kedua, hijrah bi al-qalbi (hijrah hati) menuju Allah SWT dan Rasul-Nya.

Selanjutnya Ibnu Qayyim menjelaskan bahwa hijrah mengandung kondisi ‘dari’ (min) dan ‘menuju’ (ilâ). Dengan demikian hijrah hati bermakna: dari cinta selain Allah menuju cinta kepada-Nya; dari ibadah kepada selain Allah menuju ibadah kepada-Nya; dari rasa takut, berharap dan tawakal kepada selain Allah menuju takut, berharap dan tawakal hanya kepada-Nya. Demikian sebagaimana perintah Allah kepada setiap Muslim untuk berlari sekuat tenaga menuju Diri-Nya:

فَفِرُّواْ إِلَى ٱللَّهِۖ

Berlarilah kalian menuju Allah! (TQS adz-Dzariyat [51]: 50).

Dalam bahasa Arab kata farra menunjukkan larinya seseorang dari sesuatu yang ditakuti, seperti melarikan diri dari kejaran singa. Karena itu seorang Muslim wajib berusaha keras meninggalkan kemungkaran dan bersungguh-sungguh menuju ketaatan kepada Allah SWT. Berpaling dari ayat-ayat Allah dengan tidak menaati aturan-aturan-Nya hanya akan membawa penderitaan di dunia dan siksaan di akhirat. Allah SWT berfirman:

وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى

Siapa saja yang berpaling dari peringatan-Ku, sungguh bagi dia penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkan dirinya pada Hari Kiamat dalam keadaan buta (TQS Thaha [20]: 124).

Pelaku hijrah hati yang utama harusnya adalah para penguasa. Ini karena kedudukan mereka menentukan baik-buruknya rakyat. Imam al-Ghazali menyatakan, “Rusaknya rakyat adalah karena rusaknya penguasa.” Oleh karena itu para penguasa harus berada di barisan paling terdepan dalam meninggalkan segala kemungkaran seperti: khianat terhadap rakyat dengan mengumbar janji palsu dan kebohongan, kongkalikong menguras harta rakyat, mengeluarkan berbagai kebijakan zalim terhadap rakyat, memperkaya diri dan keluarga dengan memanfaatkan jabatan, membiarkan agama dinista, dsb. Semuanya patut untuk ditinggalkan secepatnya dan sekuat tenaga karena penguasa macam itu akan mendapatkan tempat terburuk dan siksa yang paling keras pada Hari Kiamat. Nabi saw bersabda:

‌أَحَبَّ النَّاسِ إِلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَأَقْرَبَهُمْ مِنْهُ مَجْلِسًا: ‌إِمَامٌ ‌عَادِلٌ، وَإِنَّ أَبْغَضَ النَّاسِ إِلَى اللهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَأَشَدَّهُ عَذَابًا: إِمَامٌ جَائِرٌ

Manusia yang paling Allah ‘Azza wa Jalla cintai pada Hari Kiamat dan paling dekat kedudukannya di sisi-Nya adalah pemimpin yang adil. Sungguh manusia yang paling Allah benci pada Hari Kiamat dan paling keras mendapatkan siksa-Nya adalah pemimpin yang jahat (HR Ahmad).

Tinggalkan Sistem Zalim

Sesungguhnya pangkal kemungkaran hari ini bukanlah semata disebabkan oleh pribadi-pribadi yang bermaksiat pada Allah. Kemungkaran hari ini berasal dari sikap umat yang berpaling dari syariah Islam. Inilah induk dari segala kerusakan yang menyebabkan kerusakan terjadi secara luas. Allah SWT berfirman:

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ

Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusia. Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar) (TQS ar-Rum [30]: 41).

Akibat hukum pidana Islam tidak diterapkan, misalnya, berbagai kejahatan merajalela. Setiap hari nyaris tidak sepi dari berita pembunuhan dan penganiayaan. Polri mencatat selama empat tahun terakhir ada 3000 warga menjadi korban pembunuhan. Bahkan kekerasan hari ini lebih buruk dibandingkan dengan masa jahiliah. Saat ini banyak korban pembunuhan dimutilasi, misalnya. Bahkan ada yang dimasak seperti kasus terakhir di Sleman, Yogyakarta. Selain karena kian rusaknya nilai kemanusiaan, jelas juga karena hukum yang berlaku tidak memberi efek jera dan efektif memberikan pencegahan.

Hukum juga sering tidak berlaku adil bagi rakyat kecil. Tahun 2015 seorang nenek divonis 1 tahun penjara oleh pengadilan di Situbondo dengan tuduhan mencuri dua batang kayu jati. Namun, Pemerintah pada tahun ini malah membebaskan sejumlah korporasi pelaku pembabatan hutan seluas 3,3 juta hektar untuk dijadikan perkebunan sawit ilegal. Padahal Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya mengatakan, keberadaan 505 kebun kelapa sawit ilegal di sejumlah daerah merugikan negara senilai Rp 44 triliun!

Masa depan layanan kesehatan untuk rakyat juga semakin dipertanyakan. Pasalnya, DPR telah mengesahkan UU Kesehatan yang berpotensi merugikan rakyat. Layanan kesehatan diliberalisasi. Artinya, Negara semakin berlepas tangan dari tanggung jawabnya. Disebutkan, misalnya, dalam UU Kesehatan adanya penghapusan mandatory spending biaya kesehatan yang harusnya ditanggung APBN. Padahal Indonesia masih terbelit persoalan stunting, perbaikan alat dan fasilitas kesehatan, bahkan kurangnya kualitas pelayanan kesehatan. Indonesia juga masih kekurangan 130 ribu dokter dan Puskesmas serta rumah sakit hingga pelosok daerah.

Adanya BPJS juga bukan solusi layanan kesehatan bagi masyarakat. Dilaporkan ada 16,6 juta warga yang tidak sanggup melanjutkan iuran BPJS. Ironinya, warga yang menunggak iuran dapat terancam denda Rp 30 juta. Sudah terjadi kasus warga yang bunuh diri karena tidak bisa lagi berobat akibat tidak sanggup membayar iuran BPJS.

Umat juga makin terancam akidahnya. Kasus penistaan agama oleh Panji Gumilang sampai hari ini belum diselesaikan secara hukum. Padahal MUI sudah mengeluarkan rekomendasi yang menyebutkan kesesatan Pimpinan Pondok Pesantren Al-Zaytun tersebut. Publik pun bertanya: Mengapa Pemerintah begitu cepat dan sigap membubarkan FPI dan HTI tanpa alasan yang jelas, namun lamban menangani kasus Al-Zaitun yang telah dinyatakan sesat?

Selain itu, saat ini keberadaan ideologi Komunisme dan para pendukungnya seperti mendapat angin karena sejumlah peraturan telah dikeluarkan. Di antaranya Keppres Nomor 17 Tahun 2022 juga Inpres No 2/2023 yang menempatkan PKI sebagai korban pelanggaran HAM. Hal ini akan memutarbalikkan fakta sejarah PKI dengan ideologi Komunismenya sebagai pelaku kudeta dan kejahatan keji berupa pembunuhan ribuan santri dan kiai, juga aparat pemerintah dan para perwira militer.

Ada kekhawatiran peraturan tersebut akan menghidupkan kembali hak-hak politik para anggota dan pendukung ideologi Komunisme. Apakah Pemerintah pura-pura tidak tahu kalau ideologi Sosialisme-Komunisme yang menganut keyakinan materialisme-atheisme bertentangan dengan akidah Islam? Sejarah di berbagai negara memperlihatkan ideologi Sosialisme-Komunisme ini tidak segan-segan menumpahkan darah kaum Muslim karena menganggap Islam sebagai ancaman.

Anehnya, saat diingatkan bahwa penolakan penerapan syariah Islam dan pemberlakuan sistem sekuler saat ini adalah penyebab rusaknya kondisi umat dan negeri, mereka malah menolak dan bersikukuh apa yang mereka lakukan demi kebaikan. Ini persis seperti yang telah Allah SWT ingatkan dalam al-Quran (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 11-12).

Total Menuju Islam

Sudah saatnya umat menjadikan Islam sebagai dasar keyakinan dan aturan kehidupan dalam semua aspek; ekonomi, sosial, militer, politik dan kenegaraan. Ini karena Islam adalah ideologi yang benar dan sempurna. Syariahnya memberikan perlindungan terhadap jiwa, harta, akal, kelahiran dan nasab, kehormatan, akidah, keamanan dan negara.

Keadilan sistem Islam baru terwujud jika umat berislam secara total (kâffah). Tidak akan terwujud keadilan Islam jika ajaran Islam hanya diambil unsur spiritualnya dan moralnya saja. Sebaliknya, aturan ekonomi, pidana dan politik Islam dicampakkan. Yang diterapkan malah aturan demokrasi dan kapitalisme. Kalaupun sebagian hukum Islam diambil, itu karena semata memberikan keuntungan materi kepada pengelolanya seperti hukum haji, umrah, nikah, zakat, infak juga sedekah. Dengan cara seperti itu maka berbagai persoalan tidak akan pernah bisa diselesaikan. Beda hasilnya jika hukum-hukum Islam diterapkan secara kâffah dalam naungan Khilafah.

Mengharapkan persoalan umat akan selesai dengan hanya mengangkat pemimpin beragama Islam tanpa penerapan hukum Islam adalah ilusi. Terbukti, hari ini di Tanah Air mayoritas kepala daerah, anggota dewan dan pejabat beragama Islam. Namun, persoalan umat tak kunjung selesai. Sebabnya, syariah Islam tidak mereka terapkan. Malah tidak sedikit pejabat dan anggota dewan beragama Islam terperosok dalam kejahatan korupsi. Menurut catatan KPK ada 22 gubernur dan 154 walikota/bupati dan wakil, serta 319 anggota dewan terjerat kasus korupsi.

Karena itu pada momen Tahun Baru Hijrah ini, saatnya kaum Muslim berjuang untuk hijrah secara total, dari sistem yang penuh kezaliman menuju keadilan Islam. Caranya dengan menerapkan syariah Islam secara kâffah dalam naungan Khilafah.

WalLâhu a’lam. []

—*—

Hikmah:

لِكُلِّ دَاءٍ دَوَاءٍ، وَ دَاءُ الْمُسْلِم كَوْنُهُ مُسْلِمًا كَمَا أَرَادَ، وَ دَوَاءُ الْمُسْلِم كَوْنُهُ مُسْلِمًا كَمَا أَرَادَ اللهُ…

Setiap sakit ada obatnya. Sakitnya Muslim karena ia menjadi Muslim sesuai yang ia inginkan. Obatnya adalah ia menjadi Muslim sesuai yang Allah inginkan. (Sayyid Muhammad Habib al-‘Ubaidi al-Mawshili, Habl al-I’tishâm wa Wujûb al-Khilâfah fî Dîn al-Islâm). []

Oleh: Refa | 14 Juli 2023

Hijrah dari Sistem Jahiliyah


Tak terasa, kita saat ini sudah ada di penghujung tahun 1444 H. Hanya beberapa hari lagi kita akan memasuki Tahun Baru Hijriyah, yakni 1445 H. Sebagian umat Islam menjadikan Tahun Baru Hijrah sebagai momentum untuk melakukan refleksi (perenungan), kontemplasi (muhâsabah), bahkan mungkin menetapkan sejumlah resolusi (tuntutan) baru untuk masa depan hidupnya agar lebih baik.
Hal yang sama sudah seharusnya dilakukan oleh kaum Muslim yang merupakan penduduk mayoritas di negeri ini. Bahkan saat ini, sudah saatnya kaum Muslim—secara kolektif—di negeri ini berani melakukan semacam koreksi terhadap sistem kehidupan sekuler yang dijalankan selama ini, yang terbukti bermasalah. Baik terkait sistem ekonomi, sistem hukum, sistem peradilan, sistem politik dan pemerintahan, sistem pendidikan maupun sistem sosial, dll. Selanjutnya, kaum Muslim harus berani berhijrah, yakni meninggalkan sistem kehidupan sekuler ini, menuju sistem kehidupan yang shahih, yakni sistem kehidupan Islam. Selama kaum Muslim tidak memiliki tekad dan keberanian untuk berhijrah, yakni meninggalkan sistem jahiliah ini, menuju sistem Islam, maka nasib mereka tidak akan pernah berubah. Bakal tetap terpuruk dan terjajah. Karena itu hiruk-pikuk Pilpres/Pemilu yang rutin digelar setiap lima tahun sekali pun tak akan pernah menghasilkan perubahan yang berarti. Pasalnya, pada faktanya Pilpres/Pemilu hanya menghasilkan rezim baru yang berganti wajah, tetapi tetap dengan menjalankan sistem yang sama, yakni sistem sekuler yang bermasalah, yang notabene adalah sistem jahiliah; bukan menerapkan syariah Islam secara kâffah.
Adapun menurut istilah khusus, menurut Ar-Raghib al-Ashfahany (w. 502 H), hijrah berarti keluar dari dârul kufr (yakni wilayah yang menerapkan hukum-hukum kufur) menuju Dârul Îmân (yakni wilayah yang menerapkan seluruh hukum Islam) (Al-Ashfahâny, Al-Mufradât fî Gharîb al-Qur’ân, hlm. 833).
Hijrah semacam inilah yang dilakukan oleh Baginda Nabi Muhammad saw. dari Makkah (yang saat itu merupakan Dârul Kufur [negeri kufur]) menuju Madinah (yang saat itu telah berubah menjadi Dârul Islam (Daulah Islam/Negara Islam). Hijrah dalam makna khusus inilah yang dijadikan awal penanggalan dalam Islam. Oleh karena itu tatkala mendiskusikan tentang penanggalan Islam, setelah mendengar berbagai usulan para Sahabat, Khalifah Umar bin Khaththab ra. menyatakan:
Akan tetapi, kita akan menghitung penanggalan berdasarkan hijrah Rasulullah, karena sesungguhnya hijrah beliau itu telah memisahkan antara kebenaran dan kebatilan (Ibn Al-Atsîr, Al-Kâmil Fî at-Târîkh, 1/3).
Hijrah Rasulullah saw. dari Makkah ke Madinah merupakan peristiwa penting yang mengubah wajah umat Islam saat itu. Umat yang awalnya tertindas dan teraniaya di Makkah selama 13 tahun, setelah hijrah ke Madinah dan menegakkan tatanan masyarakat yang islami dalam sebuah negara, berubah menjadi umat yang mulia, kuat dan disegani.
Sebagaimana kita ketahui, sistem apapun selain sistem Islam adalah sistem jahiliah. Termasuk sistem kehidupan sekuler yang diberlakukan di negeri ini. Pasalnya, di negeri ini syariah Islam tidak diterapkan, kecuali hanya sebagian kecil, seperti dalam urusan nikah, talak, dan rujuk; dalam urusan haji dan zakat; dsb. Sebaliknya, dalam berbagai urusan lain yang lebih besar (ekonomi, politik, hukum, peradilan, sosial, pemerintahan, dll) syariah Islam tidak digunakan. Padahal Allah SWT telah mencela sikap manusia yang tidak mau memilih hukum-hukum Allah dan malah lebih memilih hukum jahiliah. Allah SWT berfirman:
Berkaitan dengan ayat di atas, setelah Nabi Muhammad saw. diutus, sifat jahiliah memang tidak disematkan pada suatu masa secara mutlak dan umum. Namun, sifat jahiliah bisa disematkan pada realitas apa saja yang bertentangan dengan ajaran Rasul (Islam) (Ibnu Taimiyah, Iqtidha’ Shirâth al-Mustaqîm, 1/258); baik realitas itu berupa aqidah, sistem hukum dan perilaku, baik realitas itu individu, masyarakat ataupun negara. Negara (masyarakat) yang di dalamnya lebih dominan penentangannya terhadap hukum-hukum Allah, secara legal-formal menolak sistem Islam, lalu menerapkan aturan-aturan yang bertentangan dengan syariah Islam maka layak disebut dengan istilah jahiliah.
Karena itu hijrah, dalam pandangan Islam, tentu berkaitan dengan upaya kaum Muslim, khususnya di negeri ini, untuk segera meninggalkan sistem hukum jahiliah ini menuju sistem Islam. Hijrah semacam ini tentu berkaitan erat dengan upaya mewujudkan DârulIslam (Negara Islam). Sebabnya, hijrah Rasulullah saw. pun, yakni dari Makkah ke Madinah, bukan hanya bersifat individual, sebagaimana hijrah pertama dan kedua yakni sebagian Muslim ke Habsyah. Hijrah Rasul saw. adalah dalam rangka meninggalkan Dârul Kufur menuju Dârul Islam, yakni meninggalkan sistem jahiliah menuju penegakan sistem Islam.
Hijrah Nabi saw. ke Dârul Islam di Madinah adalah dalam rangka menerapkan dan menegakkan syariah Islam secara kâffah. Di Madinah Rasulullah saw. adalah pemimpin Negara Islam. Kekuasaan yang beliau terima di Madinah dari kaum Anshar bukanlah sekadar kekuasaan semata. Sebabnya, jika sekadar kekuasaan semata, hal itu bisa beliau dapatkan di Makkah. Kekuasaan beliau di Madinah tidak lain adalah kekuasaan yang menolong (shultân[an] nashîr[an]). Ini sebagaimana turunnya ayat yang memerintahkan beliau hijrah:
وَقُلْ رَبِّ أَدْخِلْنِي مُدْخَلَ صِدْقٍ وَأَخْرِجْنِي مُخْرَجَ صِدْقٍ وَاجْعَلْ لِي مِنْ لَدُنْكَ سُلْطَانًا نَصِيرًا
Katakanlah, “Tuhanku, masukkanlah aku secara masuk yang benar, dan keluarkanlah (pula) aku secara keluar yang benar, dan berikanlah kepadaku dari sisi Engkau kekuasaan yang menolong.” (TQS al-Isra’ [17]: 80).
Kekuasaan “yang menolong” adalah kekuasaan yang dengan itu syariah Islam diterapkan secara kâffah. Imam Ibnu Katsir, seraya mengutip Qatadah (w. 117 H), saat menjelaskan frasa “kekuasaan yang menolong”, menyatakan:
نَصِيرًا لِكِتَابِ اللَّهِ، وَلِحُدُودِ اللَّهِ، وَلِفَرَائِضِ اللَّهِ، وَلِإِقَامَةِ دِينِ اللَّهِ
“… untuk membela Kitabullah, hudûd Allah, hal-hal yang difardukan Allah, dan untuk menegakkan agama Allah”. (Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-Adzîm, 5/111).
Hijrah tetaplah relevan hingga Hari Kiamat. Yang terputus hanyalah hijrah dari Makkah ke Madinah pasca Makkah ditaklukkan dan menjadi Dârul Islam (Al-Qurthuby, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, 3/350).
Dalam situasi sekarang, hijrah bisa kita lakukan dengan berpindah dari suatu tempat yang kita khawatirkan menggoyahkan keimanan kita, sementara kita tidak sanggup berupaya mengubahnya, menuju tempat yang dipenuhi suasana keimanan; meninggalkan pekerjaan yang banyak kemaksiatannya beralih ke pekerjaan yang halal; meninggalkan keadaan yang bisa membuat kita melanggar aturan Allah, menuju keadaan yang mempermudah kita mendekatkan diri kepada-Nya.
Yang lebih penting lagi, sekaligus inilah esensi dari hijrah Nabi saw, yang perlu diteladani, adalah hijrah meninggalkan sistem jahiliah saat ini, yakni sistem sekuler, menuju sistem Islam. Karena sistem Islam ini tidak bisa tegak tanpa kekuasaan, maka semestinya perjuangan umat bukan sekadar diarahkan untuk menjadikan sosok Muslim yang shalih sebagai penguasa. Lebih dari itu mestinya perjuangan umat Islam diarahkan memilih dan mengangkat penguasa Muslim yang shalih, yang kekuasaannya benar-benar digunakan untuk menegakkan syariah Islam secara kâffah. Bukan malah sebaliknya, kekuasaan yang diraih itu digunakan justru untuk melanggengkan dan makin memperkokoh sistem sekuler yang notabene adalah sistem jahiliah. Jika itu yang terjadi, sebagaimana saat ini, maka seluruh kaum Muslim bertanggung jawab atas keterpilihan penguasa yang nyata-nyata enggan menerapkan syariah Islam secara kâffah, dan malah melanggengkan sistem sekuler jahiliah saat ini.
Alhasil, mari kita berhijrah secara total, yakni dengan meninggalkan sistem jahiliah saat ini menuju sistem Islam dalam naungan Daulah Islamiyah.
WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. []
—*—
Hikmah:
Rasulullah saw. bersabda:
إِنَّ الْهِجْرَةَ خَصْلَتَانِ إِحْدَاهُمَا أَنْ تَهْجُرَ السَّيِّئَاتِ وَالأُخْرَى أَنْ تُهَاجِرَ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ
Sesungguhnya hijrah itu dua macam. Pertama, kamu meninggalkan perbuatan-perbuatan dosa. Kedua, kamu berhijrah menuju Allah dan Rasul-Nya. (HR Ahmad). []

Oleh: Refa | 30 Juni 2023

NEGARA WAJIB MENJAGAAKIDAH UMAT


Akhir-akhir ini publik sedang dihebohkan oleh berita tentang Pondok Pesantren Al-Zaitun pimpinan Panji Gumilang yang berlokasi di Kabupaten Indramayu Jawa Barat. Banyak pihak menilai Al-Zaytun dan Panji Gumilang telah menyimpang dari ajaran Islam. Berita heboh dimulai saat beredar video pelaksanaan Shalat Idul Fitri di Al-Zaytun yang memperlihatkan adanya sosok wanita di shaf paling depan yang sejajar dengan shaf laki-laki. Video lainnya memperlihatkan Panji Gumilang mengucapkan salam di hadapan jamaahnya dengan ucapan salam yang diduga khas Yahudi. Ada pula cuplikan video ceramah Panji Gumilang yang mengklaim bahwa al-Quran bukanlah firman Allah SWT, tetapi ucapan Nabi Muhammad saw. yang berasal dari wahyu Allah SWT. Klaim ini terkonfirmasi juga saat wawancara eksklusif Panji Gumilang dengan SCTV baru-baru ini. Selain itu, dari berita yang beredar, Al-Zaytun dan Panji Gumilang disinyalir terafilisasi dengan NII KW-9 yang juga dianggap gerakan yang menyimpang.

Aliran Sesat di Indonesia

Di Indonesia, aliran sesat memang cukup banyak bermunculan. Sebagian ada yang hilang, namun kemudian muncul lagi dengan nama baru. Berdasarkan catatan MUI pada tahun 2016 saja sudah ada lebih dari 300 aliran sesat di Indonesia (Cnnindonesia.com, 2/1/2016). Di antaranya yang sudah resmi difatwakan sesat oleh MUI adalah: Ahmadiyah yang mentahbiskan pendirinya (Mirza Ghulam Ahmad) sebagai nabi; Lia Eden atau Salamullah yang didirikan oleh Lia Aminuddin, yang mengaku pernah bertemu dengan Malaikat Jibril; Al-Qiyadah al-Islamiyah pimpinan Ahmad Moshaddeq yang mengaku sebagai nabi; Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) yang dianggap meneruskan ajaran Al-Qiyadah al-Islamiyah; Kerajaan Ubur-ubur di Serang Banten; Puang Larang/Tarekat Tajul Khalwatiyah Syekh Yusuf Gowa. Adapun Al-Zaytun, meski sudah berdiri lebih dari 20 tahun, belum secara resmi dinyatakan sesat oleh MUI.

Pertanyaannya: apa kriterianya sebuah aliran dianggap sesat? Pada tahun 2007 MUI Pusat mengeluarkan rekomendasi/fatwa tentang 10 kriteria sebuah aliran dianggap sesat/menyimpang. Kesepuluh kriteria tersebut adalah: 1. Mengingkari salah satu dari rukun iman yang 6; 2. Meyakini dan atau mengikuti akidah yang tidak sesuai dengan al-Quran dan as-Sunnah; 3. Meyakini turunnya wahyu setelah al-Quran; 4. Mengingkari otentisitas dan atau kebenaran isi al-Quran; 5. Melakukan penafsiran al-Quran yang tidak berdasarkan kaidah-kaidah tafsir; 6. Mengingkari kedudukan Hadis Nabi saw. sebagai sumber ajaran Islam; 7. Menghina, melecehkan dan atau merendahkan para nabi dan rasul; 8. Mengingkari Nabi Muhammad saw. sebagai nabi dan rasul terakhir; 9. Mengubah, menambah dan atau mengurangi pokok-pokok ibadah yang telah ditetapkan oleh syariah, seperti haji tidak ke Baitullah, salat wajib tidak 5 waktu; 10. Mengkafirkan sesama Muslim tanpa dalil syar’i seperti mengkafirkan Muslim hanya karena bukan kelompoknya (Republika.co.id, 26/10/2017).

Melindungi Akidah Umat

Salah satu peran negara yang paling utama dalam pandangan Islam adalah menjaga dan melindungi akidah/keyakinan umat Islam. Munculnya banyak aliran sesat di Indonesia jelas menunjukkan bahwa negara saat ini tidak hadir dalam menjaga dan melindungi akidah umat Islam. Padahal aliran-aliran sesat itu telah memakan banyak korban dari kalangan umat Islam. Mereka banyak yang akhirnya tersesat/menyimpang dari akidah Islam yang lurus, bahkan murtad dari Islam.

Mengapa negara terkesan tidak hadir untuk menjaga dan melindungi akidah umat Islam? Tidak lain karena negara saat ini menganut dan menerapkan akidah sekularisme. Sekularisme hakikatnya adalah akidah sesat. Pasalnya, sekularisme adalah akidah yang meyakini agama harus dipisahkan dari urusan negara. Dalam negara sekuler, negara tidak boleh campur-tangan dalam urusan keyakinan warga negaranya. Andai ada warga negara yang gonti-ganti agama/keyakinan, negara tak peduli. Negara pun tak akan peduli andai banyak Muslim yang murtad dari Islam, termasuk menganut aliran sesat.

Padahal dulu Rasulullah saw.—sebagai kepala negara—sangat tegas terhadap aliran yang menyimpang. Sebagaimana diketahui, dalam sejarah Islam, pernah muncul seorang yang mengklaim sebagai nabi (nabi palsu). Dia adalah Musailamah al-Kadzdzab (Musailamah Sang Pendusta). Nama aslinya Musailamah bin Habib dari Bani Hanifah. Berbagai cara dilakukan Musailamah untuk mengukuhkan posisinya. Salah satunya mengirimkan surat kepada Nabi Muhammad saw. Dalam surat itu, Musailamah meyakinkan bahwa dirinya adalah seorang nabi dan rasul Allah juga, sama seperti Nabi Muhammad saw.

Nabi Muhammad saw. kemudian mengirimkan surat balasan untuk Musailamah. Sebagaimana dikutip dalam Sirah Ibnu Ishaq, berikut surat balasan Nabi Muhammad saw.: “Dari Muhammad Rasulullah kepada Musailamah sang Pendusta. Keselamatan itu dilimpahkan kepada orang yang mengikuti petunjuk (QS Thaha: 47). Sungguh bumi ini adalah milik Allah. Allah mewariskan bumi ini kepada siapa saja yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya. Kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” (Ibnu Hisyam, Sîrah Ibnu Hisyâm, 2/601).

Peristiwa itu diperkirakan terjadi pada akhir tahun ke-10 Hijrah. Namun demikian, balasan surat Nabi Muhammad saw. itu sedikitpun tidak mengubah keyakinan dan semangat Musailamah untuk menyebarkan ajarannya. Bahkan ‘dakwah’ Musailamah semakin aktif setelah Nabi Muhammad saw. wafat. Akibatnya, propaganda yang disebarluaskan Musailamah itu mempengaruhi stabilitas pemerintahan Islam pasca Rasulullah saw., yakni pemerintahan Islam di bawah Khalifah Abu Bakar as-Shiddiq ra. Karena itu di bawah komando Khalifah Abu Bakar ra., pasukan kaum Muslim kemudian menumpas Musailamah dan pengikutnya dalam Perang Yamamah (12 H) (Al-Mubarakfuri, Ar-Rahîq al-Makhtûm, hlm. 416).

Sebetulnya, selain Musailamah, di era pemerintahan Islam, khususnya masa Khulafaur Rasyidin dan era setelahnya, masih banyak orang yang menyebarkan aliran sesat/menyimpang. Rata-rata mengklaim sebagai nabi. Mereka sebelumnya adalah Muslim, lalu menyimpang dari ajaran Islam. Disebutkan dalam Nihâyat al-‘Alam karya Muhammad al-‘Arifi bahwa selain Musailamah, ada beberapa nabi palsu yang hidup pada zaman Rasulullah saw. dan para khalifah sepeninggal beliau. Semuanya diperangi oleh negara, tentu setelah sebelumnya mereka diminta untuk bertobat dan kembali ke dalam pangkuan Islam, tetapi mereka menolak.

Sekularisme Pangkal Kesesatan

Sekularisme (akidah yang memisahkan agama dan kehidupan) yang dianut dan diterapkan di negeri ini sesungguhnya adalah pangkal kesesatan. Dari akidah ini lahir sistem demokrasi yang menjamin kebebasan (liberalisme). Di antaranya kebebasan beragama. Ini tidak ada masalah. Sebabnya, dalam Islam pun setiap orang bebas memeluk agama. Setiap orang tidak boleh dipaksa untuk memeluk agama Islam. Allah SWT berfirman:

لاَ إَكْرَاهَ فِي الدِّيْنِ

Tidak ada paksaan dalam memasuki agama (Islam) (TQS al-Baqarah [2]: 256).

Masalahnya, dalam demokrasi, kebebasan beragama tak hanya dipahami sebagai kebebasan untuk memeluk agama tertentu. Namun faktanya, demokrasi juga menjamin kebebasan orang untuk gonta-ganti agama, termasuk murtad dari agama Islam. Ini jelas bertentangan dengan ajaran Islam itu sendiri. Rasulullah saw. bersabda:

مَنْ بَدَّلَ دِيْنَهُ فَاقْتُلُوْهُ

Siapa saja yang mengganti agamanya (murtad dari Islam) maka bunuhlah (HR al-Bukhari).

Demokrasi juga menjamin kebebasan bagi siapapun untuk menyelewengkan ajaran agamanya. Buktinya, munculnya ratusan aliran sesat, termasuk yang menistakan ajaran Islam, terkesan seolah dibiarkan. Belum lagi munculnya beragam pemikiran liberal yang juga sesat dan menyesatkan. Misalnya saja pemikiran tentang pluralisme agama, yang memandang semua agama sama. Juga pemikiran tentang toleransi beragama yang kebablasan, yang melahirkan sinkretisme (campur-aduk) agama seperti doa bersama lintas agama, dll. Semua seolah dibiarkan oleh negara atas nama demokrasi dan kebebasan.

Di sisi lain, sikap untuk berpegang teguh pada akidah Islam yang lurus, termasuk pada identitas Islam, keinginan untuk hidup diatur oleh syariah Islam secara kâffah, termasuk mengkaji dan mengajarkan ajaran Islam tentang Khilafah, acapkali dicap sebagai radikal, atau dikaitkan dengan radikalisme, bahkan dengan terorisme.

Alhasil, sekularisme yang melahirkan kebebasan (liberalisme) justru merupakan pangkal kesesatan.

Pentingnya Berpegang Teguh pada al-Quran dan as-Sunnah

Di antara dampak buruk sekularisme yang diterapkan di negeri ini adalah menjadikan banyak kaum Muslim tidak lagi berpegang teguh pada agamanya. Mereka tidak lagi berpegang teguh pada al-Quran dan as-Sunnah. Akibatnya, banyak kaum Muslim mudah tersesatkan dari agamanya. Padahal Rasulullah saw. telah menegaskan, saat berkhutbah pada Haji Wada’:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّى قَدْ تَرَكْتُ فِيكُمْ مَا إِنِ اعْتَصَمْتُمْ بِهِ فَلَنْ تَضِلُّوا أَبَدًا كِتَابَ اللَّهِ وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ

Wahai manusia, sungguh telah aku tinggalkan di tengah-tengah kalian suatu perkara yang jika kalian pegang teguh niscaya kalian tidak akan tersesat selama-lamanya: Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya (HR al-Hakim dan al-Baihaqi).

Berpegang teguh pada al-Quran bermakna menjadikan al-Quran dan as-Sunnah sebagai pedoman hidup. Sikap ini meniscayakan antara lain: Pertama, menjadikan al-Quran dan as-Sunnah sebagai rujukan (Lihat: QS an-Nisa’ [4]: 59). Kedua, menjadikan al-Quran dan as-Sunnah sebagai standar halal-haram, benar-salah, dan baik-buruk. Artinya, yang wajib dijadikan tolok ukur adalah apa saja yang diputuskan dan dinyatakan oleh al-Quran dan as-Sunnah (Lihat: QS asy-Syura [42]: 10). Ketiga, mengamalkan seluruh kandungan al-Quran dan as-Sunnah dalam seluruh aspek kehidupan (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 208).

WalLâh a’lam bi ash-shawâb.[]

Hikmah:
Allah SWT berfirman:

وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ اْلإِسْلاَمِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي اْلآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ

Siapa saja yang mencari agama selain Islam tidak akan diterima dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang rugi. (TQS Ali ‘Imran [3]: 85). []


Tanggal 10 Dzulhijjah adalah momen yang penuh dengan kebahagiaan dan keberkahan. Hari ketika jutaan Muslim berkumpul di tempat yang dimuliakan dan diberkahi oleh Pencipta dan Pemilik alam semesta. Tidak lain untuk mewujudkan ketaatan dalam ibadah mulia, ibadah haji. Sepanjang pelaksanaan ibadah haji itu jutaan Muslim terus mengagungkan Zat Yang Mahaagung. Mereka pun berdoa tiada henti, seraya melantunkan kalimat talbiyah, “Labbayk AlLâhumma labbayk.” Mereka menjawab panggilan Allah dengan penuh kekhusyukan untuk hadir mewujudkan ketaatan kepada-Nya.

Merekalah dhuyûfulLâh. Tamu-tamu Allah. Mereka berhak mendapatkan kedudukan mulia di sisi-Nya, sebagaimana sabda Rasulullah saw.:

«الحُجَّاجُ وَالْعُمَّارُ وَفْدُ اللهِ، دَعَاهُمْ فَأَجَابُوْهُ، سَأَلُوْهُ فَأَعْطَاهُمْ»

Jamaah haji dan umrah adalah tamu Allah. Allah telah memanggil mereka. Mereka pun memenuhi panggilan-Nya. Mereka memohon kepada Allah. Allah pun mengabulkan permohonan mereka (HR Ibnu Majah).

Di luar Tanah Suci, miliaran kaum Muslim menggemakan takbîr, tahmîd, tasbîh, dan tahlîl, berbondong-bondong menunaikan shalat Id dan mendengarkan khutbah. Lalu menyembelih dan membagikan hewan-hewan kurban. Gema kalimat thayyibah dan penyembelihan kurban terus berlangsung hingga Hari Tasyriq usai. Sungguh, hari-hari yang amat sakral dan memberikan nuansa ketundukan kepada Allah SWT.

Inilah Idul Adha 10 Dzulhijjah tahun 1444 H. Sebagaimana perintah Rasulullah saw., penentuan awal bulan Dzulhijjah bukanlah ditetapkan berdasarkan otoritas penguasa negara nasional masing-masing, tetapi wajib berdasarkan pengumuman Amir Makkah. Husayn bin Harits al-Jadali telah menyatakan: Amir Makkah, al-Harits bin Hatib, telah menyampaikan khutbah kepada kami, seraya berkata:

«عَهِدَ إِلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وسَلَّمَ أَنْ نَنْسُكَ لِرُؤْيَتِهِ، فَإِنْ لَمْ نَرَهُ، وَشَهِدَ شَاهِدَا عَدْلٍ نَسَكْنَا بِشَهَادَتِهِمَا»

Kami telah diperintahkan oleh Rasulullah saw. untuk mengerjakan manasik (ibadah haji) karena melihat hilal. Jika kami tidak melihat hilal, lalu ada dua orang saksi yang adil melihatnya, maka kami pun akan mengerjakan manasik berdasarkan kesaksian mereka berdua (HR Abu Dawud dan ad-Daraquthni).

Hari Terbaik

Inilah satu dari dua hari yang disebutkan oleh Nabi saw. sebagai hari terbaik dibandingkan dengan semua hari raya umat lain di penjuru dunia. Setelah hijrah ke Madinah Rasulullah saw. menyaksikan orang-orang Yahudi merayakan hari raya mereka, Nairuz dan Mihrajan. Hari raya itu diikuti oleh orang-orang Madinah, termasuk kalangan Anshar. Kemudian Nabi saw. bersabda:

«قَدِمْتُ عَلَيْكُمْ وَلَكُمْ يَوْمَانِ تَلْعَبُونَ فِيهِمَا فَإِنَّ اللَّهَ قَدْ أَبْدَلَكُمْ يَوْمَيْنِ خَيْراً مِنْهُمَا يَوْمَ الْفِطْرِ وَيَوْمَ النَّحْرِ»

Aku datang kepada kalian, sementara kalian mempunyai dua hari raya pada masa Jahiliyah yang kalian isi dengan bermain-main. Allah telah mengganti keduanya dengan yang lebih baik bagi kalian, yaitu Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha (Hari Raya Kurban) (HR an-Nasa’i dan Ahmad).

Sikap Nabi saw. ini menjadi pertanda bagi orang-orang beriman bahwa umat Muslim adalah umat dengan agama dan syariah yang berbeda dengan umat lain. Beda dalam peribadatan, hari raya, juga dalam tatanan aturan kehidupan. Kaum Muslim telah diberi agama yang luhur yang berada di atas agama-agama lain. Tidak ada satu pun agama, ajaran atau ideologi yang dapat menandingi kemuliaan Islam. Sabda Nabi saw.:

«اْلإِسْلاَمُ يَعْلُوْ وَلاَ يُعْلَى»

Islam itu tinggi dan tidak ada yang mengalahkan ketinggiannya (HR ad-Daruquthni).

Jika Rasulullah saw. saja sudah menyatakan Islam itu tinggi dan terbaik, tak ada yang setinggi dan semulia agama ini, maka terasa sangat menyesakkan dada jika justru umat Muslim sendiri tidak memiliki perasaan bangga terhadap agamanya; malah memilih ajaran atau ideologi lain; menceraikan diri dari shirâthal-mustaqîm dan berjalan di atas bukan jalan Islam. Begitu pula terasa menyedihkan jika umat Muslim rela dipimpin oleh umat lain yang justru menjerumuskan mereka ke dalam jurang keterpurukan.

Keteladanan dalam Ketaatan

Ketika membicarakan ketaatan, maka kisah keteladanan ayah dan anak, Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail alayhimâ as-salâm, patut untuk selalu diulang. Kedua utusan Allah ini mengajari kita ketaatan tanpa ragu, ketaatan tanpa kata nanti dulu.

Ibrahim as. diuji oleh Allah untuk mengorbankan buah hati sekaligus buah cintanya yang telah lama dinanti, putranya sendiri. Adapun Nabi Ismail as. diuji oleh Allah untuk mengorbankan hidupnya agar ayahnya bisa melaksanakan perintah-Nya. Allah SWT berfirman:

﴿فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَابُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَى﴾

Tatkala anak itu telah sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata, “Anakku, sungguh aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelih kamu. Karena itu pikirkanlah apa pendapatmu.” (TQS ash-Shaffat [37]: 102).

Nabi Ibrahim as. memberikan teladan bahwa tidak ada kecintaan yang paling tinggi melebihi kecintaan kepada Allah SWT. Kecintaan kepada Allah SWT melebihi kecintaan kepada pasangan, anak, harta dan tahta. Kecintaan kepada Allah ‘Azza wa Jalla ini tentu harus diwujudkan dalam ketaatan menjalankan semua perintah-Nya.

Di sisi lain, Ismail as. juga meyakini sepenuh hati bahwa ketaatan kepada Allah SWT di atas segalanya sekalipun harus mengorbankan jiwa dan raganya. Karena itu Ismail as. pun mengukuhkan keteguhan jiwa ayahandanya dengan mengatakan:

﴿يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ﴾

“Ayah, lakukanlah apa yang diperintahkan kepadamu. Insya Allah engkau akan mendapati diriku termasuk orang-orang yang sabar.” (TQS ash-Shaffat [37]: 102).

Menuju Ketaatan Total

Hari ini kita menyaksikan kaum Muslim tanpa ragu melaksanakan perintah berhaji juga berlomba-lomba mempersembahkan kurban terbaik di jalan Allah. Namun jangan lupa, ketaatan yang diminta oleh Allah adalah ketaatan total pada semua perintah-Nya dan semua larangan-Nya. Bukan ketaatan parsial. Bukan pula ketaatan yang dipilih-pilih menurut kehendak dan kemauan hawa nafsu.

Ketika kaum Muslim mencurahkan ketaatan kepada Allah dalam menunaikan ibadah haji dan dalam berkurban, kemanakah ketaatan itu pergi ketika mereka diseru untuk melaksanakan syariah-Nya dalam perkara muamalah, pidana, jihad, politik dan pemerintahan? Mengapa hukum-hukum Allah itu kita abaikan? Bukankah semua itu juga perintah dari Tuhan yang sama? Tuhan yang menyerukan perintah berkurban dan berhaji?

Lebih memilukan lagi, semangat dan upaya untuk melaksanakan ketaatan kepada Allah secara kâffah dengan melaksanakan syariah Islam justru dihadang dan dihinakan dengan sebutan utopia, kearab-araban sampai tudingan radikalisme. Padahal Allah SWT telah berfirman:

﴿فَلاَ وَرَبِّكَ لاَ يُؤمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوْكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُم ثُمَّ لاَ يَجِدُواْ فِي أَنفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُواْ تَسْلِيْمًا﴾

Demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan engkau (Muhammad) sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasakan suatu keberatan pun dalam hati mereka atas keputusan yang engkau berikan, dan mereka menerima (keputusan itu) dengan sepenuhnya (TQS an-Nisa’ [4]: 65).

Tidak pantas bagi orang yang mengaku beriman kepada Allah mencari-cari alasan untuk menolak perintah dan larangan-Nya. Apalagi memutarbalikkan ayat demi keuntungan duniawi. Mengharamkan yang halal. Menghalalkan yang haram. Padahal perintah untuk menerapkan syariah Islam sudah jelas dalam Kitabullah. Banyak ayat yang memerintahkan kaum Muslim untuk berhukum dengan hukum-hukum Allah. Allah SWT, misalnya, berfirman:

﴿فَٱحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنزَلَ ٱللَّهُۖ وَلاَ تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ ٱلحَقِّۚ﴾

Putuskanlah hukum di antara mereka menurut apa yang telah Allah turunkan dan janganlah engkau mengikuti keinginan mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu (TQS al-Maidah [5]: 48).

Demikianlah yang Allah SWT perintahkan kepada kaum Muslim. Lalu mengapa hari ini kaum Muslim yang mengaku taat kepada Allah malah lebih tunduk pada hukum buatan Montesquieu, Piagam PBB, IMF, World Bank, dan berbagai lembaga internasional, sembari mencari alibi pembenaran sikap tersebut?

Janganlah sampai kita mengikuti sikap orang-orang munafik yang selalu mencari-cari alasan untuk menolak perintah Allah SWT, sebagaimana mereka menolak berangkat ke medang Perang Tabuk dengan alasan cuaca panas. Allah SWT berfirman:

﴿فَرِحَ الْمُخَلَّفُوْنَ بِمَقْعَدِهِمْ خِلٰفَ رَسُوْلِ اللّٰهِ وَكَرِهُوْا اَنْ يُّجَاهِدُوْا بِاَمْوَالِهِمْ وَاَنْفُسِهِمْ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ وَقَالُوْا لاَ تَنْفِرُوْا فِى الْحَرِّۗ قُلْ نَارُ جَهَنَّمَ اَشَدُّ حَرًّاۗ لَوْ كَانُوْا يَفْقَهُوْنَ﴾

Orang-orang yang ditinggalkan (tidak ikut perang) itu merasa gembira dengan tinggalnya mereka di belakang Rasulullah. Mereka tidak suka berjihad dengan harta dan jiwa mereka di jalan Allah. Mereka berkata, “Janganlah kamu berangkat (pergi berperang) dalam keadaan panas terik ini.” Katakanlah, “Api Neraka Jahanam itu jauh lebih panas lagi jika saja mereka tahu.” (TQS at-Taubah [9]: 81).

Wahai kaum Muslim, sadarilah, bertubi-tubi persoalan yang terjadi hari ini penyebabnya adalah hilangnya ketaatan utuh kepada Allah SWT. Diganti dengan sikap diskriminasi terhadap perintah dan larangan-Nya. Aturan yang menguntungkan seperti regulasi haji, zakat, pernikahan dijalankan. Yang bertentangan dengan hawa nafsu dicampakkan. AstaghfirulLâh al-‘Azhîm. []

Hikmah:

وَمِنَ ٱلنَّاسِ مَن يَعْبُدُ ٱللَّهَ عَلَىٰ حَرْفٍ ۖ فَإِنْ أَصَابَهُۥ خَيْرٌ ٱطْمَأَنَّ بِهِۦ ۖ وَإِنْ أَصَابَتْهُ فِتْنَةٌ ٱنقَلَبَ عَلَىٰ وَجْهِهِۦ خَسِرَ ٱلدُّنْيَا وَٱلأَاخِرَةَ ۚ ذَٰلِكَ هُوَ ٱلْخُسْرَانُ ٱلْمُبِينُ

Di antara manusia ada orang yang menyembah Allah dengan berada di tepi. Jika ia memperoleh kebajikan, ia tetap dalam keadaan itu. Jika ia ditimpa oleh suatu bencana, ia berbalik ke belakang. Rugilah ia di dunia dan di akhirat. Yang demikian adalah kerugian yang nyata. (TQS al-Hajj [22]: 11). []


Salah satu isu nasional yang mengemuka akhir-akhir ini adalah seputar pro-kontra RUU Omnibus Law di bidang kesehatan (RUU Kesehatan) yang baru saja disetujui oleh DPR untuk dibahas bersama Pemerintah.

Pihak yang kontra menuding RUU Kesehatan tersebut sarat dengan liberalisasi dan kepentingan asing. Pihak yang kontra tersebut di antaranya IDI (Ikatan Dokter Indonesia) dan sejumlah organisasi profesi kesehatan lainnya, sebagian intelektual dan pengamat, juga masyarakat.

Adapun pihak yang pro tentu saja adalah DPR dan Pemerintah. DPR, misalnya, yang diwakili antara lain oleh Anggota Panitia Kerja Rancangan Undang-Undang (Panja RUU) Kesehatan Irma Suryani Chaniago, memastikan bahwa pihaknya akan mengawal pembahasan RUU tersebut (Dpr.go.id, 18/5/2023).

Akar Persoalan

Pro-kontra di seputar RUU Kesehatan di atas sebetulnya tidak menyentuh akar persoalan sesungguhnya. Akar persoalan sesungguhnya adalah Pemerintah selama ini telah melepaskan tanggung jawabnya atas jaminan layanan kesehatan masyarakat. Ini terutama sejak terbit UU terkait Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), yakni UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan UU No. 24 Tahun 2011 tentang BPJS.

Sejak itu seluruh layanan kesehatan masyarakat berada di dalam naungan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Berdasarkan kedua UU tersebut, pembiayaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) berasal dari iuran rakyat yang mengikuti prinsip asuransi sosial yang sifatnya wajib. Dengan kata lain, BPJS Kesehatan hanyalah badan yang mengelola dana masyarakat dalam bentuk iuran wajib demi menyelenggarakan layanan kesehatan masyarakat. Artinya, masyarakat sendiri—bukan Pemerintah—yang menjamin layanan kesehatan untuk mereka. Pemerintah—yang seharusnya menjamin layanan kesehatan masyarakat—malah seolah lepas tangan. Ironisnya, sudahlah masyarakat harus membayar iuran BPJS, mereka tidak mendapatkan layanan kesehatan yang optimal. Bahkan sering para pasien BPJS harus antre, kadang sampai berhari-hari, untuk mendapatkan layanan kesehatan karena kurangnya dokter/nakes (tenaga kesehatan).

Liberalisasi Layanan Kesehatan

Menurut Asih dan Miroslaw dari German Technical Cooperation (GTZ), LSM yang berperan aktif membidani kelahiran JKN, “Ide dasar jaminan kesehatan sosial adalah pengalihan tanggung jawab penyelenggaraan pelayanan kesehatan dari Pemerintah kepada institusi yang memiliki kemampuan tinggi untuk membiayai pelayanan kesehatan atas nama peserta jaminan sosial.” (Lihat: http://www.sjsn.menkokesra.go.id).

Jelas, inilah bentuk liberalisasi kesehatan. Liberalisasi layanan kesehatan memang sudah lama menjadi kesepakatan internasional. Pada tahun 2005 seluruh anggota WHO menandatangani sebuah resolusi soal Universal Health Coverage (UHC), yakni agar semua negara anggota mengembangkan sistem pembiayaan kesehatan dengan tujuan menjamin kesehatan bagi seluruh rakyat. Sistem pembiayaan dimaksud tidak lain adalah asuransi yang melibatkan perusahaan pelat merah dan milik swasta (kapitalis).

Ketentuan ini dinarasikan “penting” untuk memastikan akses yang adil untuk semua warga negara, untuk tindakan preventif, promotif, kuratif dan rehabilitatif pelayanan kesehatan dengan biaya yang terjangkau. Padahal sejatinya, selain kental kepentingan bisnis, penerapan prinsip asuransi dalam pembiayaan kesehatan masyarakat adalah bentuk lepas tanggung jawab negara atas rakyatnya. Bukan hanya lepas tanggung jawab, negara justru juga sedang memberikan ruang besar bagi para pemilik modal yang berbisnis di sektor asuransi kesehatan untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya. Belum lagi bisnis-bisnis sektor kesehatan lain yang semuanya serba menjanjikan, seperti bisnis fasilitas kesehatan, farmasi, alat kesehatan, jasa tenaga kesehatan, dan lain-lainnya. Wajar jika kesehatan dalam sistem sekarang menjadi perkara yang sangat mahal. Tidak semua rakyat bisa mengakses layanan kesehatan terbaik.

Karena itu istilah “jaminan kesehatan” sebetulnya istilah yang menipu. Pasalnya, yang ada bukan jaminan kesehatan, tetapi asuransi sosial kesehatan. Konsekuensinya, seluruh rakyat wajib membayar iuran/premi bulanan. Meski iuran untuk orang miskin dibayar oleh negara (sebagai Penerima Bantuan Iuran-PBI), hal itu tidak menghilangkan hakikat bahwa seluruh rakyat wajib membayar iuran bulanan. Jadi pada dasarnya JKN sama dengan asuransi pada umumnya. Peserta JKN, yakni seluruh rakyat, baru bisa mendapat pelayanan dari BPJS selama membayar iuran/premi bulanan. Jika tidak bayar, mereka tidak mendapat pelayanan. Jika nunggak membayar, mereka pun dikenai denda. Jika terus menunggak, pelayanan bisa dihentikan. Jadi dalam JKN, rakyat tidak dijamin layanan kesehatannya oleh Pemerintah, melainkan oleh diri mereka sendiri.

JKN pun menganut prinsip pemberian pelayanan berdasarkan kemampuan bayar peserta atau status ekonomi peserta. Prinsip ini merupakan watak komersial yang dianut oleh lembaga bisnis. Watak itu makin kental karena BPJS menghimpun dana rakyat untuk investasi. Atas nama SJSN dan JKN, ratusan triliun dana rakyat dihimpun oleh BPJS atas nama iuran/premi asuransi sosial yang bersifat wajib. Sebagian dana itu wajib diinvestasikan oleh BPJS. Pasalnya, sesuai UU SJSN dan BPJS, investasi dana asuransi sosial itu bersifat mandatori, artinya wajib, tentu dengan segala konsekuensi sebuah investasi.

Jaminan Kesehatan dalam Islam

Dalam Islam, pelayanan kesehatan termasuk kebutuhan dasar masyarakat yang menjadi kewajiban negara. Negara wajib menyediakan rumah sakit, klinik, dokter, tenaga kesehatan dan fasilitas kesehatan lainnya yang diperlukan oleh masyarakat. Sebabnya, fungsi negara/pemerintah adalah mengurus segala urusan dan kepentingan rakyatnya. Dalilnya adalah sabda Rasul saw.:

فَاْلإِماَمُ رَاعٍ وَ هُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

Imam (penguasa) adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus (HR al-Bukhari).

Nabi Muhammad saw. pun—dalam kedudukan beliau sebagai kepala negara—pernah mendatangkan dokter untuk mengobati salah seorang warganya, yakni Ubay. Saat Nabi saw. mendapatkan hadiah dokter dari Muqauqis, Raja Mesir, beliau pun menjadikan dokter itu sebagai dokter umum bagi seluruh warganya (HR Muslim).

Artinya, Rasulullah saw., yang bertindak sebagai kepala Negara Islam, telah menjamin kesehatan rakyatnya secara cuma-cuma, dengan cara mengirimkan dokter kepada rakyatnya yang sakit tanpa memungut biaya dari rakyatnya itu (Taqiyuddin An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, II/143).

Diriwayatkan pula bahwa serombongan orang dari Kabilah ‘Urainah masuk Islam. Lalu mereka jatuh sakit di Madinah. Rasulullah saw. selaku kepala negara saat itu meminta mereka untuk tinggal di penggembalaan unta zakat yang dikelola oleh Baitul Mal di dekat Quba’. Mereka dibolehkan minum air susunya sampai sembuh (HR al-Bukhari dan Muslim).

Dalil lainnya, dituturkan oleh Zaid bin Aslam bahwa kakeknya pernah berkata, “Aku pernah sakit parah pada masa Khalifah Umar bin al-Khaththab. Lalu Khalifah Umar memanggil seorang dokter untukku.” (HR al-Hakim, Al-Mustadrak, IV/7464).

Artinya, Khalifah Umar selaku kepala Negara Islam telah menjamin kesehatan rakyatnya secara gratis, dengan cara mengirimkan dokter kepada rakyatnya yang sakit tanpa meminta sedikitpun imbalan dari rakyatnya (Taqiyuddin An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, 2/143).

Nas-nas di atas merupakan dalil syariah yang sahih, bahwa dalam Islam jaminan layanan kesehatan itu wajib diberikan oleh negara kepada rakyatnya secara gratis, tanpa membebani, apalagi memaksa rakyat mengeluarkan uang untuk mendapat layanan kesehatan dari negara.

Jaminan kesehatan dalam Islam itu memiliki tiga sifat. Pertama: Berlaku umum tanpa diskriminasi, dalam arti tidak ada pengkelasan dalam pemberian layanan kesehatan kepada rakyat, baik Muslim maupun non-Muslim. Kedua: Bebas biaya alias gratis. Rakyat tidak boleh dikenai pungutan biaya apapun untuk mendapat pelayanan kesehatan oleh negara. Ketiga: Seluruh rakyat harus diberi kemudahan untuk bisa mendapatkan pelayanan kesehatan oleh negara.

Pengadaan layanan, sarana dan prasarana kesehatan tersebut wajib senantiasa diupayakan oleh negara bagi seluruh rakyatnya. Pasalnya, jika pengadaan layanan kesehatan itu tidak ada maka akan dapat mengakibatkan terjadinya bahaya (dharar), yang dapat mengancam jiwa rakyatnya. Menghilangkan bahaya yang dapat mengancam rakyat itu jelas merupakan tanggung jawab negara. Rasulullah saw. bersabda:

لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ فِي اْلإِسْلاَمِ

Tidak boleh menimbulkan madarat (bahaya) bagi diri sendiri dan juga madarat (bahaya) bagi orang lain di dalam Islam (HR Ibnu Majah dan Ahmad).

Dengan demikian negara wajib senantiasa mengalokasikan anggaran belanjanya untuk pemenuhan kebutuhan kesehatan bagi seluruh rakyatnya. Negara tidak boleh melalaikan kewajibannya tersebut. Negara tidak boleh mengalihkan tanggung jawab tersebut kepada pihak lain, baik kepada pihak swasta, maupun kepada rakyatnya sendiri.

Pemberian jaminan kesehatan seperti itu tentu membutuhkan dana besar. Dana tersebut bisa dipenuhi dari sumber-sumber pemasukan negara yang telah ditentukan oleh syariah. Di antaranya dari hasil pengelolaan harta kekayaan umum termasuk hutan, berbagai macam tambang, minyak dan gas, dan sebagainya; dari sumber-sumber kharaj, jizyah, ghanîmah, fa’i, ‘usyur; dari hasil pengelolaan harta milik negara dan sebagainya. Semua itu akan lebih dari cukup untuk bisa memberikan pelayanan kesehatan secara memadai dan gratis untuk seluruh rakyat, tentu dengan kualitas yang jauh lebih baik daripada yang berhasil dicapai saat ini di beberapa negara. Kuncinya adalah dengan menerapkan syariah Islam secara kâffah (menyeluruh).

Alhasil, kita tidak dapat berharap lagi kepada negara yang tidak menerapkan syariah. Kita hanya bisa berharap pada negara yang menerapkan syariah Islam secara kâffah, yakni Khilafah Islamiyah. Khilafahlah model pemerintahan yang diamanahkan oleh Rasulullah saw. dan kemudian dijalankan oleh Khulafaur Rasyidin. []

—*—

Hikmah:

Rasulullah saw. bersabda:

مَا مِنْ عَبْدٍ يَسْتَرْعِيهِ اللهُ رَعِيَّةً يَمُوْتُ يَوْمَ يَمُوْتُ وَهُوَ غَاشٌ لِرَعِيَّتِهِ إِلاَّ حَرَّمَ اللهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ

Tidaklah seorang hamba dijadikan Allah sebagai pemimpin yang mengurusi rakyat, lalu dia mati dalam keadaan menipu rakyatnya, kecuali Allah mengharamkan surga bagi dirinya. (HR Muslim). []

Oleh: Refa | 2 Juni 2023

MEMBABAT KORUPSI HARUS DARI AKARNYA


Di negeri ini, korupsi seperti tak mati-mati. Muncul lagi, muncul lagi. Nyaris terjadi di semua lini. Padahal katanya, Pemerintah serius memberantas korupsi. Berdasarkan data ICW, ada 579 kasus korupsi yang telah ditindak di Indonesia sepanjang 2022. Jumlah itu meningkat 8,63% dibandingkan dengan pada tahun sebelumnya yang sebanyak 533 kasus (Dataindonesia.id, 21/3/2023).

Salah satu kasus korupsi yang cukup besar terjadi di lingkungan Kementerian Keuangan. Sebagaimana diketahui, Mahfud MD kembali buka suara pasca Kementerian Keuangan mengklarifikasi perbedaan data transaksi mencurigakan sebesar Rp 349 triliun. Mahfud sepakat dengan pernyataan tidak adanya perbedaan data, tetapi untuk dugaan korupsi yang disebutkan adalah Rp 35 triliun (CNBCIndonesia.com, 4/4/2023)

Kasus lain yang lagi viral adalah korupsi di lingkungan Kominfo. Kasus korupsi proyek BTS ini merugikan negara tidak kurang dari Rp 8 triliun dengan melibatkan banyak oknum pejabat dan tokoh partai. Bahkan Menkominfo dari Partai Nasdem telah dijadikan tersangka.

Selanjutnya kasus korupsi bansos yang kembali mencuat. Kerugian negara dalam kasus ini juga cukup besar. Tentu masih banyak kasus korupsi lain. Sebagian telah terbukti. Sebagian lagi merupakan dugaan kuat. Ambil contoh kasus proyek foodestate yang mangkrak, dengan anggaran triliunan rupiah. Proyek ini pun secara nyata telah merusak lingkungan. Pasalnya, ribuan hektar hutan telah terlanjur dibabat habis. Contoh lain, yang juga mangkrak dan terus mengalami pembengkakan biaya, adalah proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB). Tentu masih banyak kasus-kasus dugaan korupsi lainnya.

Sejak era Reformasi, di antara ratusan kasus korupsi yang terjadi, ada puluhan kasus korupsi yang terbilang sangat besar. Di antaranya: kasus penyerobotan lahan seluas 37.095 hektar di Riau yang menyeret PT Duta Palma Group, yang merugikan negara mencapai Rp 78 triliun; kasus korupsi yang menyeret PT Trans-Pacific Petrochemical Indotama (TPPI) dengan kerugian negara mencapai 2,7 miliar dolar Amerika Serikat atau sekitar Rp 37,8 triliun; kasus korupsi PT Asabri yang menyebabkan negara harus merugi Rp 22,7 triliun; kasus korupsi PT Jiwasraya yang menjadikan negara mengalami kerugian sebesar Rp 16,8 triliun; dll (Lihat: Kompas.com, 15/1/2023).

Tiga Jenis Korupsi

Dalam salah satu artikel yang dimuat di situs KPK.go.id, disebutkan bahwa korupsi memiliki berbagai bentuk dan jenis. Pelakunya mulai dari level terendah hingga para penyelenggara negara dan anggota legislatif.

Berdasarkan skala dampak dan paparannya, korupsi dapat dibagi menjadi tiga jenis. Pertama: Petty Corruption. Petty corruption adalah korupsi skala kecil oleh pejabat publik yang berinteraksi dengan masyarakat. Jenis korupsinya seperti pungutan liar, gratifikasi, penyuapan, uang pelicin, atau pemerasan untuk memuluskan pelayanan publik atau birokrasi. Padahal pelayanan tersebut seharusnya murah atau bahkan gratis untuk masyarakat.

Kedua: Grand Corruption. Grand corruption (korupsi kelas kakap) adalah korupsi dengan nilai kerugian negara yang fantastis, miliaran hingga triliunan rupiah. Korupsi kakap menguntungkan segelintir orang dan mengorbankan masyarakat secara luas.

KPK dalam Renstra 2011-2015 menjelaskan ada empat kriteria grand corruption: (1) melibatkan pengambil keputusan terhadap kebijakan atau regulasi; (2) melibatkan aparat penegak hukum; (3) berdampak luas terhadap kepentingan nasional; (4) kejahatannya berlangsung sistemik dan terorganisir.

Grand corruption kadang muncul akibat kongkalikong antara pengusaha dan para pengambil keputusan atau pembuat kebijakan.

Ketiga: Political Corruption. Political corruption (korupsi politik) terjadi ketika pengambil keputusan politik menyalahgunakan wewenangnya dengan memanipulasi kebijakan, prosedur, atau aturan demi keuntungan diri atau kelompoknya. Keuntungan ini bisa berupa kekayaan, status atau perpanjangan masa jabatan. Jenis-jenis political corruption adalah penyuapan, perdagangan pengaruh, jual beli suara, nepotisme, atau pembiayaan kampanye.

Political corruption pun melibatkan orang-orang di level tinggi penyelenggara negara yang main mata dengan pengusaha. Political corruption juga sangat berpotensi terjadi ketika anggota legislatif merangkap sebagai pengusaha. Mereka kemudian memanipulasi institusi politik untuk memengaruhi pemerintahan dan sistem politik demi kepentingan perusahaannya. Undang-undang dan regulasi disalahgunakan, tidak dilakukan secara prosedural, diabaikan, atau bahkan dirancang sesuai dengan kepentingan mereka.

Selain untuk memperkaya diri sendiri dan mempertahankan jabatan, political corruption juga biasa dilakukan untuk mengumpulkan dana bagi pemenangan parpol atau dirinya pada pemilihan berikutnya. Uang hasil korupsi ini kemudian digunakan untuk melakukan money politic, yaitu menyogok rakyat, agar bisa terpilih kembali (Lihat: KPK.go.id, 11/1/2023).

Membabat Korupsi dari Akarnya

Semua kasus korupsi di atas, baik petty corruption, grand corruption maupun political corruption, terjadi dalam sistem demokrasi saat ini.

Tentu tidak mudah memberantas ketiga jenis korupsi di atas dalam sistem demokrasi. Pasalnya, demokrasi, yang secara teoretis mengklaim kedaulatan rakyat, dalam tataran faktual tidaklah demikian. Dalam praktiknya, kedaulatan rakyat sebagai ‘ruh’ demokrasi selalu dibajak oleh segelintir para pemilik modal atau oleh elit penguasa yang didukung oleh para pemodal. Inilah yang terjadi di banyak negara yang menerapkan demokrasi, termasuk di negeri ini.

Alhasil, negara yang menerapkan demokrasi, dalam praktiknya tak lebih merupakan negara ‘kleptokrasi’; negara yang dikuasai ‘para maling’. Pasalnya, di negara-negara demokrasi, yang selalu memiliki kuasa adalah segelintir orang yang ‘bermental maling’. Merekalah yang telah ‘mencuri’ atau ‘merampas’ kedaulatan rakyat dan mengubahnya menjadi kedaulatan elit wakil rakyat, elit politik dan elit para pemilik modal.

Dengan realitas sistem demokrasi semacam ini, jelas korupsi tak akan pernah berhenti, bahkan bisa makin menjadi-jadi, sebagaimana saat ini.

Karena itu solusi mendasarnya adalah dengan mencampakkan sistem demokrasi saat ini. Lalu diganti dengan sistem Islam. Dalam sistem Islam, kepemimpinan dan kekuasaan adalah amanah. Tanggung jawabnya tak hanya di hadapan manusia di dunia, tetapi juga di hadapan Allah SWT di akhirat kelak.

Dengan demikian sistem Islam mencegah sedari dini manusia untuk memiliki ‘niat korupsi’ di awal. Pada titik inilah Islam memberikan solusi secara sistemis dan ideologis terkait pemberantasan korupsi.

Dalam Islam, ada sejumlah langkah dalam memberantas bahkan mencegah korupsi, antara lain: Pertama, penerapan ideologi Islam, yang meniscayakan penerapan syariah Islam secara kâffah dalam segala aspek kehidupan, termasuk dalam hal kepemimpinan. Dalam Islam, pemimpin negara (khalifah), misalnya, diangkat untuk menjalankan pemerintahan sesuai dengan al-Quran dan as-Sunnah. Begitu pun pejabat lainnya.

Kedua, pemilihan penguasa dan para pejabat yang bertakwa dan zuhud. Dalam pengangkatan pejabat atau pegawai negara, Khilafah menetapkan syarat takwa sebagai ketentuan, selain syarat profesionalitas. Ketakwaan akan menjadikan seorang pejabat dalam melaksanakan tugasnya selalu merasa diawasi oleh Allah SWT.

Ketiga, pelaksanaan politik secara syar’i. Dalam Islam, politik itu intinya adalah ri’âyah syar’iyyah, yakni bagaimana mengurusi rakyat dengan sepenuh hati dan jiwa sesuai dengan tuntutan syariah Islam. Bukan politik yang tunduk pada kepentingan oligarki, pemilik modal, atau elit rakus.

Keempat, penerapan sanksi tegas yang berefek jera. Dalam Islam, hukuman tegas tersebut bisa dalam bentuk publikasi, stigmatisasi, peringatan, penyitaan harta, pengasingan, cambuk hingga hukuman mati.

Pentingnya Keteladanan

Dalam Islam, keimanan dan ketakwaan penguasa dan para pejabat tentu penting. Namun, sistem yang menjaga mereka agar tidak melenceng itu jauh lebih penting. Tidak ada yang meragukan keimanan Sahabat Muadz bin Jabal ra. Namun, Rasulullah saw. tetap menasihati dirinya. Bahkan ketika ia diutus ke Yaman dan sudah melakukan perjalanan, Rasulullah saw. memerintahkan seseorang untuk memanggil dia kembali. Ketika Muadz ra. kembali, beliau bersabda:

أَتَدْرِي لِمَ بَعَثْتُ إِلَيْكَ؟ لاَ تُصِيبَنَّ شَيْئًا بِغَيْرِ إِذْنِي فَإِنَّهُ غُلُولٌ. وَمَنْ يَغْلُلْ يَأْتِ بِمَا غَلَّ يَوْمَ القِيَامَةِ. لِهَذَا دَعَوْتُكَ، فَامْضِ لِعَمَلِكَ

Tahukah kamu mengapa aku mengirim orang untuk menyusul dirimu? Janganlah kamu mengambil sesuatu tanpa izinku karena hal itu adalah ghulûl (khianat). Siapa saja yang berbuat ghulûl, pada Hari Kiamat ia akan datang membawa apa yang dia khianati itu (QS Ali Imran [3]: 61). Karena inilah aku memanggil dirimu. Sekarang pergilah untuk melakukan tugasmu (HR at-Tirmidzi).

Selain itu adalah keteladanan. Rasulullah saw., walaupun memegang banyak harta negara, hidup sederhana. Beliau, misalnya, biasa tidur di atas selembar tikar yang kasar yang meninggalkan bekas pada tubuh beliau.

Setelah Rasulullah saw. pengganti beliau dalam urusan pemerintahan, yakni Khalifah Abu Bakar ra., hanya mengambil sekadarnya saja harta dari Baitul Mal untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarganya sehari-hari.

Pengganti beliau, Khalifah Umar ra., juga hidup sederhana. Khalifah Umar ra. pernah meminta masukan kepada Salman al-Farisi. Apa kira-kira kekurangan beliau dalam pandangan masyarakat. Salman menolak, tetapi Khalifah Umar mendesak. Akhirnya, Salman berkata bahwa ada masyarakat yang menggunjingkan Khalifah Umar yang sering mengumpulkan dua macam lauk dalam satu hidangan makan. Sejak saat itu Khalifah Umar tidak pernah makan dengan dua macam lauk.

Khatimah

Alhasil, penerapan syariah Islam akan efektif dalam memberantas korupsi. Upaya ini membutuhkan kesungguhan dan komitmen semua pihak untuk segera mewujudkan sistem pemerintahan yang menerapkan syariah Islam secara kâffah.
WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. []

—*—

Hikmah:

Rasulullah saw. bersabda:

إِنَّ رِجَالاً يَتَخَوَّضُونَ فِي مَالِ اللَّهِ بِغَيْرِ حَقٍّ فَلَهُمْ النَّارُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Sungguh ada sebagian orang yang mengambil harta milik Allah bukan dengan cara yang haq. Karena itu bagi mereka azab neraka pada Hari Kiamat. (HR al-Bukhari).

Oleh: Refa | 13 Februari 2023

TUGAS MULIA ULAMA: MENJAGA WARISAN NABI SAW.


SATU abad sudah Khilafah—sebagai satu-satunya sistem pemerintahan Islam—dihancurkan, bahkan dihapus dari peta dunia. Satu abad pula Khilafah—sebagai ajaran Islam—terus berusaha dihapus dari benak kaum Muslim.

Khilafah resmi dibubarkan oleh Mustafa Kemal Ataturk, seorang Yahudi keturunan Dunamah, tanggal 3 Maret 1924 (27 Rajab 1342). Persis satu abad lalu. Pembubaran Khilafah—yakni Khilafah Utsmaniyah—oleh Mustafa Kemal didukung penuh oleh Inggris, sebagai negara penjajah garda terdepan saat itu. Bahkan Inggrislah ‘sutradara’ di balik pembubaran Khilafah. Pasalnya, penghapusan sistem Khilafah merupakan salah satu syarat yang diajukan Inggris agar kekuasaan Mustafa Kemal Ataturk atas negara Turki diakui. Syarat lainnya antara lain Mustafa Kemal harus segera memproklamirkan Turki sebagai negara sekuler (Mahmud Syakir, Târîkh al-Islâm, 8/233).

Beberapa bulan setelah penghapusan sistem Khilafah, pada tanggal 24 Juli 1924, kemerdekaan Negara Turki sekuler secara resmi diakui dengan penandatanganan Traktat Lausanne. Ternyata, pengakuan terhadap kemerdekaan Turki ini ditentang oleh sekutu-sekutu Inggris. Namun, untuk meyakinkan para sekutunya, seorang pejabat Kementerian Luar Negeri Inggris saat itu, George Curzon, berkomentar, “The point at issue is that Turkey has been destroyed and shall never rise again because we have destroyed her spiritual power: The Caliphate and Islam (Inti permasalahannya adalah bahwa Turki telah dihancurkan dan tidak akan bangkit kembali. Pasalnya, kita telah menghancurkan kekuatan spiritualnya: Khilafah dan Islam).” (The Middle East, Vol 30, Part 4, p. 39).

Satu Abad Wacana Menolak Khilafah

Setahun sejak Khilafah dibubarkan, seorang ulama al-Azhar, Ali Abdur Raziq, menulis sebuah buku yang sangat kontroversial pada masanya. Pasalnya, di dalam buku tersebut Ali Abdur Raziq dengan berani menolak kewajiban menegakkan Khilafah yang telah disepakati oleh para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah (Aswaja). Bahkan dia menolak Khilafah sebagai bagian dari ajaran Islam. Buku yang dimaksud berjudul Al-Islâm wa Ushûl al-Hukm yang terbit di Kairo, Mesir, tahun 1925.

Karena sikapnya yang menolak Khilafah, Ali Abdur Raziq disidang oleh Majelis Ulama Besar al-Azhar di bawah pimpinan al-Azhar saat itu, yakni Syaikh Muhammad Abu al-Fadhl, dengan 24 anggota ulama Korps Ulama al-Azhar. Para ulama itu secara ijmak (konsensus) telah memecat Ali Abdur Raziq dari Korps Ulama al-Azhar. Ali Abdur Raziq juga dipecat dari semua jabatan yang dia pegang di al-Azhar.

Keputusan Korps Ulama al-Azhar tersebut seolah ingin menegaskan bahwa Ali Abdur Raziq tidak layak lagi menyandang status ulama—apalagi ulama al-Azhar—karena telah menolak Khilafah. Inilah keputusan yang benar.

Boleh dikatakan, sejak Ali Abdur Raziqlah wacana penolakan Khilafah dimulai. Sayangnya, sejak itu wacana penolakan Khilafah terus digaungkan di Dunia Islam. Hari ini pun, setelah satu abad lewat, justru makin banyak ulama—termasuk yang mengklaim Aswaja—yang malah mengikuti jejak Ali Abdur Raziq, sosok yang telah dipecat sebagai ulama tidak lama setelah penerbitan bukunya yang menolak Khilafah.

Khilafah Warisan Rasulullah saw.

Rasulullah saw. pernah bersabda:

فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ

Kalian wajib berpegang teguh pada Sunnahku dan Sunnah Khulafaur Rasyidin yang mendapatkan petunjuk dan gigitlah ia oleh kalian dengan gigi geraham (HR Abu Dawud).

Sunnah Khulafaur Rasyidin yang paling menonjol tentu saja adalah Khilafah ar-Râsyidah ‘alâ minhâj an-Nubuwwah. Khilafah ini merupakan kelanjutan dari Daulah Islam (Negara Islam) yang didirikan oleh Rasulullah saw. sejak pertama kali beliau hijrah ke Madinah. Dengan demikian Daulah Islam atau Khilafah Islam merupakan satu-satunya sistem pemerintahan Islam yang diwariskan oleh Rasulullah saw., yang wajib dipegang teguh oleh seluruh umat Islam.

Wajar jika setelah era Khulafaur Rasyidin berakhir, kaum Muslim secara terus-menerus melanjutkan kepemimpinan Khilafah ini. Berakhirnya Khilafah di era Khulafaur Rasyidin segera dilanjutkan oleh Khilafah era Umayah, kemudian era Abasiyah dan yang terakhir era Utsmaniyah. Sayangnya, di era Utsmaniyah inilah Khilafah dibubarkan oleh musuh-musuh Islam setelah tidak kurang 14 abad menjadi institusi penjaga Islam serta pelindung dan pengayom kaum Muslim sedunia. Padahal pada era Khilafah pula kaum Muslim mencapai puncak kejayaannya dan masa keemasan peradabannya. Hal ini telah banyak diakui bahkan oleh para ahli Barat yang jujur. Salah satunya Will Durant. Ia berkata, “Para Khalifah telah memberikan keamanan kepada manusia hingga batas yang luar biasa besarnya bagi kehidupan dan usaha keras mereka. Para Khalifah itu juga telah menyediakan berbagai peluang bagi siapapun yang membutuhkan serta memberikan kesejahteraan selama berabad-abad dalam keluasan wilayah yang belum pernah tercatat lagi fenomena seperti itu setelah masa mereka. Kegigihan dan kerja keras mereka menjadikan pendidikan menyebar luas sehingga berbagai ilmu, sastra, falsafah dan seni mengalami kejayaan luar biasa; yang menjadikan Asia Barat sebagai bagian dunia yang paling maju peradabannya selama lima abad.” (Will Durant – The Story of Civilization).

Cukuplah pernyataan Will Durant ini sebagai bantahan terhadap mereka yang menuding Khilafah sebagai ancaman bagi dunia.

Khilafah Ajaran Asli Ulama Aswaja

Para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah (Aswaja) sesungguhnya telah menegaskan bahwa mendirikan Khilafah atau mengangkat Khalifah untuk seluruh kaum Muslim sedunia adalah wajib. Kewajiban ini merupakan Ijmak Sahabat bahkan telah menjadi ijmak mayoritas ulama. Imam an-Nawawi, salah seorang ulama Aswaja sekaligus ulama mu’tabar mazhab Syafii, di dalam kitabnya, Syarh Shahîh Muslim, menegaskan:

وَأَجْمَعُوا عَلَى أَنَّهُ يَجِبُ عَلَى الْمُسْلِمِينَ نَصْبُ خَلِيفَةٍ وَوُجُوبُهُ بِالشَّرْعِ لَا بِالْعَقْلِ. وَأَمَّا مَا حُكِيَ عَنِ الْأَصَمِّ أَنَّهُ قَالَ لَا يَجِبُ وَعَنْ غَيْرِهِ أَنَّهُ يَجِبُ بِالْعَقْلِ لَا بِالشَّرْعِ فَبَاطِلَانِ

Para ulama telah berijmak bahwa wajib atas kaum Muslim mengangkat seorang khalifah. Kewajiban ini didasarkan pada ketentuan syariah, bukan didasarkan pada ketentuan akal. Adapun yang diriwayatkan dari al-‘Asham bahwa mengangkat khalifah tidak wajib, juga dari yang selain dia bahwa mengangkat khalifah wajib berdasarkan akal, bukan berdasarkan syariah, maka pendapat keduanya adalah batil (An-Nawawi, Syarh an-Nawawi ‘alâ Muslim, 6/291).

Pernyataan Imam an-Nawawi ini sekaligus merupakan pendapat asli ulama Aswaja tentang Khilafah. Justru yang menolak kewajiban Khilafah adalah al-‘Asham, dari kalangan Muktazilah. Disebut al-‘Asham, sebagaimana dinyatakan oleh Imam al-Qurthubi, karena dia tuli terhadap syariah (Lihat: Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, 1/264).

Alhasil, mereka yang menolak kewajiban Khilafah jelas menyalahi ajaran ulama Aswaja. Mereka justru mengikuti pendapat al-‘Asham, yang tuli terhadap syariah.

Tugas Mulia Ulama

Allah SWT berfirman:

إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ

Sungguh yang paling takut kepada Allah di antara para hamba-Nya adalah para ulama (QS Fathir [35]: 28).

Nabi saw. juga bersabda:

العُلَمَاءُ وَرَثَةُ اْلأَنْبِيَاءِ

Para ulama itu adalah pewaris para nabi (HR Abu Dawud dan at-Tirmidzi).

Jelas, Allah SWT dan Rasul-Nya telah memuliakan para ulama yang bertakwa, yang hanya takut kepada-Nya. Mereka inilah yang senantiasa berani menyatakan kebenaran dan tidak takut kepada siapapun selain kepada Allah SWT.

Khilafah jelas ajaran Islam. Khilafah bahkan merupakan bagian dari syariah Islam yang agung. Kewajiban menegakkan Khilafah pun telah disepakati oleh para ulama sejak dulu. Karena itu para ulama saat ini harus menyuarakan Khilafah dengan benar, sebagaimana yang dijelaskan oleh para ulama dulu. Bukan menjadi penyambung lidah para penolak Khilafah. Apalagi di barisan mereka berdiri gembong kaum kafir penjajah, baik dulu seperti George Curzon maupun kini seperti George Bush, Tony Blair dan para pemimpin kafir Barat penjajah lainnya yang memang membenci Khilafah. Ingatlah, tugas ulama adalah menjelaskan ajaran Islam—termasuk Khilafah—apa adanya kepada umat manusia. Allah SWT berfirman:

لَتُبَيِّنُنَّهُ لِلنَّاسِ وَلاَ تَكْتُمُوْنَهُ

Hendaklah kalian menjelaskan isi Kitab itu kepada umat manusia dan tidak kalian sembunyikan (QS Ali Imran [3]: 187).

Sesungguhnya menegakkan Khilafah di muka bumi merupakan kewajiban yang paling agung. Dasarnya—selain al-Quran dan as-Sunnah—adalah Ijmak Sahabat. Imam al-Haitami menyatakan:

بَلْ جَعَلُوْهُ أَهَمَّ الْوَاجِبَاتِ حَيْثُ اِشْتَغَلُّوْا بِهِ عَنِ دَفْنِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Bahkan para Sahabat menjadikan pemilihan dan pengangkatan khalifah sebagai kewajiban paling penting. Buktinya, mereka menyibukkan diri dengan pemilihan dan pengangkatan khalifah tersebut seraya menunda (sementara) pemakaman Rasulullah saw. (Al-Haitami, Ash-Shawâ’iq al-Muhriqah, hlm. 55).

Khatimah

Alhasil, yang semestinya dilakukan oleh para ulama saat ini bukan saja menyuarakan kewajiban menegakkan Khilafah. Harusnya mereka pun turut berjuang untuk menegakkan kembali Khilafah. Ini jelas selaras dengan ajaran para ulama Aswaja seperti Imam an-Nawawi, Imam al-Haitami, Imam Qurthubi, Imam al-Ghazali, Imam al-Mawardi, Imam ar-Ramli dll. Bahkan Imam asy-Syathibi—seorang ulama besar yang pendapatnya tentang maqâshid asy-syarî’ah sering dijadikan dasar untuk menolak Khilafah—memandang Khilafah sebagai fardhu kifayah (Asy-Syathibi, Al-Muwâfaqât, 1/127).

Menurut Syaikh Mahmud Abdul Karim Hasan, maqâshid asy-syarî’ah ini justru hanya akan terwujud di dalam sistem Khilafah. Bukan dalam sistem pemerintahan demokrasi-sekuler ataupun yang lain meski di bawah payung Piagam PBB sekalipun, yang notabene bukan syariah karena tidak di- istinbâth dari al-Quran dan as-Sunnah.

WalLâhu a’lam. []

—*—

Hikmah:

Imam Malik ra. berkata:

لَنْ يُصْلِحَ آخِرَ هَذِهِ الأُمَّةِ إِلاَّ مَا أَصْلَحَ أَوَّلَهَا

Tidak akan pernah bisa memperbaiki kondisi generasi akhir umat saat ini kecuali apa yang telah terbukti mampu memperbaiki kondisi generasi awal mereka. (Imam at-Tirmidzi, Adhwâ’ al-Bayân [Mukhtashar asy-Syamâíl Muhammadiyyah]], 2/282). []

Oleh: Refa | 14 Januari 2023

CARA EFEKTIF DAN SYAR’I MEMBASMI KORUPSI


Dari tahun ke tahun, korupsi di Indonesia kian menunjukkan peningkatan; baik dari segi jumlah kasus, tersangka maupun potensi kerugian negaranya.
Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung (Kejagung) Febrie Adriansyah memaparkan capaian kinerja jajarannya di sepanjang tahun 2022. Dari hasil penanganan perkara korupsi yang ditangani, tercatat kerugian negara dan perekonomian negara mencapai Rp 144,2 triliun (Merdeka.com, 7/01/2023).

Demokrasi Menyuburkan Korupsi

Menko Polhukam Mahfud MD mengatakan, korupsi lahir dari banyak politisi yang dipilih lewat proses secara demokratis. Menurut dia, hal ini menjadi contoh bahwa demokrasi tak selalu mendukung lahirnya tata kelola yang baik.

Dia kemudian merinci penjelasan di atas dengan perjalanan demokrasi di Indonesia. Mula-mula, kata Mahfud, saat NKRI berdiri pada 1945 telah disepakati demokrasi sebagai sistem pemerintahan. “Ketika pemerintahan bermasalah, politik bermasalah, pilihannya selalu demokrasi. Pada 1945 tiba-tiba lahir demokrasi parlementer, demokrasi liberal dengan sistem parlementer. Pada 1959, karena demokrasi liberal bermasalah, lahir demokrasi terpimpin. Pada 1966 lahir demokrasi Pancasila,” ungkap Mahfud.

Kemudian, kata Mahfud, Reformasi 1998 melahirkan demokrasi agar tata kelola pemerintahan ini menjadi baik, terhindar dari korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Merujuk dari sejarah panjang tersebut, bangsa Indonesia selalu memilih demokrasi sebagai jalan keluar jika ada persoalan dalam pemerintahan (Kompas.com, 10/01/2023).

Faktanya, demokrasi pada era Reformasi malah makin subur dan menjadi-jadi. Transparency International Indonesia (TII), sebagaimana dikutip Detik.com, memaparkan hasil survei terkait korupsi di Indonesia. Survei dilakukan pada 15 Juni-24 Juli 2020. Hasilnya, TII mengatakan masyarakat menempatkan anggota legislatif sebagai lembaga terkorup di Indonesia. Berikut urutannya: (1) Anggota Legislatif, 51%; (2) Pejabat Pemerintah Daerah, 48%; (3) Pejabat Pemerintahan, 45%; (4) Polisi, 33%; (5) Pebisnis, 25%; (6) Hakim/Pengadilan, 24%; (7) Presiden/Menteri, 20%; (8) LSM, 19%; (9) Bankir, 17%; (10) TNI, 8%; (11) Pemuka Agama, 7%.

Ini artinya, pilihan atas sistem demokrasi bukanlah jalan keluar dan solusi bagi aneka persoalan yang ada, terutama korupsi. Demokrasi—yang notabene lahir dari sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan)—justru menjadi biang atau akar segala persoalan yang ada, termasuk korupsi. Alhasil, selama demokrasi bercokol di negeri ini, korupsi tak akan pernah berhenti, bahkan makin menjadi-jadi, sebagaimana saat ini.

Solusi Hakiki

Dalam Islam, kepemimpinan dan kekuasaan adalah amanah. Tanggung jawabnya tak hanya di hadapan manusia di dunia, tetapi juga di hadapan Allah SWT di akhirat kelak.

Karena itu sistem Islam yang disandarkan pada akidah Islam memberikan solusi yang tak hanya muncul ketika ada masalah. Sistem Islam mencegah sedari dini manusia untuk memiliki ‘niat korupsi’ di awal. Pada titik inilah, Islam memberikan solusi secara sistemis dan ideologis terkait pemberantasan korupsi.

Dalam Islam, ada sejumlah langkah dalam memberantas bahkan mencegah korupsi, antara lain: Pertama, penerapan Ideologi Islam. Penerapan Ideologi lslam meniscayakan penerapan syariah Islam secara kâffah dalam segala aspek kehidupan. Termasuk dalam hal kepemimpinan. Karena itu dalam Islam, pemimpin negara (khalifah), misalnya, diangkat untuk menjalankan pemerintahan sesuai dengan al-Quran dan as-Sunnah. Begitu pun pejabat lainnya. Mereka diangkat untuk menerapkan dan melaksanakan syariah Islam.

Kedua, pemilihan penguasa dan para pejabat yang bertakwa dan zuhud. Dalam pengangkatan pejabat atau pegawai negara, Khilafah menetapkan syarat takwa sebagai ketentuan, selain syarat profesionalitas. Ketakwaan menjadi kontrol awal sebagai penangkal berbuat maksiat dan tercela. Ketakwaan akan menjadikan seorang pejabat dalam melaksanakan tugasnya selalu merasa diawasi oleh Allah SWT.

Ketika takwa dibalut dengan zuhud, yakni memandang rendah dunia dan qanâ’ah dengan pemberian Allah SWT, maka pejabat atau pegawai negara betul-betul amanah. Sebabnya, bagi mereka dunia bukanlah tujuan. Tujuan mereka hidup di dunia adalah demi meraih ridha Allah SWT. Karena itu mereka paham betul bahwa menjadi pemimpin, pejabat atau pegawai negara hanyalah sarana untuk mewujudkan ‘izzul Islâm wal Muslimîn. Bukan demi kepentingan materi atau memperkaya diri dan kelompoknya.

Ketiga, pelaksanaan politik secara syar’i. Dalam Islam, politik itu intinya adalah ri’âyah syar’iyyah, yakni bagaimana mengurusi rakyat dengan sepenuh hati dan jiwa sesuai dengan tuntutan syariah Islam. Bukan politik yang tunduk pada kepentingan oligarki, pemilik modal, atau elit rakus.

Keempat, penerapan sanksi tegas yang berefek jera. Dalam Islam, sanksi tegas diberlakukan demi memberikan efek jera dan juga pencegah kasus serupa muncul berulang. Hukuman tegas tersebut bisa dalam bentuk publikasi, stigmatisasi, peringatan, penyitaan harta, pengasingan, cambuk hingga hukuman mati.

Teladan Rasulullah saw. dan Para Khalifah

Dalam Islam, keimanan dan ketakwaan penguasa dan para pejabat tentu penting. Namun, sistem yang menjaga mereka agar tidak melenceng itu jauh lebih penting. Tidak ada yang meragukan keimanan Sahabat Muadz bin Jabal ra. Namun, Rasulullah saw. tetap menasihati dirinya. Bahkan ketika ia diutus ke Yaman dan sudah melakukan perjalanan, Rasulullah saw. memerintahkan seseorang untuk memanggil dia kembali. Ketika Muadz ra. kembali, beliau bersabda:

أَتَدْرِي لِمَ بَعَثْتُ إِلَيْكَ؟ لَا تُصِيبَنَّ شَيْئًا بِغَيْرِ إِذْنِي فَإِنَّهُ غُلُولٌ. وَمَنْ يَغْلُلْ يَأْتِ بِمَا غَلَّ يَوْمَ القِيَامَةِ. لِهَذَا دَعَوْتُكَ، فَامْضِ لِعَمَلِكَ

Tahukah kamu mengapa aku mengirim orang untuk menyusul dirimu? Janganlah kamu mengambil sesuatu tanpa izinku karena hal itu adalah ghulûl (khianat). Siapa saja yang berbuat ghulûl, pada Hari Kiamat ia akan datang membawa apa yang dia khianati itu (QS Ali Imran [3]: 61). Karena inilah aku memanggil dirimu. Sekarang pergilah untuk melakukan tugasmu (HR at-Tirmidzi).

Selain itu adalah keteladanan. Rasulullah saw., walaupun memegang banyak harta negara, hidup sederhana. Beliau, misalnya, biasa tidur di atas selembar tikar yang kasar yang meninggalkan bekas pada tubuh beliau. Ketika Ibnu Mas’ud ra. menawarkan untuk membuatkan kasur yang empuk, beliau berkata:

مَا لِي وَلِلدُّنْيَا، مَا أَنَا فِي الدُّنْيَا إِلاَّ كَرَاكِبٍ اسْتَظَلَّ تَحْتَ شَجَرَةٍ ثُمَّ رَاحَ وَتَرَكَهَا

Tidak ada urusan kecintaanku dengan dunia, Aku di dunia ini tidak lain hanyalah seperti seorang pengendara yang bernaung di bawah pohon, lalu beristirahat, kemudian meninggalkannya (HR at-Tirmidzi).

Setelah Rasulullah saw. pengganti beliau dalam urusan pemerintahan, yakni Khalifah Abu Bakar ra., hanya mengambil sekadarnya saja harta dari Baitul Mal untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarganya sehari-hari. Menjelang wafat, beliau berwasiat agar mengembalikan harta dari Baitul Mal itu jika ada kelebihannya.

Pengganti beliau, Khalifah Umar ra., juga hidup sederhana. Khalifah Umar ra. pernah meminta masukan kepada Salman al-Farisi. Apa kira-kira kekurangan beliau dalam pandangan masyarakat. Salman menolak, tetapi Khalifah Umar mendesak. Akhirnya, Salman berkata bahwa ada masyarakat yang menggunjingkan Umar yang sering mengumpulkan dua macam lauk dalam satu hidangan makan. Sejak saat itu Khalifah Umar tidak pernah makan dengan dua macam lauk.

Tidak hanya diri mereka sendiri yang bersih dari korupsi. Mereka juga menjaga agar kerabatnya tidak menggunakan jabatan ayah atau saudaranya untuk memperkaya diri mereka. Suatu ketika Khalifah Umar ra. melihat unta gemuk di padang gembalaan yang sudah diproteksi negara. Ketika dia tahu bahwa itu unta anaknya, beliau menyuruh anaknya untuk menjual unta tersebut. Modal pokok untuk membeli unta tersebut diberikan kepada anaknya. Laba penjualannya dimasukkan ke dalam Baitul Mal kaum Muslim.

Pejabat juga dituntut untuk menjaga harta rakyat. Tidak boleh ada yang hilang atau tersia-sia. Khalifah Umar ra. pernah mengejar unta zakat yang lepas, lalu ditegur oleh Imam Ali ra. Khalifah Umar ra. menjawab, “Jangan engkau mencelaku, wahai Abul Hasan. Demi Tuhan Yang telah mengutus Muhammad saw. dengan kenabian, andaikan ada anak domba (zakat) hilang di tepi sungai Eufrat, pasti Umar akan dihukum karena hal tersebut pada Hari Kiamat. Tiada kehormatan bagi seorang penguasa yang menghilangkan (hak) kaum Muslim.” (As-Samarqandi, Tanbîh al-Ghâfilîn, hlm. 383-384).

Jika Khalifah Umar ra. mendapati kekayaan seorang wali atau ‘amil (kepala daerah) bertambah secara tidak wajar, beliau meminta pejabat tersebut menjelaskan asal-usul harta tambahan tak wajar tersebut. Jika penjelasannya tidak memuaskan, kelebihannya disita atau dibagi dua. Separuhnya diserahkan ke Baitul Mal. Hal ini pernah beliau lakukan kepada Abu Hurairah, Utbah bin Abu Sufyan juga Amr bin Al-Ash (Ibn ’Abd Rabbih al-Andalusi, Al-’Aqd al-Farîd, 1/46–47).

Ini untuk kasus yang syubhat. Adapun untuk kasus yang jelas-jelas terbukti seseorang memperkaya diri sendiri dengan jalan curang, hukumannya adalah ta’zir. Bisa disita hartanya, dicambuk, dipenjara, atau bahkan dihukum mati; bergantung pada efek kerusakan yang ditimbulkan korupsi tersebut.

Khatimah

Alhasil, penerapan syariah Islam akan efektif dalam memberantas korupsi. Upaya ini membutuhkan kesungguhan dan komitmen semua pihak untuk segera mewujudkan sistem pemerintahan Islam yang akan menerapkan syariah Islam secara kâffah. []

—*—

Hikmah:

Imam al-Ghazali rahimahulLâh berkata:

فَفَسَادُ الرَّعَايَا بِفَسَادِ الْمُلُوْكِ وَفَسَادُ الْمُلُوْكِ بِفَسَادِ الْعُلَمَاءِ وَفَسَادُ الْعُلَمَاءِ باِسْتِيْلاَءِ حُبِّ الْمَالِ وَالْجَاهِ

Kerusakan masyarakat itu akibat kerusakan penguasa. Kerusakan penguasa adalah akibat kerusakan ulama. Kerusakan ulama adalah akibat mereka dikuasai oleh cinta harta dan jabatan. (Al-Ghazali, Ihyâ ‘Ulûm ad-Dîn, 2/357).

Oleh: Refa | 27 November 2022

Krisis Adab Remaja dan Pelajar Indonesia!


Orangtua dan para pendidik mesti prihatin dan waspada. Kini krisis adab melanda remaja dan pelajar di Tanah Air. Beberapa hari lalu viral video sekumpulan pelajar SMA di Tapanuli Selatan yang menendang seorang perempuan lansia hingga mental. Sebelum itu, beredar juga video beberapa pelajar SMP mem-bully kawannya di dalam kelas. Mereka ramai-ramai memukuli dan menendang kepala korban hingga pingsan.
Video dan pemberitaan remaja dan pelajar melakukan bully (perundungan), kekerasan hingga tindak kriminal sudah amat sering beredar. Ini menandakan bahwa ada persoalan besar dalam dunia pendidikan dan lingkungan sosial anak-anak muda kita.
Di sisi lain, pengajaran Islam justru semakin dijauhkan. Orangtua, sekolah dan masyarakat terus ditakut-takuti dengan isu ‘Islam radikal’ di kalangan pelajar. Padahal banyak pelajar yang mereka tuding terpapar radikalisme adalah mereka yang taat beribadah, menutup aurat dengan rapi dan sopan, berakhlak mulia, bahkan banyak yang berprestasi.
Kian Akut
Krisis adab yang melanda remaja dan pelajar Indonesia tercermin dari semakin banyaknya perilaku amoral dari sebagian mereka. Sebagian mereka terbiasa dengan kata-kata umpatan dan kasar, melawan orangtua dan guru, melakukan perundungan (bullying). Bahkan ada yang berani melakukan tindak kriminalitas seperti tawuran, pencurian, perampokan, pemerkosaan dan pembunuhan.
Data hasil riset Programme for International Student Assessment (PISA) 2018 menunjukkan murid yang mengaku pernah mengalami perundungan (bullying) di Indonesia sebanyak 41,1%. Angka ini menempatkan Indonesia di posisi kelima tertinggi dari 78 negara sebagai negara yang murid sekolahnya paling banyak mengalami perundungan.
Di tingkat nasional, pada tahun 2018 KPAI melaporkan bahwa 84% pelajar mengalami kekerasan di lingkungan sekolah. Dari 445 kasus yang ditangani sepanjang 2018, sekitar 51,2% di antaranya merupakan kasus kekerasan fisik, seksual maupun verbal. Pelakunya, selain guru, juga sesama pelajar.
Badan Narkotika Nasional (BNN) juga melaporkan hasil survei bahwa ada 2,3 juta pelajar yang mengkonsumsi narkoba. Tidak sedikit pula pelajar putri yang menjalankan profesi sebagai PSK. Bahkan ada pelajar yang malah menjadi mucikari dengan menawarkan teman-temannya kepada para lelaki hidung belang.
Krisis adab ini bukan hanya terjadi di lingkungan sekolah umum, tetapi hingga ke dunia pesantren. Seperti pernah diberitakan, ada seorang santri tewas karena dianiaya kakak kelasnya. Di tempat lain ada beberapa santri tega membakar adik kelasnya karena motif balas dendam.
Produk Sistem Pendidikan Sekuler
Krisis adab di tengah remaja dan pelajar adalah buah sistem pendidikan sekuler. Telah lama dunia pendidikan hanya mementingkan prestasi akademik dan berorientasi pada lapangan kerja, bukan demi membentuk kepribadian Islam. Para pelajar dari bangku sekolah hingga perguruan tinggi dididik untuk menjadi pengisi lapangan kerja, minim penanaman adab-adab luhur. Pelajaran agama di sekolah dan di kampus amat minim. Itu pun hanya diajarkan dalam bentuk hapalan untuk mengejar target kurikulum dan ujian kenaikan kelas.
Sinyal agama makin dijauhkan dari pendidikan nasional juga tercermin dalam Peta Jalan Pendidikan 2020-2035 yang kini tengah digodok Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Di situ frasa agama dihilangkan. Draft itu mengundang kecaman dari berbagai pihak ormas Islam, seperti Muhammadiyah. Namun, Kemendikbud berdalih bahwa isi draft itu masih dalam rancangan, dan akan diperbaharui.
Sikap menjauhkan agama juga tampak dari sejumlah kebijakan lain. Tahun lalu Pemerintah menerbitkan Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri; Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian dan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas. SKB tersebut mengatur pakaian jilbab. Intinya, sekolah dilarang mewajibkan siswi mengenakan jilbab. Memang MA kemudian membatalkan SKB ini. Namun, pengawasan terhadap sekolah dan guru yang mengingatkan siswi Muslimah tentang jilbab terus ditingkatkan. Terakhir, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo mengancam akan memecat guru di Sragen yang dilaporkan menegur dan menasihati siswinya soal kewajiban berjilbab.
Selain itu, sekolah-sekolah dan kampus juga terus dijadikan sasaran kampanye deradikalisasi Islam. Bahkan beberapa tahun silam dimunculkan isu bahwa kerohanian Islam di sekolah adalah sarang teroris. Seolah-olah Islam menyebabkan kerusakan di negeri ini dan merusak perilaku para pelajar. Ironinya, berbagai perilaku negatif para pelajar seperti perundungan, pergaulan bebas, kurang ajar pada guru, tawuran dan narkoba malah jarang mendapatkan perhatian dan penanganan.
Islam Bentuk Pribadi Pemuda Mulia
Islam adalah satu-satunya agama yang dapat mengubah masyarakat jahiliah (yang percaya syirik, tahayul, khurafat; biasa berzina, minuman keras, riba, dsb) menjadi masyarakat yang berperadaban unggul dan berakhlak mulia. Inilah realita yang digambarkan oleh al-Quran:
الر كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ لِتُخْرِجَ النَّاسَ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ بِإِذْنِ رَبِّهِمْ إِلَى صِرَاطِ الْعَزِيزِ الْحَمِيدِ
Alif Laam Raa. (Ini adalah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu (Muhammad) agar engkau mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya terang-benderang dengan izin Tuhan, (yaitu) menuju jalan Tuhan Yang Mahaperkasa dan Maha Terpuji (TQS Ibrahim [14]: 1).
Islam juga berhasil mencetak masyarakat yang semula ummiy (tidak bisa membaca dan menulis) menjadi cendekiawan di berbagai bidang. Selain melahirkan ulama ilmu-ilmu keislaman, peradaban Islam juga melahirkan para ilmuwan di bidang kedokteran, fisika, farmasi, teknik, matematika, kimia, militer, dsb. Nama-nama ilmuwan seperti Ibnu Khaldun dalam ilmu sosiologi, al-Khawarizmi dalam matematika, az-Zahrawi dalam ilmu kedokteran, terus dikenang sampai sekarang.
Kunci keberhasilan sistem pendidikan Islam terletak pada tiga hal: Pertama, menjadikan akidah Islam/keimanan sebagai dasar pendidikan. Dalam sistem pendidikan Islam, kepada para pelajar ditanamkan keimanan kepada Allah SWT dan ketaatan pada ajaran Islam. Dengan begitu setiap ilmu yang dipelajari menjadikan mereka semakin beriman dan bertakwa.
Kedua, mempunyai tujuan yang jelas, yaitu mencetak kepribadian Islam (syakhsiyyah islâmiyyah). Bukan untuk mencetak para pekerja di dunia industri atau menjadi para pengusaha. Kelak mereka diarahkan menjadi pribadi yang memiliki kecerdasan beragam untuk berkontribusi bagi umat. Nabi saw. bersabda:
خَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ
Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya (HR Ahmad).
Para pelajar dibentuk pola pikir dan pola sikapnya agar senantiasa selaras dengan Islam. Untuk itu pengajaran Islam diberikan kepada mereka bukan untuk menjadi hapalan atau teori semata, tetapi untuk menjadi petunjuk kehidupan yang praktis/amaliah.
Nabi saw., pada saat mendidik para Sahabat, selalu menekankan kepraktisan ajaran Islam. Untuk menjaga akhlak para pemuda, Rasulullah saw., misalnya, pernah memalingkan wajah Fadhl bin Abbas ra. yang memandangi wajah seorang perempuan terus-menerus. Kepada dia Nabi saw. memberikan nasihat:
يا ابْنَ أَخِي إِنَّ هَذَا يَوْمٌ مَنْ مَلَكَ فِيهِ سَمْعَهُ وَبَصَرَهُ وَلِسَانَهُ غُفِرَ لَهُ
Anak saudaraku, pada hari ini siapa saja yang mampu mengendalikan pendengaran, penglihatan dan lisannya, niscaya ia akan diampuni Allah (HR Ibnu Khuzaimah).
Beliau mengingatkan para Sahabat tentang adab-adab makan, adab bertamu, aturan berdagang hingga menasihati mereka yang diangkat sebagai pejabat negara agar jangan menyusahkan dan mengintimidasi rakyat.
Keberhasilan pembentukan pribadi yang mulia adalah karena Islam meletakkan pendidikan adab/akhlak bagi para pelajar sebelum mempelajari ilmu-ilmu yang lain. Imam Malik rahimahulLâh pernah berkata: (Sewaktu aku kecil) ibuku pernah memakaikan imamah di kepalaku sambil berkata,“Pergilah engkau ke Rabi’ah. Pelajarilah olehmu adab (akhlak)-nya sebelum mempelajari ilmunya.” (Tartîb al-Madârik wa Taqrîb al-Masâlik, 1/130).
Ibnu al-Mubarak rahimahulLâh juga pernah berkata, “Kami mempelajari adab selama 30 tahun dan mempelajari ilmu selama 20 tahun.” (Ghâyah an-Nihâyah fî Thabaqât al-Qurâ’, 1/198).
Para ulama percaya jika para pelajar memiliki adab yang mulia maka Allah SWT akan memudahkan mereka dalam memahami ilmu.
Ketiga, saat ada pelanggaran atau tindak kriminal, negara akan menerapkan hukum yang tegas kepada pelakunya. Negara akan menerapkan sanksi bagi para pelanggar hak-hak masyarakat. Remaja dan pelajar yang melakukan tindak kriminal, jika mereka telah terbukti balig, diberi sanksi sebagaimana orang dewasa. Jika mereka berzina, berlaku sanksi cambuk 100 kali. Jika mereka mencuri, berlaku sanksi potong tangan. Demikian seterusnya. Sebaliknya, jika mereka terbukti belum balig, maka wali atau orangtua mereka diperintahkan oleh pengadilan untuk mendidik dan menasihati mereka. Hal ini karena Nabi saw. menyebutkan hisab Allah tidak berlaku pada anak yang belum balig.
Khatimah
Wahai kaum Muslim! Saatnya kita menyelamatkan para remaja dan pelajar dari krisis adab/akhlak. Mereka adalah harapan masa depan umat ini. “Pemuda hari ini adalah pemimpin masa depan.” Jangan biarkan anak-anak muda umat ini terperosok ke dalam kubangan lumpur sekularisme yang telah nyata merusak akhlak mereka.
Islam adalah solusi yang akan memperbaiki akhlak para remaja dan pelajar. Karena itu mari kita menjadikan Islam sebagai solusi total kehidupan. Hanya Islam yang telah terbukti dalam sejarah mampu melahirkan generasi yang cerdas dan berakhlak mulia.
WalLâhu a’lam bi ash­shawwâb. []
—*—
Hikmah:
Imam adz-Dzahabi rahimahulLâh berkata:
‏يَجْتَمِعُ فَي مَجْلِسِ أَحْمَد بْنِ حَنْبَل – رَحِمَهُ اللهُ – زُهَاءُ خَمْسَة آلاَفِ أَوْ يَزِيْدُوْنَ، نحو خَمْس مِئَةٍ يَكْتُبُوْنَ، وَ الْبَاقُوْنَ يَتَعَلَّمُوْنَ مِنْهُ حُسْنَ اْلأَدَبِ
“Sekitar lima ribu atau lebih jamaah biasa berkumpul di majelis Imam Ahmad bin Hanbal rahimahulLâh. Sekitar 500 orang menulis, sementara sisanya mempelajari adab/akhlak yang baik dari beliau. (Adz-Dzahabi, Siyar A’lâm an-Nubalâ’, 2/947). []

Oleh: Refa | 18 November 2022

ISLAMLAH SOLUSI KEHIDUPAN,BUKAN YANG LAIN


Allah SWT telah mengutus Rasulullah Muhammad saw. dengan membawa risalah-Nya untuk seluruh umat manusia. Di situ ada jaminan dari Allah SWT bahwa risalah Islam akan mendatangkan rahmat bagi seluruh umat manusia. Karena itu risalah Islam akan tetap relevan dan cocok untuk seluruh umat manusia dan untuk segala urusan mereka hingga Hari Kiamat. Allah SWT berfirman:

﴿وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَالَمِينَ﴾

Tidaklah Kami mengutus kamu (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam (TQS al-Anbiya` [21]: 107).

Imam al-Baydhawi (w. 685 H) di dalam tafsir Anwâr at-Tanzîl wa Asrâru at-Ta`wîl atau Tafsîr al-Baydhâwî menjelaskan, “Tidaklah Kami mengutus kamu (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam, karena risalah yang Allah SWT turunkan kepada Nabi Muhammad merupakan sebab untuk kebahagiaan mereka dan menjadi sebab untuk kebaikan kehidupan mereka di dunia dan akhirat mereka.”

Islam rahmatan lil ‘alamin bermakna bahwa syariahnya itu jalbu al-mashâlih wa dar’u al-mafâsid (mendatangkan kemaslahatan dan mencegah kemafsadatan).

Karena itu “menuduh” Islam sebagai penyebab konflik dan sumber masalah merupakan suatu bentuk kelancangan luar biasa terhadap Allah SWT dan Rasul saw. Hal itu tentu tidak terbayang akan muncul atau keluar dari seorang Mukmin.

Sumber Konflik yang Sebenarnya

Banyak sekali konflik di dunia dan banyak pula problem terjadi di tengah-tengah masyarakat saat ini. Faktor penyebab terbesarnya sesungguhnya adalah penerapan sistem sekularisme-kapitalisme. Islam sebagai ideologi dan sistem kehidupan—yang memang tidak diterapkan di dunia saat ini—tentu bukanlah penyebab semua konflik dan persoalan yang terjadi. Bahkan Islam tidak ada hubungannya sama sekali dengan semua persoalan dunia saat ini.

Perang Dunia (PD) I dan II, misalnya, sebagai konflik terbesar di dunia, bukan karena faktor Islam. Semua negara utama yang terlibat dalam PD I dan PD II, mayoritas penduduknya beragama Nasrani. Konflik Korut-Korsel, konflik Vietnam, konflik dan tragedi Balkan, konflik-konflik di Afrika, dll di antara sebabnya adalah ambisi dan kebijakan politik negara-negara besar yang mengadopsi ideologi sekularisme-kapitalisme dengan penjajahan sebagai metode bakunya. Begitu pun invasi Rusia terhadap Ukraina, konflik Korea, konflik Taiwan, dll, sebabnya masih sama. Konflik di negeri-negeri kaum Muslim, seperti konflik di Irak dulu, juga bukan disebabkan oleh Islam. Semua itu disebabkan oleh persaingan negara-negara besar dan ambisi negara besar, khususnya Amerika, untuk menguasai kekayaan alam di sana. Hal yang sama juga terjadi dalam kasus konflik di Suriah dan Yaman hingga saat ini. Sebabnya adalah persaingan negara-negara besar kapitalis, khususnya Amerika dan Inggris, untuk menanamkan pengaruh dan kontrol di negeri itu; juga akibat dukungan mereka kepada para penguasa zalim, otoriter dan tiran yang telah menyengsarakan rakyat di sana.

Berbagai problem yang dihadapi masyarakat di negeri ini juga bukan karena faktor agama, apalagi Islam. Kekayaan milik rakyat, misalnya, terkonsentrasi di tangan segelintir oligarki kapitalis. Krisis ekonomi terus terjadi secara siklik (berulang). Utang Pemerintah makin menggunung yang sampai akhir September 2022 telah mencapai Rp 7.420,47 triliun, (Cnnindonesia.com, 25/10/2022). Jutaan hektar lahan dan hutan dikuasai di tangan oligarki. Sebaliknya, jutaan rakyat tidak punya tanah. Harga-harga terus mengalami kenaikan. Demikian pula seabrek problem ekonomi lainnya. Semua ini tidak lain sebabnya adalah penerapan sistem ekonomi kapitalisme di negeri ini. Sama sekali bukan karena Islam.

Demikian pula nilai mata uang yang terus terkikis, yang berimplikasi pada makin turunnya nilai uang dan makin mahalnya barang, juga makin menipisnya nilai kekayaan masyarakat. Itu semua sebabnya adalah sistem moneter fiat money dan sistem ribawi, yang tidak lain merupakan bagian dari sistem sekularisme-kapitalisme.

Begitu pula banyaknya politisi yang abai dengan kemaslahatan rakyat. Mereka lebih mementingkan kepentingan sendiri dan kelompok. Maraknya korupsi dan manipulasi oleh para pejabat. Politisi dan penguasa yang obral janji, tetapi nihil ditepati. Perselingkuhan penguasa dan pejabat dengan para oligarki. Dominannya korporatokrasi. Banyaknya undang-undang dan peraturan yang menguntungkan oligarki dan para kapitalis dan sebaliknya meminggirkan kepentingan rakyat banyak. Demikian pula problem politik lainnya. Semua itu sebab mendasarnya adalah penerapan sistem politik sekuler demokrasi yang sarat modal.

Maraknya pergaulan bebas, berbagai kenakalan remaja, maraknya perceraian, KDRT, maraknya narkoba dan problem sosial pergaulan lainnya, jelas juga bukan karena Islam. Sebaliknya, semua itu terjadi karena kehidupan sosial pergaulan yang diatur dan dijalankan mengikuti sekularisme, hedonisme, liberalisme.

Dengan demikian seluruh konflik di dunia dan problem di masyarakat saat ini jelas bukan karena faktor Islam. Islam bahkan tidak ada hubungannya sama sekali dengan semua itu. Sebaliknya, semua konflik dan problem yang terjadi di seluruh dunia justru berpangkal pada penerapan ideologi sekularisme-kapitalisme.

Anehnya, justru hal itu tidak disinggung dalam berbagai forum global, termasuk dalam forum R20 lalu. Mereka malah menuding agama (Islam) sebagai sumber konflik dan sumber masalah. Tudingan bahwa agama (Islam) sebagai sumber konflik dan sumber masalah sebenarnya merupakan pandangan khas sekularisme. Sebabnya, sejak awal sekularisme menolak peran agama (Islam) di dalam kehidupan. Karena itu solusi yang ditawarkan oleh kaum sekuler seperti pluralisme agama, dialog antaragama, moderasi agama atau moderasi beragama dan yang lainnya merupakan solusi yang berasal dari sekularisme yang justru tidak menyentuh akar persoalan konflik dan problem yang terjadi. Solusi tersebut malah banyak menimbulkan masalah baru.

Akibat Berpaling dari Syariah-Nya

Allah SWT telah mengingatkan bahwa berbagai kerusakan dan problem di dunia terjadi karena penyimpangan terhadap syariah-Nya. Allah SWT berfirman:

﴿ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ﴾

Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusia, supaya Allah menimpakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar) (TQS ar-Rum [30]: 41).

Artinya, semua kerusakan yang terjadi di dunia ini adalah karena ragam kemaksiatan yang dilakukan oleh manusia. Kemaksiatan manusia ditunjukkan oleh sikap mereka yang berpaling dari syariah Allah SWT. Allah SWT berfirman:

﴿وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنكًا﴾

Siapa saja yang berpaling dari peringatan-Ku (al-Quran), maka sungguh bagi dia penghidupan yang sempit (TQS Thaha [20]: 124).

Kehidupan yang sempit itu tercermin dalam banyak problem kehidupan, sebagaimana terjadi saat ini. Sebabnya jelas, karena manusia berpaling dari al-Quran (syariah-Nya).

Syariah Islam adalah Solusi Dinamis

Islam diturunkan oleh Allah SWT untuk mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Islam mengatur akidah dan ibadah yang bersifat pribadi; termasuk mengatur akhlak, makanan, minuman, pakaian dsb.

Islam pun mengatur aspek muamalah. Misalnya, dalam aspek moneter, Islam menetapkan bahwa moneter harus berbasis emas dan perak.

Dalam aspek ekonomi, Islam menetapkan sejumlah aturan/hukum. Islam, misalnya, melarang riba. Islam pun mengatur jenis dan pengelolaan kepemilikan; misalnya mengatur tambang dengan deposit besar, sumber energi, fasilitas publik, dan milik umum lainnya dengan melarang individu atau sekelompok individu menguasai semua milik umum tersebut dan menyerahkan pengelolaannya kepada negara untuk kepentingan rakyat. Islam mengatur pertanahan. Islam mengatur hukum-hukum tentang pertanian, industri dan perdagangan. Islam pun menetapkan sejumlah hukum ekonomi lainnya.

Islam juga mengatur politik dan pemerintahan. Islam, misalnya, menetapkan bahwa kedaulatan (hak membuat hukum) ada di tangan Allah SWT; kekuasaan ada di tangan umat; penguasa adalah pelayan rakyat; rakyat wajib mengontrol penguasa; dsb. Islam pun menetapkan hukum pidana dan sanksinya baik hudûd, jinâyah, ta’zîr maupun mukhâlafât. Islam pun mengatur kehidupan dan pergaulan sosial.

Semua ketetapan syariah Islam itu tentu untuk mengatur kehidupan manusia dan mengatasi berbagai problem mereka.

Hukum-hukum syariah Islam itu ada yang bersifat umum dan global, atau mengandung ‘illat syar’iyyah, dan merupakan kaidah-kaidah. Dari nas-nas syariah itu dapat di- istinbâth sejumlah hukum untuk menjawab problem-problem baru yang muncul. Dengan begitu solusi yang dibawa oleh Islam untuk problem manusia itu bersifat dinamis. Dalam arti, semua problem yang dihadapi manusia di manapun dan kapan pun pasti dapat diselesaikan oleh syariah Islam.

Allah SWT menjamin semua persoalan manusia ada solusinya di dalam Islam. Sebabnya, Allah SWT telah menurunkan al-Quran sebagai penjelasan atas segala sesuatu (tibyân[an] li kulli syai`[in]) (lihat: QS an-Nahl [16]: 89).

Dengan demikian syariah Islam merupakan solusi dinamis dan terbaik untuk segala problem kehidupan manusia. Syariah Islam pastinya akan membawa rahmat, yakni mendatangkan kemaslahatan dan mencegah mafsadat, bagi manusia. Hanya saja, hal itu tidak akan menjadi riil dan faktual, kecuali jika syariah Islam diterapkan secara nyata dan secara kâffah. Ini menjadi tanggung jawab, tugas dan kewajiban kita semua. Alhasil, kita semua harus bergegas dan bersegera mewujudkan penerapan Islam dan syariahnya.

WalLâhu a’lam. []

Hikmah:

Allah SWT berfirman:

﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ﴾

Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul jika Rasul menyeru kalian pada suatu yang memberikan kehidupan kepada kalian… (TQS al-Anfal [8]: 24). []

Oleh: Refa | 11 November 2022

MENEGUHKAN IDENTITAS ISLAM


Pilpres (Pemilihan Presiden) 2024 memang masih jauh. Namun demikian, kekhawatiran bahkan ketakutan kelompok radikal-sekuler anti Islam terhadap kemenangan kelompok Islam di Pilpres 2024 tampak nyata. Trauma kekalahan Ahok dalam Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 benar-benar membekas di hati mereka. Mereka khawatir jagoan mereka berikutnya—yang diduga kuat merupakan boneka oligarki selanjutnya—bakal kalah di Pilpres 2024.

Karena itu segala cara mereka lakukan untuk membendung kekuatan politik Islam. Salah satunya dengan terus-menerus menuding kelompok Islam memainkan ‘politik identitas’. Tudingan ini sebetulnya tidak berbeda dengan tudingan-tudingan sebelumnya, bahwa kelompok Islam sering memainkan ‘isu agama’, melakukan ‘politisasi agama’, jualan ‘ayat dan mayat’ (ini sering mereka kaitkan dengan kasus Pilkada DKI Jakarta 2017), dll. Tujuan dari berbagai tudingan tersebut tentu saja agar kaum Muslim tidak memilih Capres/Cawapres Muslim yang dianggap kental warna keislamannya atau dianggap berpihak pada Islam dan umat Islam.

Awas Jebakan

Umat Islam tentu tidak seharusnya terjebak dalam permainan istilah yang digunakan oleh kelompok radikal-sekuler anti Islam. Alasannya: Pertama, tudingan mereka sesungguhnya hanya membuktikan sikap hipokrit (kemunafikan) mereka. Faktanya, setiap menjelang Pilpres atau Pilkada, merekalah sebetulnya yang sering memainkan ‘politik identitas’ atau melakukan ‘politisasi agama’. Caranya dengan memanipulasi identitas bahkan agama/keyakinan mereka. Aslinya para calon yang mereka dukung acapkali berasal dari kalangan radikal-sekuler anti Islam, bahkan berasal dari kalangan non-Muslim (kasus Ahok). Namun, setiap menjelang Pilpres/Pilkada calon-calon yang mereka dukung itu sering mendadak islami. Tiba-tiba sering memakai sarung, baju koko dan peci. Tiba-tiba berkerudung dan berjilbab. Tiba-tiba rajin berkunjung ke pesantren-pesantren. Tiba-tiba sering sowan kepada para kiai. Tiba-tiba kegiatan ibadah ritualnya—seperti shalat, zikir dan berdoa—diviralkan seolah ingin menunjukkan keshalihan pribadinya. Padahal aslinya ada yang diduga terlibat korupsi, suka nonton bokep, zalim terhadap rakyat kecil, dll.

Kedua, tudingan mereka bertujuan agar umat Islam meninggalkan sama sekali identitas keislaman mereka. Juga agar umat Islam tidak menggunakan kacamata Islam dalam memilih pemimpin mereka. Sebabnya, mereka tentu sangat trauma dengan kekalahan Ahok dalam Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 akibat umat terpengaruh oleh fatwa ‘haram memilih pemimpin kafir’. Mereka tidak ingin umat Islam yang mayoritas di negeri ini terpengaruh oleh fatwa-fatwa agama di Pilpres 2024 yang akan merugikan calon yang mereka dukung, yang aslinya memang sekuler bahkan anti Islam.

Wajib Memegang Teguh Identitas Islam

Allah SWT telah memerintahkan hamba-Nya agar memeluk Islam secara kâffah, dalam seluruh aspek kehidupan:

﴿يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا ادْخُلُوْا فِى السِّلْمِ كَاۤفَّةً ۖوَّلَا تَتَّبِعُوْا خُطُوٰتِ الشَّيْطٰنِۗ اِنَّه لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِيْنٌ﴾

Wahai orang-orang yang beriman, masuklah ke dalam Islam secara menyeluruh dan janganlah ikuti langkah-langkah setan! Sungguh ia musuh yang nyata bagi kalian (QS al-Baqarah [2]: 208).

Imam al-Qurthubi di dalam kitab tafsirnya, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, menjelaskan: “Ketika Allah SWT menjelaskan kepada umat manusia, baik Mukmin, kafir maupun munafik, maka Dia (seolah) berfirman: Jadilah kalian dalam satu agama, berhimpunlah kalian dalam Islam, dan berpegangteguhlah dengannya. Kata “as-Silmi” di sini maknanya Islam. Ini dinyatakan oleh Mujahid dan diriwayatkan oleh Abu Malik dari Ibn ‘Abbas.”

Karena itu ayat ini memerintahkan semua umat manusia untuk memeluk Islam secara kâffah.

Dalam kitab yang sama Imam al-Qurthubi lalu menjelaskan makna kâffah di dalam ayat ini: Pertama, menyeluruh, yakni meliputi seluruh ajaran Islam. Kedua, menolak yang lain, di luar Islam. Dengan kata lain, orang yang telah memeluk Islam wajib mengambil Islam secara menyeluruh dan menolak yang lain selain Islam. Itu baru disebut masuk Islam secara kâffah.

Dengan kata lain, seorang Muslim wajib mengimani dan mengambil Islam secara utuh. Tidak boleh sepotong-sepotong. Dipilih-pilih yang enak dan mudah saja (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 85).

Karena itu haram hukumnya meninggalkan identitas Islam dalam hal apapun. Sebaliknya, identitas Islam harus dipegang teguh oleh setiap Muslim dalam seluruh aspek kehidupannya. Tidak hanya saat beribadah, tetapi juga dalam melakukan kegiatan lain seperti ekonomi, sosial, pendidikan, politik, pemerintahan dan sebagainya.

Dalam konteks politik Islam, Al-‘Allamah al-Qadhi Syaikh Muhammad Taqiyuddin an-Nabhani menyatakan:

اَلسِّيَاسَةُ هِيَ رِعَايَةُ شُؤُوْنِ الأُمَّةِ دَاخِلِيًّا وَخَارِجِيًّا، وَتَكُوْنُ مِنْ قِبَلِ الدَّوْلَةِ وَالأُمَّةِ، فَالدَّوْلَةُ هِيَ الَّتِيْ تُبَاشِرُ هَذِهِ الرِّعَايَةِ عَمَلِيًّا، وَالأُمَّةُ هِيَ الَّتِيْ تُحَاسِبُ هَذِهِ الدَّوْلَةُ

Politik adalah mengurusi urusan umat di dalam dan luar negeri. Hal itu dilakukan oleh negara dan umat. Negaralah yang melaksanakan pengurusan ini secara langsung, sedangkan umatlah mengoreksi negara (An-Nabhani, Mafâhim Siyâsiyyah, hlm. 5).

Mengurusi umat di dalam negeri itu dilakukan oleh negara dengan cara menerapkan ideologi Islam (akidah dan syariah) secara kâffah dalam seluruh aspek kehidupan. Tugas umat adalah mengoreksi jalannya penerapan ideologi Islam ini jika terjadi penyimpangan. Adapun mengurusi umat di luar negeri adalah dengan mengemban dan menyebarkan ideologi Islam ke luar negeri.

Berpolitik—yakni mengurusi urusan umat, di dalam dan luar negeri—dengan menerapkan Islam secara kâffah itu hukumnya wajib, baik oleh negara maupun umat. Itulah politik Islam.

Karena itu seorang Muslim sejatinya adalah politikus. Sebabnya, politik dalam pandangan Islam adalah mengurusi urusan umat dengan syariah Islam. Karena itu setiap politisi Muslim wajib menguasai fiqih Islam dengan baik dan benar. Sebabnya, jika tidak menguasai fiqih Islam, ia tidak akan bisa mengurusi urusan umat dengan baik dan benar. Karena itu fiqih dan politik, dalam pandangan Islam, tidak bisa dipisahkan. Pasalnya, fiqih adalah solusinya, sedangkan politik adalah cara bagaimana mengimplementasikan fiqih tersebut dalam kehidupan.

Di sisi lain, seorang ahli fiqih Islam tidak boleh berhenti pada penguasaan hukum fiqih, tetapi harus sampai pada level implementasi (penerapan) fiqih Islam itu ke dalam kehidupan. Jika tidak, hukum fiqih atau syariah Islam tersebut hanya menjadi sebatas gagasan.

Karena itu berpolitik dengan merujuk pada fiqih atau syariah Islam itu hukumnya fardhu sebagaimana shalat, puasa, zakat, haji dan jihad. Sama-sama wajib. Tidak boleh dibeda-bedakan. Dengan demikian fiqih Islam akan melekat di dalam politik dan tidak bisa dipisahkan. Inilah yang sekaligus menjadikan politik memiliki identitas yang jelas, yakni Islam. Politik Islam semacam inilah yang membedakan dirinya dengan politik sekuler.

Sebaliknya, ketika politik umat Islam tidak menggunakan fiqih atau syariah Islam, maka politiknya tidak mempunyai identitas yang jelas. Politiknya akan menjadi politik sekuler yang oportunis dan hipokrit. Inilah yang digambarkan dalam al-Quran:

﴿مُّذَبْذَبِيْنَ بَيْنَ ذٰلِكَۖ لَآ اِلٰى هٰٓؤُلَاۤءِ وَلَآ اِلٰى هٰٓؤُلَاۤءِ ۗ وَمَنْ يُّضْلِلِ اللّٰهُ فَلَنْ تَجِدَ لَه سَبِيْلًا﴾

Mereka (orang-orang munafik) dalam keadaan ragu di antara yang demikian (iman atau kafir). Tidak termasuk golongan (orang beriman) ini dan tidak (pula) golongan (orang kafir) itu. Siapa saja yang dibiarkan sesat oleh Allah (karena tidak mengikuti tuntunan-Nya dan memilih kesesatan), kamu tidak akan menemukan jalan (untuk memberi petunjuk) bagi dirinya (QS an-Nisa’ [4]: 143).

Alhasil, tidak boleh seorang Muslim menanggalkan syariah Islam sebagai identitasnya dalam berpolitik. Apapun alasannya. Sebaliknya, dia wajib terikat dengan syariah Islam dalam segala aspek kehidupannya.

Pentingnya Syiar Islam

Identitas Islam harus benar-benar tampak menonjol dalam kehidupan umat Islam. Tak boleh lagi disembunyikan. Apalagi jika alasan yang mendasari sikap menyembunyikan identitas Islam itu adalah kekhawatiran atau ketakutan akan tudingan kelompok radikal-sekuler anti Islam. Sebabnya, tentu kelompok radikal-sekuler anti Islam tak ingin Islam dan syariahnya mewarnai kehidupan umat Islam yang merupakan penduduk mayoritas negeri ini.

Karena itu umat Islam, para tokoh Islam, para pimpinan partai Islam maupun para calon pemimpin dari kalangan Islam tak perlu ragu lagi menunjukkan identitas keislaman mereka. Tak perlu ragu lagi mereka menyuarakan syariah Islam. Saatnya mereka berani secara lantang menyuarakan syariah Islam. Jangan lagi mereka menyembunyikan kebenaran Islam. Sebabnya, Allah SWT telah berfirman:

وَلَا تَلْبِسُوا الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ وَتَكْتُمُوا الْحَقَّ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ

Janganlah kalian mencampuradukkan kebenaran dan kebatilan. Jangan pula kalian menyembunyikan kebenaran, padahal kalian tahu (TQS al-Baqarah [2]: 42).

Selain itu, menampakkan identitas Islam merupakan bagian dari syiar Islam yang harus terus diagungkan. Sebabnya, mengagungkan syiar Islam adalah bagian dari ketakwaan kepada Allah SWT. Allah SWT berfirman:

وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ

Siapa saja yang mengagungkan syiar-syiar Allah maka sungguh itu berasal dari ketakwaan di dalam hati (TQS al-Hajj [22]: 32).

WalLâhu a’lam. []

Hikmah:

Allah SWT berfirman:

هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُونَ

Dialah (Allah) Yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar untuk Dia menangkan agama itu atas seluruh agama yang ada meski kaum musyrik membencinya. (TQS at-Taubah [9]: 33). []

Oleh: Refa | 4 November 2022

BERHENTILAH MEMPERSOALKAN ISLAM!


Menteri Agama Yaqut Cholil Choumas kembali mendapat kecaman warganet. Kali ini akibat pernyataannya baru-baru ini yang menyebut Islam adalah agama pendatang di Indonesia yang berasal dari tanah Arab. Karena itu, kata dia, Islam harus menghormati budaya yang ada di Indonesia. Akibat pernyataannya di podcast Deddy Corbuzier ini, Yaqut bahkan dianggap telah menistakan agama (Indeksnews.com, 1/11/2022).

Kontraproduktif

Pernyataan Menag Yaqut jelas tidak bernilai dan bahkan cenderung kontraproduktif. Alasannya: Pertama, bangsa Indonesia, khususnya umat Islam di negeri ini, jelas tidak mendapatkan manfaat apa-apa dari pernyataan Menag Yaqut bahwa Islam adalah agama pendatang yang berasal dari tanah Arab. Pasalnya, semua agama yang diakui di Indonesia—seperti Hindu, Budha dan Kristen—juga agama pendatang. Menurut salah satu catatan sejarah, Hindu dan Budha, misalnya, yang paling awal datang (sekitar tahun 78 Masehi) di Nusantara, berasal dari Cina dan India. Berikutnya disusul oleh kedatangan agama Islam sekitar abad ke-7 Masehi. Menurut teori Arab (Makkah) Islam masuk ke Indonesia langsung dari Arab (Makkah) pada masa Kekhalifahan. Teori ini didukung oleh J.C. van Leur hingga Buya Hamka dalam bukunya yang berjudul, Sejarah Umat Islam (1997). Teori ini juga didukung oleh TW Arnold yang menyatakan bahwa pada masa itu bangsa Arab merupakan bangsa yang dominan dalam perdagangan di Nusantara. Selanjutnya, yang lebih belakangan datang adalah Kristen. Kristen berasal dari Eropa. Kedatangannya dibawa terutama oleh kaum penjajah—Portugis, Belanda dan Inggris—yang datang menjajah di negeri ini.

Kedua, Islam telah menjadi agama mayoritas bagi penduduk Nusantara jauh sebelum Negara Indonesia berdiri tanggal 17 Agustus 1945. Karena itu Islam sebetulnya telah menjadi jatidiri bangsa Indonesia. Salah satu buktinya adalah peran besar umat Islam dalam melawan kaum penjajah di era penjajahan yang didasarkan pada spirit Islam, yakni jihad fi sabilillah. Itulah yang ditunjukkan oleh para pahlawan bangsa ini yang mayoritasnya berasal dari kalangan Islam. Sebut, misalnya, Imam Bonjol, Pangeran Diponegoro, Patimura, Teuku Umar, Cut Nyak Din, dll. Mereka adalah para pejuang Islam yang gigih melawan penjajah yang selalu disertai dengan pekikan takbir.

Ketiga, secara historis, kedatangan Islam diterima dengan baik oleh penduduk asli di Bumi Nusantara ini. Bahkan transformasi kekuasaan dari beberapa kerajaan yang sebelumnya bercorak Hindu/Budha ke tangan kesultanan-kesultanan Islam nyaris tak menimbulkan konflik sama sekali. Beberapa Kesultanan Islam tersebut—yang jejaknya masih ditemukan hingga kini—antara lain: Kesultanan Perlak (840-1292), Kesultanan Ternate (1257), Kesultanan Samudera Pasai (1267-1521), Kesultanan Gowa (1300-1945), Kesultanan Malaka (1405-1511), Kesultanan Islam Cirebon (1430-1677), Kesultanan Demak (1478-1554), Kesultanan Islam Banten (1526-1813), Kesultanan Pajang (1568-1586) dan Kesultanan Mataram Islam (1588-1680). Kesultanan-kesultanan tersebut tentu punya peran besar dalam mengembangkan dakwah Islam di negeri ini. Buktinya, saat Negara Indonesia berdiri, penduduknya mayoritas telah beragama Islam. Karena itu wajar jika umat Islam memiliki peran yang amat besar terhadap negeri ini, baik sebelum Indonesia berdiri maupun setelah Indonesia berdiri, baik di era penjajahan maupun di era kemerdekaan.

Keempat, pernyataan Menag Yaqut—juga banyak pihak lain—yang seolah-olah terus-menerus mengusik dan mempersoalkan Islam dan umat Islam di negeri ini tentu sangat ahistoris. Sebabnya, negara ini sesungguhnya tidak akan pernah ada tanpa Islam dan peran besar kaum Muslim di dalamnya.

Islam Agama Dakwah

Islam adalah agama dakwah. Allah SWT telah mengutus Rasulullah saw. untuk mengemban dakwah Islam ke seluruh umat manusia. Allah SWT berfirman:

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا كَافَّةً لِلنَّاسِ بَشِيرًا وَنَذِيرًا وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ

Tidaklah Kami mengutus engkau (Muhammad) kecuali untuk segenap umat manusia, sebagai pemberi kabar gembira dan peringatan. Akan tetapi, kebanyakan manusia tidak tahu (TQS Saba’ [34]: 28).

Allah SWT pun telah mengajari Rasul-Nya metode (tharîqah) dalam penyampaian dakwah Islam. Allah SWT berfirman:

اُدْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ

Serulah manusia menuju jalan Tuhanmu dengan hikmah (hujjah) dan nasihat yang baik serta debatlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sungguh Tuhanmu lebih mengetahui siapa saja yang tersesat dari jalan-Nya dan siapa saja yang mendapatkan petunjuk (TQS an-Nahl [16]: 125).

Dengan metode penyampaian dakwah semacam ini, Islam disampaikan kepada umat manusia benar-benar tanpa paksaan. Mereka yang ikhlas dan mau berpikir akan mudah menerima dakwah Islam. Sebaliknya, mereka yang sombong atau di hati mereka ada penyakit dan tidak mau berpikir, mereka akan menolak dakwah Islam ini. Meski menolak, mereka tidak akan dipaksa untuk memeluk Islam. Allah SWT berfirman:

لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لَا انْفِصَامَ لَهَا وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

Tidak ada paksaan untuk memeluk Islam. Sungguh telah jelas perbedaan antara petunjuk (kebenaran) dan kesesatan. Karena itu siapa saja yang mengingkari thâghût dan mengimani Allah, sungguh dia telah berpegang teguh pada tali yang kokoh yang tidak pernah putus. Allah Maha Mendengar lagi Mahatahu (TQS al-Baqarah [2]: 256).

Inilah yang juga terjadi pada bangsa ini sejak era Walisongo berdakwah di negeri ini. Mereka didakwahi agar masuk Islam secara sukarela. Tanpa paksaan sedikit pun. Mereka pun secara sukarela meninggalkan segala bentuk tradisi dan budaya—yang bertentangan dengan Islam—tanpa ada paksaan sedikitpun.

Islam Membawa Rahmat

Islam telah terbukti berperan besar dalam melahirkan individu maupun masyarakat yang baik. Tentu selama dakwah—juga amar makruf nahi mungkar—tetap tegak di tengah-tengah masyarakat. Allah SWT berfirman:

كُنتُمْ خَيرَ أُمَّةٍ أُخرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأمُرُونَ بِٱلمَعرُوْفِ وَتَنهَوْنَ عَنِ ٱلمُنْكَرِ وَتُؤمِنُوْنَ بِٱللَّهِۗ

Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, melakukan amar makruf nahi mungkar, dan mengimani Allah (TQS Ali Imran [3]: 110).

Dakwah dan amar makruf nahi mungkar inilah yang sekaligus menjadi salah satu faktor yang menjadikan individu dan masyarakat selamat dari keburukan bahkan kebinasaan. Dalam hal ini Rasulullah saw. bersabda, “Perumpamaan orang yang menegakkan hudud Allah dan orang yang melanggarnya seperti satu kaum yang mengundi tempat di perahu. Sebagian mereka di bagian atas dan sebagian lain di bagian bawah. Orang-orang yang ada di bagian bawah perahu, jika mengambil air, melewati orang-orang yang ada di bagian atas mereka. Lalu mereka berkata, “Andai kami melubangi tempat kami dan kami tidak perlu mengganggu orang-orang di atas kami.” Jika mereka membiarkan mereka melakukan apa yang mereka mau, niscaya mereka semua binasa, sebaliknya jika mereka menindak mereka niscaya mereka selamat dan menyelamatkan semuanya.” (HR al-Bukhari dan al-Baihaqi).

Karena itulah dakwah dan amar makruf nahi mungkar—termasuk kepada penguasa yang menyimpang—tidak selayaknya dicurigai apalagi dimusuhi atau selalu dikait-kaitkan dengan radikalisme bahkan terorisme. Sebabnya, dakwah dan amar makruf nahi mungkar diperlukan agar masyarakat dan terutama para penguasa tetap di jalur yang benar, sesuai dengan tuntunan Allah SWT dan Rasul-Nya.

Demikian pula dakwah yang mengajak umat dan terutama penguasa untuk menerapkan syariah Islam secara kâffah di negeri ini. Tidak lain untuk kebaikan masyarakat, bangsa dan negeri ini. Sebabnya, Allah SWT mengutus Rasul-Nya dengan membawa risalah (syariah)-Nya adalah sebagai rahmat bagi seluruh umat manusia, bahkan dunia ini. Allah SWT berfirman:

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ

Tidaklah Kami mengutus engkau (Muhammad) kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam (TQS al-Anbiya’ [21]: 107).

Lagi pula penerapan syariah Islam secara kâffah adalah wujud nyata dan paripurna dari ketakwaan kita kepada Allah SWT. Takwa inilah—yang antara lain dibuktikan dengan penerapan syariah Islam secara kâffah di negeri ini—yang pasti akan mendatangkan keberkahan bagi bangsa ini. Allah SWT berfirman:

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

Andai penduduk negeri beriman dan bertakwa, Kami pasti akan membukakan bagi mereka pintu-pintu keberkahan dari langit dan bumi. Akan tetapi, mereka malah mendustakan (ayat-ayat Kami). Karena itu Kami menyiksa mereka karena apa yang mereka lakukan itu (TQS al-A’raf [7]: 96).

Alhasil, daripada nyinyir dan terus-menerus mempersoalkan Islam, yuk kita terapkan syariah Islam secara kâffah sebagai solusi atas semua persoalan yang membelit bangsa dan negeri ini. WalLâhu a’lam. []

Hikmah:

Rasulullah saw. bersabda:

لَتَأْمُرُنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلَتَنْهَوُنَّ عَنِ الْمُنْكَرِ، أَوْ لَيُسَلِّطَنَّ اللَّهُ عَلَيْكُمْ شِرَارَكُمْ ثُمَّ لَيَدْعُوَنَّ خِيَارُكُمْ فَلَا يُسْتَجَابُ لَهُمْ

Hendaklah kalian melakukan amar makruf nahi mungkar atau (jika tidak) Allah akan menguasakan atas kalian orang-orang yang paling jahat di antara kalian, lalu orang-orang baik di antara kalian berdoa dan doa mereka tidak dikabulkan. (HR al-Bazzar). []

Oleh: Refa | 28 Oktober 2022

KHILAFAH ITU MULIA, HARAM UNTUK DINISTA


Islam adalah agama bagi mayoritas penduduk di negeri ini. Namun, yang menyakitkan hati, berkali-kali ajaran Islam justru dinistakan di negeri ini. Berkali-kali juga para penista Islam selalu lolos dari jerat hukum. Belakangan, seorang komisaris BUMN bernama Dede Budhyarto, melecehkan salah satu ajaran Islam yang mulia, yakni Khilafah. Dalam akun twitter-nya, Komisaris independen PT Pelni ini, yang juga relawan Jokowi, memplesetkan kata khilafah dengan ditambahi cacian kasar berbahasa Inggris.

Meski reaksi keras berdatangan dari banyak kalangan, sang komisaris menolak meminta maaf.

Khilafah Ajaran Islam

Menyatakan Khilafah bukan ajaran Islam, juga menyatakan tidak ada bentuk baku kekhilafahan, adalah sesat pikir. Apalagi secara gegabah sebagian dari pencela Khilafah mengatakan bahwa Khilafah tidak ada dalam al-Quran dan as-Sunnah. Tudingan-tudingan itu adalah upaya mengaburkan dan memfitnah ajaran Islam tentang kekhilafahan.

Jelas, kewajiban menegakkan Khilafah telah ditetapkan berdasarkan dalil al-Quran, as-Sunnah dan Ijmak Sahabat. Pertama: Dalil al-Quran. Di dalam al-Quran terdapat ayat-ayat yang memerintahkan kaum Muslim untuk taat kepada ulil amri (QS an-Nisa’ [4]: 59), juga kewajiban menerapkan hukum-hukum Allah SWT. Mereka yang tidak memberlakukan hukum-hukum Allah SWT disebut oleh Allah SWT sebagai kafir, zalim dan fasik (QS al-Mâ’idah [5]: 44-45, 47). Faktanya, tanpa Khilafah sebagaimana saat ini, hukum-hukum Allah SWT memang tak bisa diberlakukan.

Selain itu, Imam al-Qurthubi, seorang ulama besar dari mazhab Maliki, menjadikan QS al-Baqarah ayat 30 sebagai dalil atas kewajiban mengangkat seorang khalifah. Artinya, ayat tersebut merupakan dalil atas kewajiban menegakkan Khilafah. “Ayat ini merupakan dalil paling asal/pokok mengenai kewajiban mengangkat seorang imam atau khalifah yang wajib didengar dan ditaati, untuk menyatukan pendapat serta melaksanakan hukum-hukum khalifah. Tidak ada perselisihan pendapat tentang kewajiban tersebut di kalangan umat Islam maupun di kalangan ulama, kecuali apa yang diriwayatkan dari Al-Asham.” (Imam al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, 1/264-265).

Kedua: Dalil as-Sunnah. Di dalam as-Sunnah Rasulullah saw. telah mengingatkan kaum Muslim akan kewajiban membaiat seorang khalifah. Dengan kata lain, mereka wajib menegakkan Khilafah. Mereka berdosa besar jika meninggalkan kewajiban ini. Sabda beliau:

مَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِى عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً

Siapa saja yang mati dalam keadaan tidak ada baiat (kepada imam/khalifah) di lehernya, maka ia mati dalam keadaan mati jahiliah (berdosa besar) (HR Muslim).

Berdasarkan hadis di atas, Syaikh ad-Dumaiji menyatakan bahwa mengangkat seorang imam atau khalifah hukumnya wajib (Ad-Dumaiji, Al-Imâmah al-‘Uzhma ‘inda Ahl as-Sunnah wa al-Jamâ’ah, hlm. 50).

Ketiga: Dalil Ijmak Sahabat. Sebagaimana diketahui, tidak lama usai Rasulullah saw. wafat, para Sahabat ra. telah berijmak bahwa harus ada pengganti beliau dalam urusan pemerintahan, yakni untuk mengurusi kepentingan umat dan melaksanakan syariah Islam. Karena itu mereka segera berkumpul di Saqîfah Bani Sa’idah untuk bermusyawarah hingga mereka sepakat untuk memilih Abu Bakar ra. sebagai khalifah pertama. Sejak itulah Khilafah Islam berdiri sebagai pelanjut Daulah Islam era Nabi saw.

Selain itu bahasan tentang kewajiban menegakkan Khilafah sudah masyhur bahkan telah menjadi kesepakatan (ijmak) para ulama Ahlus Sunnah. Bentuk baku Khilafah juga telah banyak dibahas oleh para ulama. Kajian-kajian seputar Khilafah bertebaran di berbagai kitab, baik fikih, tafsir dan syarh hadis.

Profesor Dr. Wahbah Zuhaili pada bab “Sulthah at-Tanfîdz al-‘Ulyâ – al-Imâmah” merangkum pendapat para ulama dari berbagai mazhab tentang kewajiban menegakkan Khilafah. Menurut beliau hanya segelintir kelompok yang menolak kewajiban mendirikan Khilafah, yaitu sebagian kecil kelompok Khawarij dan Muktazilah. Adapun mayoritas ulama mazhab—bahkan seluruh ulama Ahlus Sunnah—menyatakan wajib mendirikan Khilafah (Az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islâmi wa Adillatuhu, 6/663-668).

Selanjutnya, Syaikh Dr. Wahbah az-Zuhaili rahimahulLâh mengemukakan beberapa definisi khilafah menurut para ulama. Di antaranya, menurut ad-Dahlawi, “Khilafah adalah kepemimpinan umum untuk menegakkan agama dengan menghidupkan ilmu-ilmu agama; menegakkan rukun-rukun Islam; menegakkan jihad dan hal-hal yang berhubungan dengannya, seperti pengaturan tentara serta kewajiban-kewajiban untuk orang yang berperang dan pemberian harta fa’i kepada mereka; menegakkan peradilan dan hudûd; menghilangkan kezaliman; serta melakukan amar makruf nahi mungkar, sebagai pengganti dari Nabi saw.” (Az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islâmi wa Adillatuhu, 6/661).

Jelas sudah, Khilafah adalah bagian dari ajaran Islam. Bukan ajaran kelompok tertentu. Mendirikan Khilafah wajib atas seluruh kaum Muslim. Bahkan para ulama menyebut penegakan Khilafah sebagai mahkota kewajiban. Artinya, dalam Islam, Khilafah itu mulia. Karena itu Khilafah haram untuk dinista.

Dosa Besar!

Penistaan terhadap ajaran Islam, di antaranya Khilafah, otomatis merupakan penistaan terhadap syariah Islam. Tindakan ini disebut istikhfâf bi al-ahkâm al-syar’iyyah (penghinaan terhadap hukum-hukum syariah Islam). Istikhfâf bisa dilakukan melalui ucapan, perbuatan atau keyakinan.

Para fuqaha telah sepakat bahwa siapa saja yang menghina hukum-hukum Islam dihukumi murtad (kafir), yaitu keluar dari agama Islam dan wajib dihukum mati jika tak bertobat kepada Allah SWT (Al-Mawsû’ah al-Fiqhiyyah, 3/251).

Dalilnya adalah firman Allah SWT:

قُلْ أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ . لَا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ

Katakanlah, “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kalian selalu mengolok-olok?” Tak usahlah kalian meminta maaf karena kalian telah kafir sesudah beriman.” (TQS at-Taubah [9]: 65-66).

Namun demikian, para fuqaha memberikan catatan, perkataan yang dapat memurtadkan pengucapnya ada dua macam: Pertama, perkataan yang maknanya pasti/tegas atau terang-terangan, yaitu yang hanya mempunyai satu pengertian; tak dapat ditakwilkan/diartikan dengan maksud lain (mâ lâ yahtamilu at-ta`wîl). Siapa saja yang mengeluarkan perkataan jenis pertama ini, misalnya mengatakan Nabi Isa as. adalah anak Allah, atau agama Islam adalah karangan Nabi Muhammad saw., dan yang semisalnya, dia dihukumi telah kafir.

Kedua, perkataan yang maknanya tak pasti atau ucapan kinâyah (sindiran), yakni perkataan yang memungkinkan lebih dari satu maksud, atau perkataan yang dapat ditakwilkan/diartikan dengan maksud lain (mâ yahtamilu al ta`wîl. Siapa saja yang mengucapkan perkataan jenis kedua ini, tak dapat dikafirkan. Syaikh Abdurrahman al-Maliki berkata, ”Seseorang tak dapat dikafirkan karena perkataannya, kecuali perkataan yang mengandung kekufuran secara pasti.” (Abdurrahman al-Maliki, Nizhâm al-‘Uqûbât, hlm. 85).

Selain itu, ketidaktahuan terhadap hukum syariah Islam dapat menjadi unsur pemaaf (‘udzur syar’i) jika seorang Muslim dan orang-orang yang semisal orang itu memang tak mengetahui suatu hukum syariah Islam karena kebodohan mereka (An-Nabhani, An-Nizhâm al-Iqtishâdi fî al-Islâm, hlm. 175).

Oleh karena itu, penista Khilafah mesti dilihat: Jika dia sebenarnya tahu bahwa Khilafah adalah bagian dari syariah Islam, lalu terang-terangan sengaja menistanya, maka dia murtad. Namun, jika dia mengucapkan atau membuat tulisan yang sepertinya menistakan Khilafah, tetapi bisa diartikan lain, maka dia tidak divonis kafir. Begitu pula orang yang tidak tahu bahwa Khilafah adalah kewajiban di dalam Islam, lalu ia mencaci Khilafah, maka ia pun tidak divonis murtad.

Umat Butuh Khilafah

Keberadaan Khilafah di tengah umat sangatlah vital. Tanpa Khilafah kemuliaan Islam dan umatnya juga tercabik. Tak ada yang melindungi dan membela. Imam an-Nawawi dalam salah satu kitabnya mengatakan, “Sudah menjadi keharusan bagi umat adanya seorang imam (khalifah) yang menegakkan agama, menolong sunnah, menolong orang-orang yang dizalimi, memenuhi hak-hak dan menempatkan hak-hak pada tempatnya.” (An-Nawawi, Rawdhah ath-Thâlibîn wa ‘Umdah al-Muftîn, 3/433).

Bukankah terbukti hari ini, ketika kaum Muslim hidup bukan dalam naungan Khilafah, hasilnya adalah penderitaan? Sumber daya alam dijarah oleh kaum penjajah. Negeri mereka dijerat utang yang mencekik. Para penguasa terus menaikkan pajak dan mengurangi subsidi demi membayar utang dan bunga utang yang terus membengkak.

Kaum Muslim juga terpecah-belah. Mereka pun ditindas oleh umat lain tanpa ada yang mau menolong apalagi membalaskan kezaliman tersebut. Darah Muslim Myanmar, Suriah, Palestina, Uyghur masih terus tumpah. Ironisnya, negeri-negeri Muslim, termasuk Indonesia, masih terus berhubungan baik dengan negara-negara kafir harbi, seperti Cina komunis yang terus melakukan kezaliman terhadap Muslim Uyghur.

Tanpa Khilafah juga, banyak hukum Islam yang tidak bisa dilaksanakan umat pada hari ini. Hukum pidana, ekonomi dan muamalah, jihad, politik dan pemerintahan tak bisa diaplikasikan. Hukum-hukum tersebut hanya menghiasi lembaran-lembaran kitab fikih tanpa bisa diamalkan dan diterapkan. Padahal sudah jelas kaum Muslim wajib melaksanakan semua hukum-hukum Allah SWT.

Alhasil, akar persoalan kita pada hari ini adalah ketiadaan penerapan syariah Islam oleh Khilafah. Lalu mengapa umat malah mencari jawaban pada sistem selain Islam? []

—*—

Hikmah:

Imam an-Nawawi rahimahulLâh berkata:

وَأَجْمَعُوا عَلَى أَنَّهُ يَجِبُ عَلَى الْمُسْلِمِينَ نَصْبُ خَلِيفَةٍ وَوُجُوبُهُ بِالشَّرْعِ لَا بِالْعَقْلِ

Para ulama telah berijmak (bersepakat) bahwa wajib atas kaum Muslim mengangkat seorang khalifah. Kewajiban ini berdasarkan syariah, bukan berdasarkan akal. (An-Nawawi, Syarh an-Nawawi alâ Shahîh Muslim, 12/231). []

—*—

Download Buletin Dakwah Kaffah versi PDF & simak versi audio di:
https://buletinkaffah.com


Perilaku polisi terus-menerus jadi sorotan rakyat. Ini akibat tindak kriminal yang dilakukan banyak anggotanya, termasuk perwiranya. Kasus pembunuhan Brigadir Joshua oleh atasannya, Irjen Pol. Sambo, melibatkan sejumlah perwira dan anggota kepolisian lain. Kasus pembunuhan ini ternyata memunculkan dugaan adanya mafia judi online 303 yang dibekingi perwira-perwira polisi.

Di Malang, perilaku polisi kembali dikecam warga. Akibat kecerobohan menembakkan puluhan gas air mata ke tribun penonton, menyebabkan kepanikan warga yang berujung kematian ratusan penonton, termasuk puluhan anak-anak. Akibat kejadian ini, Kapolri mencopot Kapolda Jatim Irjen Pol. Nico Afinta yang digantikan oleh Irjen Teddy Minahasa. Namun, hanya dalam hitungan hari, Kapolda Jatim yang baru ini dicokok Divisi Propam Polri dengan tuduhan terlibat peredaran narkoba.

Berdasarkan laporan Komnas HAM, Kepolisian memang menjadi lembaga yang paling banyak diadukan melakukan pelanggaran HAM sepanjang 2016-2020. Walaupun mengalami penurunan, sampai tahun 2020, jumlah pengaduan tetap besar dan ada di peringkat pertama dibanding yang lain. Dari total 28.305 aduan yang diterima Komnas HAM sepanjang periode tersebut, 43,9 persen ditujukan terhadap aparat kepolisian.

Di sisi lain, Presiden Jokowi dalam pidatonya hanya menyoroti kebiasaan aparat kepolisian pamer kemewahan. Tidak menyoroti berbagai kasus kriminalitas yang membelit kepolisian akhir-akhir ini.

Polisi Pelindung Rakyat

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, polisi adalah badan pemerintah yang bertugas memelihara keamanan dan ketertiban umum (menangkap orang yang melanggar undang-undang dan sebagainya). Setiap masyarakat membutuhkan lembaga kepolisian demi mendapatkan keamanan dan ketertiban.

Dalam Islam setiap orang berhak mendapatkan jaminan keamanan. Bahkan salah satu tujuan agung syariah Islam adalah menjamin keamanan baik bagi masyarakat maupun negara. Nabi saw. menyebutkan bahwa mendapatkan rasa aman adalah kenikmatan besar dari Allah SWT. Sabda beliau:

مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمْ آمِنًا فِى سِرْبِهِ مُعَافًى فِى جَسَدِهِ عِنْدَهُ قُوتُ يَوْمِهِ فَكَأَنَّمَا حِيزَتْ لَهُ الدُّنْيَا

Siapa saja yang di pagi hari di antara kalian mendapatkan rasa aman di rumahnya (pada diri, keluarga dan masyarakatnya), diberi kesehatan badan, dan memiliki makanan pokok pada hari itu di rumahnya, maka seakan-akan dunia telah terkumpul pada dirinya (HR at-Tirmidzi).

Islam juga memberikan ciri keimanan yang sempurna. Di antaranya saat seseorang menjaga dirinya dari mengganggu harta orang lain dan menumpahkan darah mereka. Sabda Nabi saw.:

الْمُؤْمِنُ مَنْ أَمِنَهُ النَّاسُ عَلَى أَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ

Seorang Mukmin adalah orang yang membuat orang lain merasa aman atas harta dan jiwa mereka (HR Ibnu Majah).

Karena itu tindakan menakut-nakuti, mengancam, mengintimidasi, baik dilakukan oleh warga sipil apalagi oleh aparat, adalah tindakan haram. Nabi saw. bersabda:

لاَ يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يُرَوِّعَ مُسْلِمًا

Tidak halal bagi seorang Muslim menakut-nakuti Muslim yang lain (HR Abu Dawud).

Islam juga mewajibkan Negara untuk menjamin keamanan dan ketertiban bagi warganya. Untuk itulah dibentuk institusi kepolisian yang bertugas mewujudkan rasa aman dan tertib di tengah rakyat. Menjaga keamanan adalah tugas kepolisian yang dibentuk dan diangkat oleh Negara, bukan dibebankan pada masyarakat. Kepolisian dalam Islam hadir untuk menenteramkan warga, bukan meresahkan dan membuat warga ketakutan.

Kepolisian Islam Taat Syariah

Kepolisian atau syurthah telah dikenal sejak zaman kepemimpinan Rasulullah saw. di Negara Islam di Madinah. Anas bin Malik ra. bertutur:

إِنَّ قَيْسَ بْنَ سَعْدٍ كَانَ يَكُونُ بَيْنَ يَدَيِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، بِمَنْزِلَةِ ‌صَاحِبِ ‌الشُّرَطِ مِنَ الأَمِيرِ

Qais bin Saad ketika itu berada di depan Nabi saw. layaknya kepala polisi dengan amir (kepala negara) (HR al-Bukhari).

Dr. Namir bin Muhammad al-Hamidani dalam kitab Wilâyah asy-Syurthah fî al-Islâm menjelaskan hukum-hukum syariah mengenai syurthah (kepolisian) dalam Islam. Secara bahasa syurthah bermakna para pembantu penguasa. Dinamakan syurthah karena mereka memiliki tanda-tanda yang dapat diidentifikasi. Adapun secara istilah syurthah (polisi) adalah pasukan yang dibentuk oleh khalifah atau wali/gubernur untuk menjaga keamanan dan melindungi aturan, menangkap pelaku kejahatan dan para pengacau, serta tugas lain seperti pekerjaan administratif yang menjamin keselamatan rakyat dan ketenangan mereka (hlm. 18-19).

Kepolisian adalah kekuatan utama untuk menjaga keamanan dalam negeri dari berbagai ancaman dan gangguan seperti pencurian, perampokan, zina, murtad, vandalisme, dsb. Polisi juga diberi kewenangan menggunakan senjata untuk menghadapi kaum pemberontak (bughat) dan separatis yang mengganggu keamanan umum seperti mengancam harta warga, aset-aset umum dan negara (Abdul Qadim Zallum, Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm, hlm. 147).

Dalam aturan Islam, polisi menjalankan tugasnya sesuai hukum syariah. Mereka haram memata-matai rakyat, melakukan penyadapan, meretas ponsel, email, nomor telepon, dsb. dengan alasan mencegah kejahatan. Allah SWT berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا

Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah kebanyakan dari prasangka. Sungguh sebagian prasangka itu dosa. Janganlah kalian memata-matai orang lain (tajassus) (QS al-Hujurat [49]: 12).

Polisi hanya boleh memata-matai mereka yang disebut ahlur-riyab, yaitu orang-orang yang terindikasi kuat akan menimpakan bahaya kepada masyarakat, negara dan warga. Di antaranya warga yang punya hubungan akrab dengan negara kafir harbi fi’l[an] (de facto) maupun kafir harbi hukm[an] (de jure). Misalnya, warga yang akrab dengan negara imperialis macam Israel, Amerika Serikat, dsb.

Islam juga mengharamkan polisi menciptakan ketakutan terhadap rakyat dengan berbuat semena-mena seperti asal tangkap, memukuli warga, menembakkan gas air mata, apalagi membunuh tanpa alasan yang haq. Nabi saw. bersabda:

صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا: قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُوْنَ بِهَا النَّاسَ

Ada dua golongan penghuni neraka, yang belum pernah aku lihat, yaitu suatu kaum yang memegang cambuk seperti ekor sapi. Mereka mencambuk manusia dengan cambuk tersebut (HR Muslim).

Polisi Islam: Pribadi yang Bertakwa

Kepolisian dalam Islam bukanlah kesatuan alakadarnya yang direkrut dari orang-orang rendahan dan dilatih asal-asalan. Kepolisian dalam Islam adalah kesatuan terbaik dan menonjol. Al-Azhari berkata, “Polisi adalah setiap kesatuan terbaik. Di antara kesatuan pilihan tersebut adalah polisi karena mereka adalah prajurit-prajurit pilihan. Bahkan dikatakan mereka adalah kesatuan terbaik yang lebih menonjol daripada tentara.” (Ajhizah ad-Dawlah, hlm. 94).

Karena vitalnya peran polisi dalam penegakan syariah Islam, maka tidak sembarang orang diterima menjadi polisi. Tidak cukup hanya sehat badannya dan punya keterampilan fisik. Disyaratkan juga mereka adalah pribadi-pribadi yang bertakwa. Ibnu Azraq menyebutkan, “Wajib bagi Imam/Khalifah untuk memilih polisi dari kalangan orang yang tsiqah (terpercaya) agamanya, tegas dalam membela kebenaran dan hudûd (hukum pidana Islam), waspada dan tidak mudah dibodohi.” (Bada’ as-Silki fî Thabai’ al-Mulki, 1/289, Maktabah Syamilah).

Dengan tiga sifat ini maka hukum syariah dapat ditegakkan. Kepolisian akan diisi oleh anggota yang bertakwa sehingga tidak mempan dibujuk apalagi menerima suap dari siapa pun. Mereka tegas dalam menegakkan hukum, juga tidak akan memutarbalikkan hukum untuk keuntungan pribadi.

Aparat keamanan yang bertakwa juga memahami bahwa ketaatan mutlak hanya kepada Allah SWT, bukan kepada atasan maupun penguasa. Banyak aparat dengan dalih taat pada komandan lalu mengikuti apa saja perintah mereka, termasuk menghilangkan nyawa orang lain seperti kasus pembunuhan Brigadir Joshua. Dalam Islam tak ada doktrin ketaatan dalam kemaksiatan. Sabda Nabi saw.:

لَا طَاعَةَ فِي مَعْصِيَةٍ إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ

Tidak ada ketaatan di dalam maksiat. Sungguh taat itu hanya dalam perkara yang makruf (HR al-Bukhari).

Karena itu persoalan utama kepolisian bukanlah seperti yang disebut oleh Presiden Jokowi, yakni pamer kemewahan. Akar masalahnya ada pada tujuan pembentukannya, kepribadian para penegak hukum, juga hukum apa yang ditegakkan dan kepada siapa kepolisian berkhidmat. Jika kepolisian tidak dibangun di atas iman dan takwa, juga bukan dalam rangka menegakkan hukum-hukum Allah, maka selalu rawan dibajak untuk kezaliman penguasa atau untuk kepentingan oligarki.

WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. []

—*—

Hikmah:

Rasulullah saw. bersabda:

يَكُونُ فِي آخِرِ الزَّمَانِ أُمَرَاءُ ظَلَمَةٌ، وَوُزَرَاءُ فَسَقَةٌ، وَقُضَاةٌ خَوَنَةٌ، وَفُقَهَاءُ كَذَبَةٌ، فَمَنْ أَدْرَكَ مِنْكُمْ ذَلِكَ الزَّمَنَ فَلا يَكُونَنَّ لَهُمْ جَابِيًا وَلا عَرِيفًا وَلا شُرْطِيًّا

Akan datang pada akhir zaman nanti para penguasa yang memerintah dengan sewenang-wenang, para pembantu (menteri-menteri)-nya fasik, para hakimnya pengkhianat dan para ahli hukum Islam pendusta. Siapa saja di antara kalian yang mendapati zaman itu, sungguh kalian jangan menjadi pemungut cukai, tangan kanan penguasa dan polisi. (HR ath-Thabarani). []

—*—

Download Buletin Dakwah Kaffah versi PDF & simak versi audio di:
https://buletinkaffah.com


Korupsi di Tanah Air bukannya mati, tetapi justru makin menjadi-jadi. Prihatinnya lagi, korupsi justru dilakukan oleh aparat penegak hukum. Baru-baru ini KPK menetapkan Hakim Agung Sudrajad Dimyati sebagai tersangka kasus suap jual-beli putusan di Mahkamah Agung. Ia ditetapkan sebagai tersangka bersama sembilan orang lainnya; termasuk Pegawai Negeri Sipil (PNS) pada Kepaniteraan MA, pengacara dan pihak swasta.

Hakim Agung Sudrajad Dimyati bukan penegak hukum pertama yang terjerat kasus korupsi. Sebelumnya ada Jaksa Pinangki. Ia terlibat dalam suap dan gratifikasi dalam kasus Djoko Tjandra, pelaku skandal Bank Bali. Pada awal tahun 2022, KPK juga menangkap Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi. Pasalnya, ia menerima suap dan gratifikasi puluhan miliar rupiah.

Penangkapan para aparat penegak hukum, terutama hakim agung, tentu mempermalukan lembaga peradilan. Penangkapan mereka sekaligus menjatuhkan kepercayaan publik pada penegakan hukum, terutama dalam pemberantasan korupsi. Pasalnya, dalam sistem demokrasi, hakim dipandang sebagai ‘wakil tuhan di dunia’. Kalau ‘wakil tuhan’-nya korup dan rakus, bagaimana hukum ditegakkan?

Keadilan Tumbang

Masyarakat sudah capek melihat tindak kejahatan korupsi tiada henti di negeri ini. Korupsi sudah seperti kanker stadium tinggi. Korupsi menjerat hampir semua lini. Apalagi ternyata korupsi justru melibatkan aparat penegak hukum. Berdasarkan data KPK, ada 34 koruptor yang merupakan aparat penegak hukum.

Korupsi juga seperti lingkaran setan. Pasalnya, korupsi melibatkan banyak pihak di dalam berbagai instansi pemerintah dan penegak hukum. Karena itu ada peluang mereka saling menutupi kebusukan sesama kolega. Sampai hari ini rakyat masih menunggu kelanjutan dugaan adanya aliran judi online di kepolisian. Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menemukan aliran dana sebesar Rp 155 triliun dari aktivitas perjudian online yang diduga mengalir ke oknum anggota kepolisian.

Sebelumnya, seorang perwira polisi di Polda Sumatra Selatan mengaku setiap bulan harus memberikan setoran kepada atasannya yang menjabat Direktur Reserse Kriminal Khusus (Dirkrimsus) Polda Sumsel. Jumlahnya sebesar Rp 500 juta setiap bulan. Ia sendiri menjadi terdakwa kasus dugaan penerimaan suap atau fee Rp 10 miliar yang diduga bersumber dari Dinas PUPR Kabar Musi Banyuasin, Sumatra Selatan.

KPK, yang jadi ujung tombak pemberantasan korupsi, juga tidak bersih dari pelanggaran. Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar terlibat dalam sejumlah pelanggaran kode etik dan dugaan pelanggaran tindak pidana. Namun, ia lolos dari jerat hukum. Ia hanya mendapat sanksi kode etik, lalu mengundurkan diri.

Jika aparat penegak hukum terlibat korupsi, suap dan menerima gratifikasi, maka keadilan dan penegakan hukum sudah tentu dipertanyakan. Indonesia Corruption Watch (ICW) melaporkan sepanjang tahun 2020 rerata sanksi yang diberikan kepada pelaku korupsi terlalu ringan. Hanya 4 tahun. Pemerintah juga royal memberikan remisi alias pemotongan masa tahanan terhadap terpidana korupsi. Pada bulan September ini saja ada 23 terpidana korupsi yang bebas bersyarat. Khusus Jaksa Pinangki, ia mendapatkan diskon masa tahanan hingga 60%. Pemerintah beralasan bahwa hal itu adalah amanat undang-undang.

Peradilan juga tidak aman dari intervensi politik. Sering hukum berlaku tumpul kepada mereka yang bersama rezim, tetapi tajam kepada kelompok yang berseberangan.

Islam Tegakkan Keadilan

Dalam Islam, kedudukan hakim amatlah penting. Ia diperintahkan Allah SWT untuk berlaku adil dengan menerapkan syariah-Nya dalam peradilan. Allah SWT berfirman:

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ

Sungguh Allah menyuruh kalian menyampaikan amanah kepada orang yang berhak menerimanya, juga (menyuruh kalian) jika menetapkan hukum di antara manusia supaya kalian berlaku adil (TQS an-Nisa’ [4]: 58).

Selanjutnya Rasulullah saw. menjelaskan sekaligus memperingatkan para hakim tentang kedudukan mereka kelak di akhirat. Sabda beliau:

«اَلْقُضَاةُ ثَلَاثَةٌ اِثْنَانِ فِي النَّارِ وَوَاحِدٌ فِي الْجَنَّةِ رَجُلٌ عَلِمَ الْحَقَّ فَقَضَى بِهِ فَهُوَ فِي الْجَنَّةِ وَرَجُلٌ قَضَى لِلنَّاسِ عَلَى جَهْلٍ فَهُوَ فِي النَّارِ وَرَجُلٌ جَارَ فِي الْحُكْمِ فَهُوَ فِي النَّارِ»

Sungguh hakim itu ada tiga golongan; dua di neraka dan satu di surga: (1) hakim yang mengetahui kebenaran, lalu memutuskan perkara dengan ilmunya, maka ia berada di surga; (2) hakim yang memberikan putusan kepada manusia atas dasar kebodohan, maka ia di neraka; (3) hakim yang berlaku curang saat memberikan putusan, maka ia di neraka (HR Ibnu Majah).

Nabi saw. juga bersabda:

«مَنْ وَلِيَ الْقَضَاءَ فَقَدْ ذُبِحَ بِغَيْرِ سِكِّينٍ»

Siapa saja yang menjabat sebagai hakim, sungguh ia telah disembelih tanpa menggunakan pisau (HR Abu Dawud).

Imam as-Sindi rahimahulLaah menjelaskan tentang makna ‘dia disembelih tanpa menggunakan pisau’, “Artinya, dia disembelih dengan penyembelihan yang berat, karena penyembelihan dengan pisau lebih mudah bagi hewan sembelihan; berbeda jika tanpa pisau.”

Karena itulah Imam Fudhail bin Iyadh berkata, “Mestinya hari-hari seorang hakim itu hanya terbagi dua. Sehari di pengadilan dan sehari lagi ia habiskan untuk menangisi dirinya.”

Karena itu pula di mata generasi salafush-shalih jabatan hakim adalah jabatan yang berat. Banyak para ulama dulu yang menghindar bahkan menolak jabatan tersebut. Ayyub as-Sukhtiyani berkata, “Sungguh saya mendapati orang yang paling berilmu itu adalah orang yang paling kencang berlari menghindar dari jabatan (hakim) itu.”

Untuk itu Islam memberikan sejumlah solusi dalam peradilan agar tidak menjadi masalah. Pertama: Jabatan hakim hanya diisi oleh orang-orang alim dan benar-benar bertakwa. Sebuah musibah jika hakim dijabat oleh orang yang jahil dan rakus kekuasaan. Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. berkata, “Siapa saja yang mengurus urusan kaum Muslim, kemudian dia menyerahkan urusannya itu kepada seseorang karena kecintaan atau kekerabatan di antara keduanya, maka ia telah mengkhianati Allah, Rasul-Nya dan kaum Mukmin.”

Kedua: Hakim hanya mengadili dengan menggunakan hukum Islam, bukan dengan hukum yang lain. Hukum Islam adalah hukum Allah SWT. Inilah satu-satunya hukum yang menjamin keadilan bagi umat manusia. Bebas dari intervensi manusia dan tidak bisa ditafsirkan sesuai hawa nafsu. Dosa besar jika hakim menjatuhkan vonis hukuman dengan hukum buatan manusia. Allah SWT berfirman:

فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

Demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan engkau sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasakan dalam hati mereka sesuatu keberatan apapun atas putusan yang engkau berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya (TQS an-Nisa’ [4]: 65).

Hukum buatan manusia sering berisi pasal karet yang bisa ditarik ulur sesuai kepentingan kekuasaan dan uang. Hanya mereka yang berkuasa dan berduit yang bisa mendapatkan keadilan. Akibatnya, justru orang-orang zalim yang sering dimenangkan di pengadilan. Padahal Nabi saw. telah mengingatkan:

«مَنْ أَعَانَ عَلَى خُصُومَةٍ بِظُلْمٍ أَوْ يُعِينُ عَلَى ظُلْمٍ لَمْ يَزَلْ فِي سَخَطِ اللهِ حَتَّى يَنْزِعَ»

Siapa saja yang membela perlawanan (terhadap kebenaran) secara zalim atau membela kezaliman, maka dia selalu berada dalam kemarahan Allah hingga dicabut nyawanya (HR Ibnu Majah).

Ketiga: Hakim diwajibkan menerapkan hukum secara adil sesuai ketetapan syariah. Peradilan Islam tidak mengenal banding, apalagi remisi. Nabi saw. pernah marah kepada Usamah bin Zaid ra. karena mencoba membatalkan vonis hukum potong tangan bagi seorang perempuan bangsawan yang mencuri. Beliau bersabda:

«أَتَشْفَعُ فِي حَدٍّ مِنْ حُدُودِ اللَّهِ ثُمَّ قَامَ فَاخْتَطَبَ فَقَالَ أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِينَ قَبْلَكُمْ أَنَّهُمْ كَانُوا إِذَا سَرَقَ فِيهِمْ الشَّرِيفُ تَرَكُوهُ وَإِذَا سَرَقَ فِيهِمْ الضَّعِيفُ أَقَامُوا عَلَيْهِ الْحَدَّ وَايْمُ اللَّهِ لَوْ أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ لَقَطَعْتُ يَدَهَا»

“Apakah kamu hendak memberi keringanan dalam hukum dari hukum-hukum Allah?” Kemudian beliau berdiri dan berkhutbah. Lalu bersabda “Wahai sekalian manusia, sungguh yang membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah ketika orang-orang terpandang mereka mencuri, mereka membiarkannya (tidak menghukum). Sebaliknya, jika orang-orang yang rendah dari mereka mencuri, mereka menghukumnya. Demi Allah, sekiranya Fatimah binti Muhammad mencuri, sungguh aku sendiri yang akan memotong tangannya.” (HR Muslim).

Keempat: Khalifah sebagai kepala negara juga akan mengawasi dan mengaudit kekayaan para hakim, sebagaimana terhadap pejabat negara lainnya. Jika ditemukan penambahan harta yang tak wajar, Negara akan menyitanya sebagai milik Baitul Mal. Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. pernah merampas separuh harta Abu Bakrah ra. karena kerabatnya bekerja sebagai pejabat Baitul Mal dan pengurusan tanah di Irak. Harta Abu Bakrah sebesar 10 ribu dinar (lebih dari Rp 25 miliar) dibagi dua oleh Khalifah Umar. Separuh diberikan kepada Abu Bakrah. Separuh lagi dimasukkan ke Baitul Mal (Syahiid al-Mihraab, hlm. 284).

Jelas sudah, hanya Islam solusi tepat menangani gurita korupsi khususnya di lembaga peradilan. Islam adalah satu-satunya jalan terbaik untuk mendatangkan keadilan untuk semua golongan.[]

Hikmah:

Allah SWT berfirman:

أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ

Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin? (TQS al-Maidah [5]: 50). []

Oleh: Refa | 16 September 2022

MENYUSAHKAN RAKYATADALAH KEZALIMAN


Pemimpin atau penguasa pada hakikatnya adalah pelayan rakyat. Mula al-Qari di dalam Mirqâtu al-Mafâtîh Syarhu Shahîh al-Bukhârî menyatakan bahwa Ibnu Majah telah meriwayatkan dari Abu Qatadah dan al-Khathib, dari Ibnu Abbas ra.:

«سَيِّدُ الْقَوْمِ خَادِمُهُمْ»

Pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka (HR Ibnu Majah).

Mula al-Qari, mengutip ath-Thibiy, menjelaskan maksud riwayat ini: “Pemimpin itu harus demikian (yakni layaknya pelayan) karena ia wajib mewujudkan berbagai kemaslahatan mereka dan mengurusi keadaan mereka secara lahir dan batin.”

Dengan demikian penguasa selayaknya berperan sebagai pelayan rakyat. Sebagai pelayan rakyat, penguasa akan selalu mengutamakan kemaslahatan rakyat dan mengurusi urusan mereka. Ia tidak menyusahkan rakyat. Ia pun akan menjauhkan apa saja yang dapat merugikan, membahayakan dan menyengsarakan rakyat.

Islam telah menggariskan bahwa penguasa wajib mengurusi segala urusan dan kemaslahatan rakyat. Ia akan dimintai pertanggungjawaban atas hal itu. Rasul saw. bersabda:

«فَالأَمِيرُ الَّذِى عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ»

Pemimpin adalah pihak yang berkewajiban memelihara urusan rakyat dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus (HR Muslim).

Tugas pemimpin adalah menunaikan siyâsah (politik), yakni memelihara urusan rakyat. Seperti yang dijelaskan oleh Imam an-Nawawi, ia bertugas untuk al-qiyâmu bi amrin bimâ huwa ashlahu (melaksanakan suatu urusan dengan sesuatu yang paling baik).

Karena itulah Rasulullah saw. mencela pemimpin atau penguasa yang abai terhadap urusan rakyatnya. Apalagi jika penguasa tersebut sering bertindak zalim terhadap rakyatnya. Beliau bersabda:

«إِنَّ شَرَّ الرِّعَاءِ الْحُطَمَةُ»

Sungguh seburuk-buruk pemimpin adalah al-Huthamah (yang menzalimi rakyatnya dan tidak menyayangi mereka) (HR Muslim).

Pemimpin Zalim

Jelas, pemimpin ideal adalah pemimpin yang telah digariskan oleh Islam. Pemimpin yang memposisikan diri sebagai pelayan rakyat ini tentu sangat diidamkan oleh semua lapisan masyarakat. Pemimpin semacam ini hanya mungkin terwujud saat sistem Islam atau syariah Islam diterapkan secara _ kâffah_ oleh negara.

Namun sayang, faktanya tidak demikian. Penguasa hari ini bukan pelayan rakyat, tetapi pelayan oligarki. Rakyat justru dipaksa untuk melayani kemauan dan kepentingan penguasa yang menjadi pelayan oligarki. Buktinya, banyak kebijakan yang diambil oleh penguasa lebih berpihak kepada oligarki dan justru makin memperburuk keadaan rakyat. Rakyat makin terbebani dan makin susah akibat ragam kebijakan penguasa yang zalim.

Ambil contoh kebijakan penguasa paling baru, yakni menaikkan harga BBM. Harga Pertalite dinaikkan hampir 31 persen; dari sebelumnya Rp 7.650 per liter menjadi Rp 10.000 per liter. Harga Solar bersubsidi dinaikkan lebih dari 32 persen; dari sebelumnya Rp 5.150 per liter menjadi Rp 6.800 per liter. Harga Pertamax yang tidak disubsidi dinaikkan sebesar 16 persen; dari sebelumnya Rp 12.500 per liter menjadi Rp 14.500 per liter.

Dikatakan bahwa salah satu alasan kebijakan itu karena besarnya subsidi BBM yang mencapai Rp 502 triliun dan itu sangat membebani APBN. Alasan itu telah diprotes oleh banyak kalangan dan ekonom karena dianggap tidak menggambarkan kenyataan yang sebenarnya. Nyatanya, subsidi BBM di dalam APBN hanya sebesar Rp 149,4 triliun, dari total subsidi energi sebesar Rp 208,9 triliun. Yang terbesar sebenarnya yang disebut kompensasi energi. Ini merupakan dana kompensasi atas kekurangan penerimaan badan usaha akibat kebijakan penetapan harga jual eceran BBM dan tarif tenaga listrik. Kebijakan kompensasi energi itu menimbulkan banyak pertanyaan baik dari sisi dasar kebijakannya maupun besarannya.

Beban APBN yang terbesar justru pembayaran utang. Tahun ini saja bunga utang yang harus dibayar sekitar Rp 404 triliun, sekitar 20 persen dari APBN. Anehnya, utang itu tidak dianggap sebagai beban. Buktinya, Pemerintah justru terus menumpuk utang.

Kenaikan harga minyak dunia juga dijadikan alasan. Kenaikan harga minyak akan menaikkan beban subsidi BBM karena negeri ini telah menjadi net importer. Namun, hal itu dipertanyakan.

Menurut Anthony Budiawan, misalnya, dengan produksi minyak mentah Indonesia yang mencapai 611 ribu barel per hari, dengan tingkat harga minyak saat ini, pendapatan negara secara umum sebenarnya masih surplus sekitar Rp 33,15 triliun.

Hasil kajian INDEF pada Maret 2022 menyatakan bahwa kenaikan harga ICP (Indonesian Crude Price) US$1 per barel akan menambah pendapatan negara Rp 3 triliun, sementara di lain pihak akan meningkatkan belanja negara sebesar Rp 2,6 triliun. Artinya, dengan kenaikan harga ICP, diperkirakan masih ada surplus sekitar Rp 400 miliar untuk setiap kenaikan harga ICP US$1 per barel.

Kebijakan menaikkan harga BBM jelas akan menambah beban bagi rakyat. Setiap kali terjadi kenaikan harga BBM, pasti diikuti dengan kenaikan harga-harga. Kenaikan harga BBM sudah pasti menyebabkan kenaikan biaya transportasi, padahal transportasi menjadi salah satu urat nadi ekonomi. Kenaikan harga BBM ini menambah berbagai beban bagi rakyat yang juga sudah sangat berat. Di antaranya juga akibat kebijakan penguasa lainnya yang juga telah diberlakukan seperti menaikkan tarif dasar listrik, memperluas dan menaikkan pajak, menaikkan iuran BPJS, dll.

Semua kebijakan yang menambah beban rakyat yang sudah sangat berat itu tentu dirasakan sebagai kezaliman atas rakyat. Sayangnya kezaliman yang dirasakan oleh rakyat itu justru berasal dari Pemerintah yang seharusnya mengurusi urusan rakyat dan mengutamakan kemaslahatan mereka.

Siapapun yang dipercaya mengurusi urusan rakyat, terutama para penguasa, yang menzalimi rakyat dan menyusahkan rakyat hendaklah ingat bahwa dia akan disusahkan oleh Allah SWT, sesuai doa Rasul saw.:

«اللَّهُمَّ مَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِي شَيْئًا فَشَقَّ عَلَيْهِمْ فَاشْقُقْ عَلَيْهِ وَمَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِي شَيْئًا فَرَفَقَ بِهِمْ فَارْفُقْ بِهِ»

”Ya Allah, siapa saja yang menangani urusan umatku, lalu dia menyusahkan mereka, maka susahkanlah dia. Siapa saja yang menangani urusan umatku, lalu dia berbuat baik kepada mereka, maka perlakukanlah dia dengan baik.” (HR Muslim dan Ahmad).

Imam an-Nawawi di dalam Al-Adzkâr mengatakan bahwa hadis ini menunjukkan kebolehan berdoa atas suatu kezaliman. Artinya, boleh mendoakan keburukan bagi penguasa zalim atas kezalimannya agar Allah SWT menimpakan balasan yang setimpal kepada dirinya.

Adapun Imam al-Ghazali mengisyaratkan bahwa boleh melaknat atau memohon kepada Allah SWT agar menimpakan laknat kepada penguasa zalim yang memberatkan dan menyulitkan rakyat. Bahkan penguasa zalim itu memang layak mendapat laknat Allah SWT. Iyasy bin Abbas ra. berkata bahwa Nabi saw. pernah bersabda:

«مَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِيْ شَيْئًا فَرَفَقَ بِهِمْ فَرَفَقَ اللهُ بِهِ وَمَنْ وَلِيَ مِنْهُمْ شَيْئًا فَشَقَّ عَلَيْهِمْ فَعَلَيْهِ بَهْلَةُ اللهِ قَالُوْا يَا رَسُوْلَ اللهِ وَمَا بَهْلَةُ اللهِ قَالَ لَعْنَةُ اللهِ»

“Siapa saja yang menangani suatu urusan umatku, lalu dia bersikap baik kepada mereka, maka Allah akan bersikap baik kepada dirinya. Siapa saja yang menangani urusan umatku, lalu dia menyulitkan mereka, maka bagi dia ada bahlah Allah.” Para Sahabat bertanya, “Apakah bahlah Allah itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Laknat Allah.” (HR Abi ‘Awanah).

Kezaliman Sistematis

Bukan sekadar kezaliman biasa, berbagai kebijakan yang selama ini menyusahkan rakyat dapat dianggap sebagai “kezaliman sistematis”. Pasalnya, berbagai kezaliman itu terjadi secara sistematis sebagai akibat dari sistem zalim kapitalisme-liberalisme yang diadopsi dan diterapkan di negeri ini.

Sistem zalim kapitalisme-liberalisme mengharuskan agar peran dan campur tangan negara ditekan seminimal mungkin. Segala urusan harus diserahkan kepada mekanisme pasar. Dalam doktrin kapitalisme-liberalisme, subsidi tidak boleh ada. Itu pun kalau benar merupakan subsidi. Subsidi dianggap sebagai beban dan menjadi problem ekonomi.

Pengurangan subsidi termasuk kenaikan harga BBM adalah amanat liberalisasi dalam LoI IMF, Januari 2000. Pengurangan subsidi sekaligus merupakan perintah Bank Dunia dan syarat pemberian utang (Indonesia Country Assistance Strategy, World Bank, 2001). Akhirnya, liberalisasi energi dan migas menjadi nafas dan amanat undang-undang kelistrikan, migas, minerba dan lainnya.

Bank Dunia pun berulang kali mendesak agar subsidi segera dihilangkan. Misalnya saja, pada 2014, Direktur Bank Dunia untuk Indonesia Rodrigo A. Chaves mengatakan, Bank Dunia ingin agar pemerintahan yang baru bisa mengurangi subsidi BBM. “Tidak terlalu penting siapa yang menang. Yang diperhatikan adalah bagaimana mereka yang terpilih menerapkan kebijakan. Salah satunya, siapa nantinya yang berani mengurangi subsidi BBM,” ujar Chaves (Detikfinance, 21/7/2014).

Dalam sistem kapitalisme-liberalisme, pengelolaan SDA termasuk migas yang katanya adalah milik rakyat, tidak boleh dikelola negara, tetapi harus diserahkan kepada swasta dalam negeri dan asing. Pengelolaan hasil migas juga harus dilakukan menurut mekanisme pasar. Belum lagi tata kelolanya juga banyak masalah, seperti keharusan menggunakan trader yang mematok margin sesukanya, adanya mafia migas, dll.

Sebagai akibat dari penerapan sistem kapitalisme-liberalisme ini kezaliman sistematis akan terus terjadi.

Kembali pada Syariah

Semua ragam kezaliman merupakan bentuk penyimpangan dari petunjuk, peringatan dan hukum-hukum Allah SWT. Allah SWT telah memperingatkan akibat dari semua itu melalui firman-Nya:

﴿وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنكًا﴾

Siapa saja yang berpaling dari peringatan-Ku (al-Quran) maka sungguh bagi dia penghidupan yang sempit (TQS Thaha [20]: 124).

Solusinya juga telah Allah SWT jelaskan, yaitu kembali pada al-Quran atau kembali pada syariah-Nya. Alhasil, saatnya kita bersegera untuk menerapkan syariah secara _ kâffah_ untuk mengatur semua urusan individu dan masyarakat.

WalLâh a’lam bi ash-shawâb. []

Hikmah:

Rasulullah saw. bersabda:

الظُّلْمُ ظُلُمَاتٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Kezaliman adalah kegelapan pada Hari Kiamat. (HR al-Bukhari). []

Oleh: Refa | 9 September 2022

BBM MILIK RAKYAT,BUKAN MILIK PEMERINTAH


Akhirnya, di tengah ragam kesulitan yang diderita rakyat, Pemerintah benar-benar tega menaikkan harga BBM. BBM jenis Pertalite naik tidak tanggung-tanggung. Dari Rp 7.650/liter menjadi Rp 10.000/liter. Padahal Pertalite selama ini banyak dikonsumsi jutaan masyarakat menengah ke bawah. Terutama setelah BBM jenis Premium makin langka, bahkan nyaris tak pernah dijumpai di setiap SPBU. Demikian pula Solar subsidi naik dari Rp 5.150/liter menjadi Rp 6.800/liter. Pertamax, yang belum lama ini naik, juga dinaikkan kembali harganya, dari Rp 12.500/liter menjadi Rp 14.500/liter.

Kebijakan Zalim

Kebijakan Pemerintah menaikkan harga BBM tentu amat zalim. Mengapa? Pertama: Korbannya adalah rakyat kebanyakan. Mereka adalah kalangan menengah ke bawah. Jumlahnya ratusan juta orang. Terutama para pengguna kendaraan bermotor roda dua, termasuk ojol, juga kendaraan umum seperti angkot dan angkutan niaga.

Kedua: Keputusan menaikkan harga BBM dikeluarkan Pemerintah saat kebanyakan masyarakat masih belum benar-benar bangkit. Mereka masih terpuruk secara ekonomi akibat pukulan Pandemi Covid-19 selama tidak kurang dari dua tahun.

Ketiga: Harga BBM di luar negeri justru sedang anjlok. Karena itu banyak negara malah ramai-ramai menurunkan harga BBM untuk rakyatnya. Kebijakan Pemerintah menaikkan harga BBM pada saat di banyak negara lain harga BBM diturunkan tentu aneh.

Keempat: Kenaikan BBM dipastikan akan meningkatkan biaya hidup masyarakat. Harga-harga kebutuhan pokok pasti naik. Sebabnya, biaya transportasi juga otomatis naik. Akibatnya, beban operasional seluruh kegiatan ekonomi masyarakat juga dipastikan naik.

Kelima: Di tengah-tengah kehidupan rakyat yang serba sulit, Pemerintah tetap ngotot untuk melanjutkan proyek-proyek mercusuar yang sesungguhnya tidak berkaitan langsung dengan kepentingan dan kemaslahatan rakyat. Contohnya proyek Ibu Kota Negara (IKN) dan Kereta Cepat Bandung-Jakarta. Kedua proyek ini diduga lebih ditujukan untuk memenuhi kepentingan oligarki. Bukan untuk kepentingan rakyat. Demikian pula proyek sejumlah infrastruktur lainnya yang tentu menghabiskan anggaran puluhan bahkan ratusan triliun rupiah.

Keenam: Kompensasi dalam bentuk BLT BBM yang diberikan Pemerintah kepada rakyat sangatlah kecil. Hanya Rp 600 ribu/KPM (Keluarga Penerima Manfaat). Itu pun hanya akan diterima oleh sekitar 20 juta orang. Tentu ini tidak sebanding dengan uang yang disedot oleh Pemerintah dari masyarakat yang terpaksa membeli BBM dengan harga mahal.

Ketujuh: Pemerintah seperti tidak pernah serius, bahkan seolah tak pernah berniat sama sekali, untuk melakukan efisiensi anggaran. Belum lagi kebocoran anggaran akibat korupsi para pejabat negara yang makin massif.

Kedelapan: Dalam pandangan Islam, BBM dan energi lainnya hakikatnya milik rakyat. Rakyatlah pemilik BBM, juga energi dan segala sumberdaya alam yang depositnya melimpah. Bukan Pemerintah. Pemerintah hanya berwenang mengelola semua milik rakyat tersebut. Hasilnya, tentu seluruhnya dikembalikan kepada rakyat. Di antaranya dalam bentuk BBM dan energi yang murah harganya. Negara tidak boleh berdagang dengan rakyat dengan mencari untung yang sebesar-besarnya. Apalagi dengan memperdagangkan barang-barang yang sejatinya milik rakyat seperti BBM, listrik, gas, dll.

Ketentuan Syariah

Berdasarkan ketentuan syariah Islam, BBM, energi dan sumberdaya alam lainnya yang menguasai hajat hidup orang banyak hakikatnya adalah milik rakyat. Hal ini di dasarkan pada sejumlah hadis. Di antaranya riwayat Ibnu ‘Abbas ra. yang menuturkan bahwa Rasulullah saw., pernah bersabda:

«الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِى ثَلاَثٍ فِى الْمَاءِ وَالْكَلإِ وَالنَّارِ وَثَمَنُهُ حَرَامٌ»

Kaum Muslim berserikat (memiliki hak yang sama) dalam tiga perkara: air, padang rumput dan api. Harganya adalah haram (HR Ibn Majah dan ath-Thabarani).

Berdasarkan hadis ini, ketiga jenis sumberdaya alam ini adalah milik umum. Hanya saja, statusnya sebagai milik umum adalah berdasarkan sifatnya, yakni sebagai barang-barang yang dibutuhkan masyarakat secara umum (As-Siyaasah al-Iqtishadiyah al-Mutslaa, hlm. 67).

Dari hadis di atas bisa digali kaidah hukum:

] كُلُّ مَا كَانَ مِنْ مَرَافِقِ اْلجَمَاعَةِ كَانَ مِلْكِيَّةً عَامَةً[

Setiap benda/barang (sumberdaya alam) yang menjadi bagian dari kebutuhan masyarakat secara luas adalah milik umum (An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah al-Islaamiyyah, 3/466).

Dengan demikian tak hanya air, api dan padang rumput. Semua sumberdaya alam yang menjadi kebutuhan masyarakat secara luas (min maraafiq al-jamaa’ah) adalah milik umum (An-Nabhani, An-Nizhaam al-Iqtishaadi, hlm. 201).

Alasannya, Rasulullah saw. pernah memberikan penguasaan air di Thaif dan Khaibar kepada seseorang. Air tersebut tidak menjadi tempat bergantung masyarakat. Kenyataan ini menunjukkan bahwa larangan penguasaan ketiga jenis barang dalam hadis di atas mengandung ‘illat. ‘Illat-nya adalah barang tersebut min maraafiq al-jamaa’ah (kebutuhan bersama masyarakat). Dalam kaidah ushul dinyatakan:

]اَلْعِلَّةُ تَدُوْرُ مَعَ الْمَعْلُوْلِ وُجُوْداً وَ عَدَماً[

Ada atau tidak adanya hukum bergantung pada ‘illat-nya.

Berdasarkan kaidah ini, semua yang terkategori barang yang dibutuhkan publik (min maraafiq al-jamaa’ah) adalah milik umum. Tak hanya air, padang rumput dan api. Di dalamnya termasuk BBM, energi dan yang lainnya.

BBM dan energi lainnya (yang depositnya melimpah) sebagai milik umum juga termasuk ke dalam bahasan hadis tentang barang tambang dari riwayat Abyadh bin Hammal ra.

«عَنْ أَبْيَضَ بْنِ حَمَّالٍ أَنَّهُ وَفَدَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَاسْتَقْطَعَهُ الْمِلْحَ فَقَطَعَ لَهُ فَلَمَّا أَنْ وَلَّى قَالَ رَجُلٌ مِنَ الْمَجْلِسِ أَتَدْرِى مَا قَطَعْتَ لَهُ إِنَّمَا قَطَعْتَ لَهُ الْمَاءَ الْعِدَّ. قَالَ فَانْتَزَعَهُ مِنْهُ».

Dari Abyadh bin Hammal: Ia pernah mendatangi Rasulullah saw. dan meminta beliau agar memberikan tambang garam kepada dia. Beliau pun memberikan tambang itu kepada dirinya. Ketika Abyadh bin Hamal ra telah pergi, ada seorang laki-laki yang ada di majelis itu berkata kepada Rasulullah saw., “Tahukah Anda, apa yang telah Anda berikan kepada dia? Sungguh Anda telah memberikan kepada dia sesuatu yang seperti air mengalir (al-maa’ al-‘idd).” Ibnu al-Mutawakkil berkata, “Lalu Rasulullah saw. menarik kembali pemberian tambang garam itu dari dirinya (Abyadh bin Hammal).” (HR Abu Dawud dan at-Tirmidzi).

Hadis ini maqbuul dengan banyaknya jalan (katsrah ath-thuruq) karena memenuhi persyaratan minimal sebagai hadis hasan (Tuhfah al-Ahwadzi, 4/9).

Hadis ini adalah dalil bahwa barang tambang yang depositnya melimpah adalah milik umum. Tidak boleh dimiliki oleh individu (Abdul Qadim Zallum, Al-Amwaal, hlm. 54-56).

Ini berlaku bukan hanya untuk garam saja, seperti dalam hadis di atas, tetapi juga berlaku untuk seluruh barang tambang. Mengapa? Karena larangan tersebut berdasarkan ‘illat yang disebutkan dengan jelas dalam hadis tersebut, yakni “seperti air yang mengalir”. Artinya, semua barang tambang yang jumlahnya “seperti air yang mengalir” (depositnya melimpah) haram dimiliki oleh individu (privatisasi), termasuk swasta apalagi asing.

Hal ini ditegaskan oleh Ibnu Qudamah, “Barang tambang yang melimpah seperti garam, minyak bumi, air, apakah boleh orang menampakkan kepemilikannya? Jawabannya ada dua Riwayat. Yang lebih kuat adalah tidak boleh memilikinya.” (Ibnu Qudamah, Al-Mughni, 12/131)

Peran Negara

Imam/Khalifah (penguasa dalam sistem pemerintahan Islam) harus memberikan akses atas milik-milik umum ini kepada semua rakyatnya, baik miskin atau kaya (Muqaddimah ad-Dustuur, hlm 365). Karena itu klaim Pemerintah bahwa subsidi BBM selama ini salah sasaran karena banyak dinikmati oleh orang-orang kaya adalah alasan yang bertentangan dengan ketentuan syariah ini. Sebabnya, baik miskin atau kaya, memiliki hak yang sama untuk menikmati semua sumberdaya alam milik umum (yang menguasai hajat hidup orang banyak).

Kepemilikan umum ini dikelola oleh negara untuk kepentingan publik. Negara boleh memberikan kepada rakyat secara gratis atau menetapkan harga murah yang hasilnya dikembalikan kepada rakyat. Ini karena negara hanya mewakili umat untuk mengelola barang tersebut.

Kesimpulan

Dengan paparan singkat di atas, jelas kebijakan Pemerintah untuk menaikkan harga BBM, apapun alasannya, wajib ditolak! Selebihnya, Pemerintah wajib mengelola BBM dan energi—juga seluruh sumberdaya alam milik rakyat—sesuai dengan ketentuan syariah. Mungkinkah? Tampaknya mustahil selama negeri ini menerapkan sistem kapitalisme-sekuler-liberal.

Inilah di antara alasan rasional mengapa negeri ini harus diatur berdasarkan syariah Islam. Sebaliknya, bangsa ini harus berani membuang sistem kapitalis-sekuler-liberal yang telah terbukti banyak menyengsarakan rakyat. Pertanyaannya: Apakah kita tetap akan menolak syariah Islam yang jelas-jelas akan mendatangkan maslahat dan keberkahan?! Ataukah kita tetap akan betah hidup diatur dengan sistem kapitalis-sekuler-liberal yang terbukti banyak madaratnya?!

WalLaahu a’lam bi ash-shawwaab. []

Hikmah:

Rasulullah saw. bersabda:

مَا مِنْ وَالٍ يَلِي رَعِيَّةً مِنْ الْمُسْلِمِينَ فَيَمُوتُ وَهُوَ غَاشٌّ لَهُمْ إِلَّا حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ

Tidaklah seseorang diserahi tugas untuk mengurus urusan kaum Muslim, lalu ia mati, sementara ia mengkhianati dan menzalimi rakyatnya, kecuali Allah mengharamkan surga bagi dirinya. (HR al-Bukhari). []

Oleh: Refa | 2 September 2022

RAKYAT ADALAH AMANAH, BUKAN BEBAN


Dalam waktu dekat Pemerintah berencana mengambil kebijakan pahit untuk rakyat. Dalam pidatonya Presiden RI Joko Widodo mengisyaratkan akan menaikkan kembali harga sejumlah BBM, termasuk Pertalite. Padahal belum lama Pemerintah menaikkan harga sejumlah BBM seperti Pertamax, Pertamax Turbo dan Solar Dex. Pemerintah beralasan subsidi BBM sebesar Rp 502 Triliun sudah membebani APBN. Sebagai kompensasinya, Pemerintah akan menyediakan bantalan sosial (bantuan sosial) bagi warga terdampak.

Pemerintah, melalui Menteri Keuangan Sri Mulyani, juga berencana mengubah skema dana pensiun yang dipandang menjadi beban negara. Pemerintah pun sudah bulat mulai tahun depan akan menghapus pegawai non aparatur sipil negara atau non ASN alias honorer. Kebijakan ini bakal dirasakan pahit oleh rakyat. Apalagi sebelumnya Pemerintah juga menaikkan iuran BPJS.

Ragam kebijakan di atas pastinya akan dirasakan sebagai tambahan penderitaan rakyat. Pasalnya, selama ini mereka sudah terjepit oleh beragam kenaikan harga kebutuhan pokok. Apalagi kenaikan harga BBM akan mendorong kenaikan berbagai barang dan jasa, otomatis hidup rakyat semakin nelangsa.

Rakyat Bukan Beban

Mengurus negara memang bukan pekerjaan mudah. Namun, menganggap hak rakyat untuk mendapatkan subsidi sebagai beban adalah keterlaluan. Negara yang memandang rakyat sebagai beban hakikatnya adalah negara kapitalis. Doktrin ideologi kapitalisme mengajarkan bahwa negara menyerahkan kegiatan ekonomi sepenuhnya pada mekanisme pasar. Minim campur tangan negara. Warga yang hidup dalam ideologi kapitalisme harus menjalani skema survival of the fittest.

Tidak aneh jika rakyat sering mendengar pernyataan politisi dan pejabat negara yang meminta rakyat untuk berjuang sendiri. Ketika harga minyak goreng meroket dan langka di pasaran, rakyat dianjurkan mengurangi memasak dengan cara menggoreng. Ketika harga cabe naik, rakyat diminta untuk berkebun cabe di halaman rumah. Ketika harga beras naik, ada seruan agar rakyat miskin melakukan diet. Jangan banyak makan. Ketika harga telur naik, rakyat diminta juga jangan meributkannya.

Bantuan yang disiapkan Pemerintah ada, namun diberikan secara selektif, bukan untuk seluruh rakyat. Dalam kasus BBM, pencabutan dana subsidi BBM sebesar Rp 502 triliun akan diganti dengan tambahan bantalan sosial menjadi Rp 24,17 triliun untuk 20,65 juta kelompok keluarga penerima manfaat. Pemerintah tutup mata bahwa dampak kenaikan tarif BBM dirasakan oleh semua lapisan masyarakat.

Ini bertolak belakang dengan kebijakan Pemerintah terkait urusan pembangunan. Di tengah beragam krisis ekonomi yang menimpa rakyat, rencana pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) tetap akan dilanjutkan. Padahal pembangunan IKN menelan biaya Rp 486 Triliun. Sebesar 20 persennya diambil dari APBN atau sekitar Rp 97 Triliun.

Pembangunan infrastruktur banyak yang mangkrak. Ada juga yang membengkak pembiayaannya. Namun, Pemerintah tetap ngotot minta dilanjutkan. Pembangunan jalur Kereta Api Cepat Jakarta-Bandung mulanya diperhitungkan membutuhkan biaya Rp 86,5 triliun dan haram menggunakan duit APBN. Kini biaya proyek tersebut menjadi Rp 114,24 triliun alias membengkak Rp 27,09 triliun. Dana sebesar itu tentu tak sedikit. Pemerintah Cina meminta agar Pemerintah Indonesia turut membantu pembiayaan tersebut. Belum lagi pembangunan infrastruktur yang dibangun dengan biaya triliunan rupiah malahan tidak bermanfaat untuk banyak orang.

Ketika negara mengeluhkan beban dana pensiun yang sebenarnya hak para ASN karena potongan gaji semasa bekerja, justru Pemerintah banyak mengangkat tenaga kerja tambahan seperti wakil menteri, staf khusus dan stafsus milenial, serta mendirikan lembaga-lembaga kenegaraan baru seperti BPIP dan BRIN. Rata-rata mereka digaji hingga puluhan juta rupiah. Pemerintah juga jor-joran memberikan bantuan kepada para pengusaha hingga triliunan rupiah. Pada tahun 2018 para pengusaha sawit besar mendapatkan suntikan dana hingga Rp 7,5 triliun. Pada saat yang sama, para pegawai honorer akan diberhentikan. Ironi.

Rakyat Adalah Amanah

Cara pandang rakyat sebagai beban dan negara boleh mengurangi hak-hak rakyat adalah kezaliman. Hal ini kontras dengan ajaran Islam. Pertama: Islam menekankan bahwa rakyat adalah Amanah, sementara amanah wajib ditunaikan. Allah SWT berfirman:

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا

Sungguh Allah menyuruh kalian menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya. (TQS an-Nisa’ [4]: 58).

Berkaitan dengan ayat ini, Ali bin Abi Thalib ra. berkata, “Wajib bagi imam (pemimpin) berhukum dengan yang Allah turunkan serta menunaikan amanah.”
Islam menempatkan kedudukan penguasa di hadapan rakyat ibarat penggembala. Ia harus mengurus hewan gembalaannya dengan sebaik-baiknya. Nabi saw. menegur penguasa yang bersikap kasar dan zalim kepada rakyatnya:

إِنَّ شَرَّ الرِّعَاءِ الْحُطَمَةُ

Sungguh sejelek-jelek penggembala adalah yang kasar terhadap hewan gembalaannya (HR Muslim).

Kedua: Penguasa dalam Islam wajib sekuat tenaga memenuhi kebutuhan rakyat dan haram menelantarkan mereka. Penguasa yang menelantarkan kebutuhan rakyat, apalagi menghalangi hak mereka, telah diperingatkan oleh sabda Rasulullah saw.:

مَا مِنْ إِمَامٍ يُغْلِقُ بَابَهُ دُونَ ذَوِي الْحَاجَةِ وَالْخَلَّةِ وَالْمَسْكَنَةِ إِلَّا أَغْلَقَ اللَّهُ أَبْوَابَ السَّمَاءِ دُونَ خَلَّتِهِ وَحَاجَتِهِ وَمَسْكَنَتِهِ

Tidak seorang pun pemimpin yang menutup pintunya untuk orang yang membutuhkan, orang yang kekurangan dan orang miskin, kecuali Allah akan menutup pintu langit dari kekurangan, kebutuhan dan kemiskinannya (HR at-Tirmidzi).

Islam juga melarang penguasaan sumber daya alam oleh swasta asing maupun lokal seperti air, migas dan minerba yang menyebabkan rakyat hanya mendapatkan keuntungan sedikit dan harus membayar mahal untuk mendapatkan semua itu.

Ketiga: Pelayanan dan pemenuhan kebutuhan untuk rakyat berlaku sama dan adil. Tidak didasarkan pada perbedaan status ekonomi maupun agama. Dalam Islam semua warga, Muslim atau non-Muslim, miskin atau kaya, berhak mendapatkan pelayanan dan jaminan hidup seperti pendidikan, kesehatan, listrik, air bersih, BBM secara cuma-cuma atau dengan harga ekonomis. Itu karena dalam Islam Negara (Khilafah) tidak menempatkan hubungan penguasa dan rakyat seperti pedagang dan pembeli.

Dalam sistem kapitalisme, pemberian subsidi selalu ditujukan untuk warga ekonomi lemah dengan mengabaikan kelompok masyarakat lain. Sebenarnya ini adalah cara penguasa kapitalis berkelit dari kewajiban mengurus rakyat. Mereka menentukan sendiri besaran bantuan, jumlah penerimanya dan kriteria orang yang berhak mendapatkan bantuan. Akibatnya, banyak orang yang sebenarnya terdampak tekanan ekonomi dan membutuhkan bantuan diabaikan. Alasannya, mereka bukan orang miskin. Misalnya pada tahun 2021, Badan Pusat Statistik (BPS) menentukan bahwa status warga miskin adalah mereka yang memiliki pengeluaran di bawah Rp 472.525 perkapita perbulan. Dengan menghitung tingkat pengeluaran hari ini, maka angka tersebut sangat tidak realistis.

Keempat: Dalam Islam Khalifah dan para pejabat negara membatasi jaminan hidup mereka demi mendahulukan kesejahteraan rakyat. Diriwayatkan bahwa Khalifah Umar ra. menolak kenaikan tunjangan hidup dari Baitul Mal untuk keluarganya karena malu dan ingin mengikuti kehidupan Rasulullah saw. Sikap ini berasal dari peringatan Nabi saw. kepada para penguasa agar jangan memiliki kehidupan yang lebih mewah dibandingkan rakyatnya. Beliau bersabda:

‌لاَ يَحِلُّ ‌لِلْخَلِيفَةِ مِنْ مَالِ اللهِ إِلا قَصْعَتَانِ: قَصْعَةٌ يَأْكُلُهَا هُوَ وَأَهْلُهُ وَقَصْعَةٌ يَضَعُهَا بَيْنَ يَدَيِ النَّاسِ

Tidak halal Khalifah memiliki harta dari Allah, kecuali dua piring saja. Satu piring untuk kebutuhan makannya bersama keluarganya dan satu piring lagi untuk ia berikan kepada rakyatnya (HR Ahmad).

Kelima: Negara Khilafah akan membebaskan warga ahludz-dzimmah (non-Muslim) dari pungutan jizyah jika mereka tidak mampu. Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. pernah memberikan titah pada Baitul Mal untuk menghentikan pungutan jizyah terhadap warga non-Muslim ahludz-dzimmah saat mereka tidak mampu, apalagi jika telah berusia lanjut. Inilah bentuk pelayanan Negara Khilafah terhadap warga non-Muslim. Sebaliknya, dalam sistem kapitalisme, semua warga, termasuk orang miskin tetap dikejar-kejar pajak atau terkena sanksi. Bahkan Menteri Keuangan pernah menyindir warga yang tidak mau bayar pajak sebaiknya tidak tinggal di negeri ini.

Keenam: Islam akan memprioritaskan pembangunan yang benar-benar bermanfaat untuk rakyat banyak, bukan proyek mercusuar yang hanya dinikmati segelintir orang dan menguntungkan kaum oligarki. Untuk itu setiap pembangunan harus dikaji mendalam agar bermanfaat bagi umat dan tidak sia-sia. Tidak seperti sekarang. Banyak proyek yang mangkrak. Biayanya membengkak, tetapi minim manfaat untuk rakyat. Apalagi pembangunan itu dibiayai dari utang ribawi.

Wahai kaum Muslim! Persoalan hari ini tidak akan tuntas selama kaum Muslim tidak menerapkan syariah Islam dan memiliki pemimpin yang mengurus mereka dengan adil dan amanah. Sebabnya, hanya dalam Islam kepala negara (Khalifah) diangkat untuk mengurus seluruh rakyat, bukan berpihak kepada oligarki seperti yang terjadi hari ini. Karena itu mari kita kembali pada sistem dan kepemimpinan Islam jika kita mengharapkan kehidupan yang penuh berkah. []

—*—

Hikmah:

Rasulullah saw. bersabda:

الْإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

Imam (kepala negara) adalah pengurus rakyat dan bertanggung jawab (di hadapan Allah SWT, red.) atas rakyat yang dia urus. (HR al-Bukhari dan Muslim). []

—*–

Oleh: Refa | 21 Agustus 2022

MERDEKA ITU MENGHAMBA HANYA KEPADA ALLAH SWT


Negeri ini baru saja merayakan Hari Kemerdekaannya yang ke-77 tahun. Bersyukur kepada Allah SWT atas nikmat ini patut dilakukan setiap Muslim. Negeri ini telah merdeka dari penjajahan secara fisik atau militer.

Bersyukur atas kemerdekaan tentu bukan dengan sekadar memuji kebesaran Allah SWT secara lisan, tetapi dengan menggunakan nikmat kemerdekaan ini untuk mewujudkan ketaatan pada perintah dan larangan-Nya.

Sayang, dengan bercermin pada perjalanan bangsa ini hingga hari ini, kemerdekaan justru dimaknai dengan kebebasan, termasuk bebas dari aturan-aturan Allah Sang Maha Pemberi nikmat. Bahkan muncul sejumlah tindakan untuk mendiskreditkan ajaran Islam di alam kemerdekaan seperti melarang anjuran berjilbab di sekolah-sekolah, sampai menyematkan isu radikalisme terhadap ajaran Islam.

Kemerdekaan vs Liberalisme

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, arti dari kata merdeka adalah: bebas (dari perhambaan, penjajahan dan sebagainya); berdiri sendiri. Namun celakanya, bentuk dan makna merdeka yang dijadikan acuan adalah kebebasan yang dibangun masyarakat Barat yang sekuler, yang memisahkan agama dari kehidupan. Kemerdekaan lalu diterjemahkan dengan liberalisasi kehidupan umat manusia, atau kebebasan dari segala keterikatan dan paksaan; termasuk keterikatan dan paksaan ajaran agama.

Menurut kaum liberalis, kemerdekaan itu harus menjamin hak-hak asasi manusia berupa kebebasan berpendapat, kebebasan kepemilikan, kebebasan beragama dan kebebasan perilaku.

Di alam kemerdekaan rakyat harus dijamin bebas berpendapat sekalipun pendapatnya itu merusak dan berbahaya semisal usulan legalisasi ganja, atau pendidikan seks bagi anak dan remaja.

Negara yang merdeka juga harus menjamin kebebasan kepemilikan, termasuk penguasaan sumber daya alam yang harusnya digunakan untuk kemakmuran rakyat. Berlakulah prinsip hukum rimba dalam bidang ekonomi: siapa yang kuat, dia bertahan; yang lemah akan tersingkir. Di Indonesia hari ini, 1 persen orang kaya menguasai 50 persen aset nasional. Lewat kebebasan kepemilikan, segelintir orang juga menguasai lahan di tanah air. Almarhum Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Syafii Maarif pernah mengatakan bahwa telah terjadi penguasaan tanah oleh konglomerat di Indonesia. Dia merinci 80 persen lahan dikuasai konglomerat domestik dan 13 persen dikuasai oleh konglomerat asing. Sebaliknya, tak kurang 74 persen masyarakat Indonesia tidak memiliki rumah. Sebanyak 32 persen menyewa dan 42 persen menumpang.

Hari ini mungkin banyak orang tidak menyadari bahwa penjajahan telah bertransformasi menuju gaya baru atau neokolonialisme/neoimperialisme. Penjajah Barat tidak lagi menggunakan kekuatan fisik untuk mengeksploitasi kaum pribumi. Namun, mereka mendoktrinkan ideologi mereka pada negara jajahan sambil merampok kekayaannya melalui tipudaya kerjasama, lewat para pemimpin boneka dan konstitusi yang mereka rancang.

Lembaga-lembaga keuangan internasional seperti Bank Dunia, IMF, juga pakta perdagangan seperti World Trade Organization (WTO) disetir oleh negara-negara Barat untuk kepentingan mereka dengan menciptakan pasar bebas di mana pun. Produk-produk asing akan membanjiri negara-negara berkembang, bahkan bisa mematikan industri dalam negeri karena kalah bersaing.

Terbukti pasar e-commerce yang dikatakan akan membantu UMKM ternyata dikuasai produk impor. INDEF mengatakan data asosiasi e-commerce menunjukkan kecenderungan 93% barang yang dijual marketplace adalah barang impor, produk lokal hanya 7%.

Di sisi lain kebebasan perilaku melahirkan doktrin ‘my body is my authority’. Selain menolak kewajiban berjilbab, prinsip hidup ini membuat kerusakan moral meruyak di mana-mana; perzinaan, prostitusi, tukar-menukar pasangan (swinger), LGBT, pornografi, dsb. Kemerdekaan, kata mereka, adalah bebas melakukan apa saja.

Ironinya, dalam bidang hukum dan politik, kemerdekaan justru tidak membuat negeri ini bebas dari cengkeraman ideologi dan sistem politik asing: demokrasi. Demokrasi terbukti melahirkan oligarki; kekuasaan yang berada di segelintir orang. Hasilnya, muncullah kebijakan kapitalistik yang menguntungkan oligarki. Menkopolhukam Mahfud MD pernah menyatakan bahwa 92 persen pemilihan kepala daerah dikuasai cukong. Lahirlah kemudian para kepala daerah yang bermental koruptor. Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron menyatakan ada 429 kepala daerah ditangkap KPK karena terlibat korupsi.

Melihat realitas ini, tidak aneh, meski sudah 77 tahun merdeka, kondisi negeri justru makin terpuruk. Semua terjadi karena salah memahami makna kemerdekaan sebagai kebebasan. Lepas dari aturan agama. Bahkan bebas mendiskreditkan ajaran agama dan menempatkan agama sebagai musuh bersama. Ujungnya justru penderitaan rakyat lahir-batin. Mahabenar Allah Yang telah mengingatkan manusia akan kebinasaan mereka saat mereka memperturutkan hawa nafsu dan menjauhkan diri dari agama:

وَلَوِ اتَّبَعَ الْحَقُّ أَهْوَاءَهُمْ لَفَسَدَتِ السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ وَمَنْ فِيهِنَّ بَلْ أَتَيْنَاهُمْ بِذِكْرِهِمْ فَهُمْ عَنْ ذِكْرِهِمْ مُعْرِضُونَ

Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, serta semua yang ada di dalamnya. Sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada mereka peringatan (al-Quran), tetapi mereka berpaling dari peringatan itu (TQS al-Mu’minun [23]: 71).

Merdeka dengan Takwa

Suatu kesalahan besar jika menyebut ketaatan pada Islam itu mengekang kemerdekaan. Sebabnya, misi kedatangan Islam justru untuk memberikan kemerdekaan sejati kepada manusia. Islam datang di tengah penderitaan umat manusia akibat penindasan kekuasaan yang zalim dan sistem perbudakan yang berlaku. Islam lalu memerdekakan manusia dari semua itu.

Prinsip itu tercermin dalam dua hal. Pertama: Islam membebaskan manusia dari penghambaan kepada sesama makhluk dan manusia menuju penghambaan hanya kepada Allah SWT. Rasulullah saw. menulis surat kepada penduduk Najran yang berisi misi pembebasan tersebut:

«أَمّا بَعْدُ فَإِنّي أَدْعُوكُمْ إلَى عِبَادَةِ اللّهِ مِنْ عِبَادَةِ الْعِبَادِ وَأَدْعُوكُمْ إلَى وِلاَيَةِ اللّهِ مِنْ وِلاَيَةِ الْعِبَادِ»

Amma ba’du. Aku menyeru kalian untuk menghambakan diri kepada Allah dengan meninggalkan penghambaan kepada sesama hamba (manusia). Aku pun menyeru kalian agar berada dalam kekuasaan Allah dengan membebaskan diri dari penguasaan oleh sesama hamba (manusia)… (Al-Hafizh Ibnu Katsir, Al-Bidâyah wa an-Nihâyah, 5/553).

Islam datang menghapuskan sikap tirani para raja, kaisar, kaum bangsawan dan kaum feodal terhadap sesama manusia. Islam mengajarkan bahwa prinsip kesetaraan dan kemuliaan hanya ditentukan oleh tingkat ketakwaan seseorang kepada Allah SWT. Allah SWT berfirman:

إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ

Sungguh yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa (TQS al-Hujurat [49]: 13).

Sebaliknya, sekularisme yang melahirkan kapitalisme justru menciptakan kelas-kelas sosial, lalu memberikan privilege kepada kaum kaya dan para penguasa. Mereka bisa menguasai sumber daya ekonomi, juga bisa menentukan hukum. Islam justru menempatkan manusia setara di mata hukum.

Dalam sistem pemerintahan Islam tak ada privilege (keistimewaan) bagi para pejabat dan keluarganya dengan memanfaatkan hukum dan fasilitas negara.

Ibnu Sirin meriwayatkan bahwa Abdullah bin Umar ra. pernah membeli sejumlah unta. Ia lalu menggembalakan unta-unta tersebut di kawasan unta-unta zakat hingga unta-unta miliknya gemuk dan harganya bertambah mahal. Ketika Amirul Mukminin Umar bin Khaththab ra. mengetahui hal itu, beliau berkata pada anaknya, “Tidak ada yang menjadi milikmu selain modalnya saja. Adapun kelebihannya harus dimasukkan ke Baitul Mal kaum Muslim!”

Kedua: Islam membebaskan manusia dari perbudakan hawa nafsu. Keselamatan dan kebahagiaan seorang Muslim adalah ketika ia bisa menundukkan hawa nafsunya pada aturan Allah SWT. Manusia menyangka dengan hidup bebas tanpa aturan mereka mendapatkan kemerdekaan. Yang terjadi mereka justru menjadi budak hawa nafsu yang akan menyeret mereka ke dalam kebinasaan. Rasulullah saw. bersabda:

«ثَلَاثٌ مُهْلِكَاتٌ: شُحٌّ مُطَاعٌ وَ هَوًى مُتَّبَعٌ وَإِعْجَابُ الْمَرْءِ بِنَفْسِهِ»

Ada tiga perkara yang membinasakan: kebakhilan dan kerakusan yang ditaati, hawa nafsu yang diikuti dan membanggakan diri sendiri (HR al-Baihaqi).

Kemerdekaan yang dirasakan umat hari ini justru mendorong manusia melampiaskan hawa nafsu untuk mencari kesenangan jasadiah (hedonisme) yang malah melahirkan tekanan jiwa dan sosial. Pada tahun 2021, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyebut angka prevalensi orang dengan gangguan jiwa di Indonesia sekitar 1 dari 5 penduduk di Indonesia.

Sebaliknya, Islam mengajarkan umatnya untuk memiliki sifat cukup (qanaa’ah) terhadap karunia Allah SWT. Kekayaan bukan diukur dari keberlimpahan materi, tetapi dari kayanya hati. Nabi saw. bersabda:

«لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ»

Kaya itu bukanlah dengan memiliki banyak harta. Akan tetapi, kaya itu adalah hati yang selalu merasa cukup (HR Muttafaq ‘alayh).

Wahai kaum Muslim! Sungguh negeri ini belum merdeka secara hakiki. Penghambaan kepada sesama manusia serta ketundukan pada ideologi dan kepentingan asing masih terjadi. Kekayaan alam negeri ini masih terus dieksploitasi oleh asing sebagaimana dulu mereka merampok rempah-rempah dari negeri ini.

Jiwa umat juga belum merdeka akibat budaya hedonisme yang diciptakan ideologi batil dari Barat: kapitalisme. Kita terus dijauhkan dari ketaatan pada hukum-hukum Allah SWT. Barat terus mengobarkan islamophobia hingga banyak dari umat ini membenci agamanya sendiri.

Karena itu raihlah kemerdekaan hakiki dengan mengokohkan ketaatan kepada Allah, dengan melaksanakan semua hukum-hukum-Nya agar kita menjadi orang merdeka.[]

Hikmah:

Allah SWT berfirman:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka menghambakan diri kepada-Ku.
(TQS adz-Dzariyat [51]: 56). []

Oleh: Refa | 5 Agustus 2022

MENCETAK PEMUDA CERDAS DAN BERTAKWA


Fenomena Citayam Fashion Week (CFW) benar-benar berhasil menarik perhatian dan viral di masyarakat. Pelakunya adalah para remaja yang terbiasa nongkrong di salah satu kawasan bisnis di Jakarta. Mereka melakukan peragaan busana di tempat umum seperti trotoar dan zebra cross.

Meski memakai fasilitas umum dan mengganggu ketertiban, banyak yang menyebut aksi mereka sebagai kreativitas. Ada menteri yang menawarkan beasiswa pendidikan penuh untuk mereka. Ada juga menteri yang menawarkan area depan kantornya sebagai ajang fashion show. Padahal sebagian mereka tidak bersekolah. Tidak pulang ke rumah. Sering tidur di trotoar. Entah ingat shalat atau tidak.

Sikap ini berkebalikan ketika ada sejumlah remaja melakukan tilawah al-Quran di beberapa tempat umum. Tidak ada pejabat yang mendukung apalagi memuji. Bukannya diapresiasi, malah tidak sedikit yang mencaci.

Potret Remaja Kita

Negeri ini berlimpah penduduk usia muda dan produktif. Ada sekitar 60 juta lebih jumlah penduduk usia muda dengan rentang usia 15-34 tahun. Harusnya ini menjadi bonus demografi karena akan muncul generasi penerus berkualitas. Sayang, banyak anak muda Indonesia justru hidup dalam kondisi tidak beruntung. Mereka terjerat kemiskinan, putus sekolah, terlibat kriminalitas, hedonis dan tidak punya tujuan hidup.

Akibat pandemi selama dua tahun lebih, 40 persen penduduk miskin baru pada tahun 2020 adalah remaja dan anak di bawah usia 18 tahun. Selama pandemi, pada tahun 2022 UNICEF menyebutkan ada 4,3 juta pelajar putus sekolah di Indonesia. Laporan Statistik Pendidikan Tinggi tahun 2020 menunjukkan lebih dari satu juta anak muda di Indonesia drop out dari bangku kuliah, baik Perguruan Tinggi Negeri (PTN) maupun Swasta (PTS).

Remaja Indonesia juga banyak teracuni budaya hedonisme; memburu kesenangan fisik, hiburan, mencari materi dan popularitas. Fenomena CFW adalah gambaran para remaja yang mencari kesenangan dan popularitas. Meski datang dari kelas ekonomi marjinal, para remaja itu ingin tenar di media sosial, seperti para pemuda dari keluarga kaya yang biasa hidup mewah.

Karena sikap hedonis yang mencari kesenangan fisik, sebagian anak muda Indonesia juga tidak takut berhubungan seks sebelum nikah. Penelitian Reckitt Benckiser Indonesia tahun 2019 terhadap 500 remaja di lima kota besar di Indonesia menemukan 33 persen remaja pernah berhubungan di luar nikah. Di antara mereka ada yang berzina karena semata-mata mencari kesenangan bahkan tanpa perlu kenal pasangan mereka. Sebagian lagi karena terjun ke dunia prostitusi, baik pria maupun wanita, dengan alasan mencari kemewahan atau kesenangan saja. Ini belum ditambah lagi remaja yang terlibat LGBT.

Sementara itu kondisi ibadah sebagian anak muda Indonesia memprihatinkan. Dewan Masjid Indonesia (DMI) pernah menyatakan bahwa 65% Muslim di Indonesia ternyata tidak bisa membaca al-Quran, termasuk di dalamnya penduduk usia muda. Tahun 2018, penelitian Departemen Kaderisasi Pemuda PP Dewan Masjid Indonesia (DMI) menyebutkan hanya 33,6 persen anak muda rajin shalat ke masjid setiap hari. Masih banyak anak muda yang hidupnya jarang atau bahkan tidak pernah ke masjid sama sekali.

Kualitas agama anak muda makin terpuruk akibat kampanye kontra radikalisme dan terorisme, terutama di dunia pendidikan sekolah maupun kampus. Pada tahun 2012, sengaja dilontarkan tuduhan bahwa rohis sekolah adalah sarang perekrutan para teroris. Sejak itu kondisi pengajian-pengajian di sekolah – juga di kampus – semakin dijauhi anak-anak muda. Benar-benar ironi. Inikah yang diinginkan oleh kita saat ini? Sukses membuat anak-anak muda tersesat dari jalan Allah, malas beribadah dan rusak moralnya?

Selamatkan Pemuda!

Siapapun yang peduli dengan nasib umat dan negeri ini harus berpikir dan berusaha menyelamatkan para pemuda. Mereka adalah harapan umat pada masa depan. Jika ingin melihat kondisi umat pada masa depan, tengok saja keadaan para pemudanya hari ini. Syaikh Mustafa al-Ghalayaini, seorang pujangga Mesir, berkata, “Sungguh di tangan-tangan pemudalah urusan umat dan pada kaki-kaki merekalah terdapat kehidupan umat.”

Pemuda, menurut Prof. Rawwas Qal’ahji, adalah kelompok manusia yang berusia antara 15 sampai 40 tahun. Pada masa ini manusia berada dalam puncak kekuatannya, setelah masa kanak-kanak, dan sebelum lemah lagi di usia tua. Allah SWT berfirman:

اللَّهُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ ضَعْفٍ ثُمَّ جَعَلَ مِنْ بَعْدِ ضَعْفٍ قُوَّةً ثُمَّ جَعَلَ مِنْ بَعْدِ قُوَّةٍ ضَعْفًا وَشَيْبَةً يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ وَهُوَ الْعَلِيمُ الْقَدِيرُ

Allah-lah Yang menciptakan kalian dari keadaan lemah. Lalu Dia menjadikan (kalian) setelah keadaan lemah itu menjadi kuat. Kemudian Dia menjadikan (kalian) setelah kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki. Dia Maha Mengetahui dan Mahakuasa (TQS ar-Rum [30]: 54).

Kaum muda juga adalah agen perubahan di tengah umat manusia. Tidak ada perubahan tanpa melibatkan dan tanpa dilakukan anak-anak muda. Itu karena mereka adalah kelompok manusia yang cerdas dan lebih mudah menerima petunjuk ketimbang orang yang sudah tua. Ketika menafsirkan QS al-Kahfi ayat 13 yang menceritakan para pemuda Kahfi, Imam Ibnu Katsir menerangkan: “Allah menyebutkan bahwa mereka adalah segolongan kaum muda yang lebih bisa menerima kebenaran dan lebih mudah ditunjukkan ke jalan yang lurus dibandingkan orang-orang tua yang saat itu telah durhaka dan tenggelam dalam agama yang batil. Karena itulah kebanyakan orang yang menyambut baik seruan Allah dan Rasul-Nya adalah dari kalangan kaum muda. Adapun orang-orang tua Quraisy, sebagian besar dari mereka tetap berpegang pada agamanya dan tidak ada yang masuk Islam dari kalangan mereka kecuali sedikit.”

Para nabi dan rasul juga adalah orang-orang berusia muda saat diangkat menjadi utusan Allah. Ibnu Abbas pernah menyatakan, ”Tidaklah Allah mengutus seorang nabi melainkan pemuda. Seorang alim tidak diberi ilmu pengetahuan oleh Allah melainkan pada waktu masa mudanya.”

Untuk itu ada sejumlah langkah yang harus dilakukan orangtua dan kaum Muslim untuk menyelamatkan para pemuda dari ideologi sesat dan rusak sekulerisme-kapitalisme, sekaligus mencetak mereka agar cerdas dan bermental pejuang.

Pertama: Mengokohkan akidah Islam sebagai landasan kehidupan dunia dan akhirat. Para pemuda disadarkan bahwa mereka adalah ciptaan Allah SWT dan kelak akan kembali kepada-Nya. Dengan kuatnya akidah, anak-anak muda akan sadar kalau hidup-mati mereka adalah semata untuk Allah SWT.

Dengan akidah Islam ini juga para pemuda akan dibuat yakin bahwa hanya Islam satu-satunya ideologi yang benar, sehingga mereka akan menolak ideologi lain seperti kapitalisme atau sosialisme-komunisme. Kedua ideologi itu terbukti batil dan jadi penyebab kerusakan umat manusia.

Kedua: Memahamkan para pemuda bahwa tujuan hidup yang tertinggi adalah mendapatkan ridha Allah SWT. Caranya dengan menaati aturan-aturan-Nya dan memperjuangkan agama-Nya. Sebaliknya, dunia bukan tujuan hidup. Dunia hanyalah sarana untuk mendapatkan ridha Allah SWT. Itulah tujuan sekaligus kebahagiaan hakiki untuk seorang Muslim. Nabi saw. bersabda:

ﺇنَّ اﻟسَّعَادَةَ كُلَّ السَّعَادَةِ طُوْلُ العُمْرِ فِيْ طَاعَةِ اللهِ

Sungguh kebahagiaan yang sebenarnya adalah menghabiskan umur untuk taat kepada Allah (HR ad-Dailami).

Ketiga: Membimbing para pemuda untuk membangun habit/kebiasaan islami sejak awal; menaati Allah SWT dan meninggalkan kemaksiatan. Para ulama mengatakan, “Siapa saja yang membiasakan sesuatu (sejak dini) akan terbiasa hingga dewasa.”

Mereka didorong agar giat beribadah, berbakti pada orangtua, rajin menuntut ilmu dan mengerjakan berbagai amal salih. Inilah pemuda yang dicintai Allah sebagaimana sabda Nabi saw.:

سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللهُ فِيْ ظِلِّهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ …وَشَابٌّ نَشَأَ بِعِبَادَةِ اللهِ

Ada tujuh golongan yang Allah naungi dalam naungan-Nya pada hari tidak ada naungan kecuali naungan-Nya:…pemuda yang tumbuh dalam ibadah pada Allah (HR al-Bukhari).

Selain itu, para pemuda harus ditempa agar tidak memperturutkan hawa nafsu seperti memakai narkoba, haus popularitas, bergaul bebas dengan lawan jenis, dll. Inilah para pemuda yang dicintai Allah sebagaimana sabda Nabi saw.:

يَعْجَبُ رَبُّكَ مِنْ شَابٍّ لَيْسَتْ لَهُ صَبْوَةٌ

Tuhanmu mengagumi pemuda yang tidak memiliki shabwah [tidak diperbudak oleh hawa nafsu] (HR Ahmad).

Keempat: Mendorong para pemuda memiliki kepedulian terhadap kondisi umat serta menjadikan mereka pengemban dakwah yang akan memperjuangkan tegaknya agama Allah SWT. Bukan pemuda yang egois; hanya memikirkan amalan pribadi dan tidak peduli pada nasib umat. Allah SWT jelas membutuhkan mereka yang mau berjuang dan membela agama-Nya (Lihat: QS ash-Shaff [61]: 14).

Wahai kaum Muslim! Selamatkanlah anak-anak kita dan para pemuda Muslim. Jangan biarkan mereka dihancurkan oleh ideologi sekulerisme-kapitalisme dan para pengusungnya. Jadikanlah mereka para pemuda cerdas dan bermental pejuang agama Allah. Jangan sampai kita meninggalkan generasi pengganti yang buruk akhlaknya, bodoh dan menjadi tersesat. Ingatlah firman Allah SWT:

فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ ۖ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا

Datanglah sesudah mereka pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya. Lalu mereka kelak akan menemui kesesatan (TQS Maryam [19]: 59).

WalLâhu a’lam. []

—*—

Hikmah:

Imam Ibnu Rajab rahimahulLâh berkata:

تَأْخِيْرُ التَّوْبَةِ فِي حَالِ الشَّبَابِ قَبِيْحٌ، فَفِي حَالِ اْلمَشيبِ أَقْبَحُ وَ أَقْبَحُ

“Menunda-nunda tobat saat usia muda itu sangat buruk. Jauh lebih buruk lagi menunda-nunda tobat saat usia sudah tua.” (Ibnu Rajab, Lathâ’if al-Ma’ârif, 737). []

—*–


Idul Adha, hari raya yang penuh dengan kebahagiaan dan keberkahan. Di Tanah Suci, jutaan saudara kita berkumpul menunaikan ibadah haji. Membesarkan asma Allah SWT dan mengharapkan ridha-Nya. Mereka dimuliakan sebagai duta-duta Allah SWT. Mereka berhak mendapatkan kedudukan mulia di sisi-Nya:

الحُجَّاجُ وَالْعُمَّارُ وَفْدُ اللهِ، دَعَاهُمْ فَأَجَابُوْهُ، سَأَلُوْهُ فَأَعْطَاهُمْ

Sungguh para jamaah haji dan para jamaah umrah adalah para duta Allah. Allah telah memanggil mereka. Lalu mereka memenuhi panggilan-Nya. Mereka memohon kepada Allah. Lalu Allah mengabulkan permohonan mereka (HR Ibnu Majah).

Simbol Persatuan

Sadarkah kita bahwa pelaksanaan ibadah haji dan Idul Adha mempersatukan umat ini. Di Padang Arafah, Mina dan di Muzdalifah, juga di depan Ka’bah, antara Shafa dan Marwah, jutaan Muslim dari berbagai penjuru dunia berkumpul. Mereka berasal dari ragam suku bangsa, warna kulit dan bahasa. Mereka menyatu mempersembahkan ketaatan total kepada Allah SWT dalam ibadah haji.

Di tempat lain, miliaran kaum Muslim juga berkumpul bersama merayakan Idul Adha. Mereka menunaikan shalat Id, lalu berkurban dan mengumandangkan kalimat takbir hingga Hari Tasyriq usai.

Betapa indah persatuan dan persaudaraan ini. Kita diikat bukan karena suku bangsa, bahasa atau warna kulit. Kita diikat oleh akidah Islam. Akidah inilah yang menghapuskan sekat-sekat perbedaan suku bangsa, warna kulit dan bahasa. Akidah ini pula yang menyingkirkan perbedaan kasta dan status sosial lalu membuat manusia setara di hadapan Allah Yang Maha Pencipta.

Bayangkan pula betapa dahsyatnya kekuatan umat ini bila mereka bersatu. Ada 1,9 miliar Muslim di dunia. Tentu dengan ragam potensi dan keunggulan sumber daya alam mereka. Andai kaum Muslim di seluruh dunia dapat bersatu, pasti mereka akan kembali menjadi umat yang disegani oleh berbagai bangsa di seluruh dunia. Mereka akan menjadi kekuatan yang menentukan arah dunia. Mereka akan mampu menciptakan tatanan kehidupan manusia yang berkeadilan dan beradab. Bukan seperti kondisi saat ini. Dunia saat ini dikuasai oleh peradaban Barat yang kapitalistik. Barat telah mengeksploitasi kekayaan alam negara-negara lain. Mereka menciptakan perbudakan modern melalui neo-imperialisme. Mereka pun mencabut nilai-nilai kemanusiaan.

Kaum Muslim telah Allah SWT tetapkan sebagai umat terbaik, sebagaimana firman-Nya:

كُنتُم خَيرَ أُمَّةٍ أُخرِجَت لِلنَّاسِ تَأمُرُونَ بِٱلمَعرُوفِ وَتَنهَونَ عَنِ ٱلمُنكَرِ وَتُؤمِنُونَ بِٱللَّهِ

Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, melakukan amar makruf nahi mungkar, dan mengimani Allah (TQS Ali Imran [3]: 110).

Namun, pada kenyataannya, hari ini kaum Muslim menjadi umat yang terpinggirkan di berbagai belahan dunia. Sebabnya, karena mereka tidak bersatu. Mereka hanya merasakan persatuan semu, seperti ketika melaksanakan Idul Adha atau melaksanakan ibadah haji. Usai peribadatan ini, umat kembali tercerai-berai. Mereka bahkan saling memfitnah. Sebagian mereka bahkan memerangi saudaranya yang lain. Mereka seperti tak pernah bersaudara.

Sebagian besar umat ini pun hanya menyaksikan derita saudara seiman di Myanmar, Uyghur, Suriah atau Palestina. Miliaran jiwa umat ini seperti buih di lautan. Mereka tak peduli dengan nasib saudaranya di belahan dunia lain! Kita seolah melupakan sabda Nabi saw.:

مَا مِنْ امْرِئٍ يَخْذُلُ امْرَأً مُسْلِمًا عِنْدَ مَوْطِنٍ تُنْتَهَكُ فِيهِ حُرْمَتُهُ وَيُنْتَقَصُ فِيهِ مِنْ عِرْضِهِ إِلاَّ خَذَلَهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ فِي مَوْطِنٍ يُحِبُّ فِيهِ نُصْرَتَهُ. وَمَا مِنْ امْرِئٍ يَنْصُرُ مُسْلِمًا فِي مَوْطِنٍ يُنْتَقَصُ فِيهِ مِنْ عِرْضِهِ وَيُنْتَهَكُ فِيهِ مِنْ حُرْمَتِهِ إِلاَّ نَصَرَهُ اللَّهُ فِي مَوْطِنٍ يُحِبُّ فِيهِ نُصْرَتَهُ

Tidaklah seseorang menelantarkan saudaranya sesama Muslim dalam kondisi kehormatannya sedang dilanggar dan harga dirinya direndahkan, kecuali Allah akan menelantarkan dia dalam kondisi dia ingin ditolong. Tidaklah seseorang menolong seorang Muslim pada saat harga dirinya direndahkan dan kehormatannya dilanggar, kecuali Allah akan menolong dia pada kondisi dia ingin ditolong (HR Abu Dawud).

Dari sudut lain, kita menyaksikan sebagian Muslim justru berangkulan dengan orang-orang fasik, bahkan dengan kaum kafir imperialis, yang telah menyebabkan umat menderita. Hal itu mereka lakukan justru ketika tangan mereka tak mau terbuka menyambut saudara seiman dengan alasan perbedaan mazhab dan golongan. Seolah hilang ingatan, sampai lupa siapa saudara dan siapa kaum durjana. Mereka sibuk mengungkit-ungkit terus perbedaan, lalu saling mencaci-maki saudara seiman. Mereka seolah lupa dengan firman Allah SWT:

مُّحَمَّد رَّسُولُ ٱللَّهِ , وَٱلَّذِينَ مَعَهُۥٓ أَشِدَّاءُ عَلَى ٱلكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَينَهُم

Muhammad adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dia itu keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang kepada sesama mereka (TQS al-Fath [48]: 29).

Karena itu pada momen seperti inilah semestinya kita menguatkan kembali makna persatuan umat dalam jalinan kokoh ukhuwah islamiyah. Umat ini harus kembali bersatu. Laksana satu bangunan yang kokoh. Tidak tercerai-berai. Allah SWT berfirman:

وَٱعتَصِمُواْ بِحَبلِ ٱللَّهِ جَمِيعا وَلاَ تَفَرَّقُواْ

Berpeganglah kalian semuanya pada tali (agama) Allah dan janganlah kalian bercerai-berai (TQS Ali Imran [3]: 103).

Nabi Muhammad saw. juga bersabda:

إِنَّ الْمُؤْمِنَ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ، يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا ‏

Sungguh Mukmin dengan Mukmin yang lain itu seperti sebuah bangunan. Sebagiannya menguatkan sebagian yang lain (HR al-Bukhari).

Persatuan Hakiki

Hanya saja, persatuan hakiki kaum Muslim sedunia baru akan terlaksana manakala umat berada dalam satu naungan institusi politik dan pemerintahan Islam global. Itulah Khilafah Islamiyah. Dengan Khilafah, hilanglah segala perbedaan yang menyebabkan umat terpenjara dalam batas kebangsaan, warna kulit dan bahasa. Dalam Khilafah, kaum Muslim sedunia melebur menjadi umat yang satu.

Khilafah juga akan memelihara umat untuk tidak terpecah-belah. Tidak saling menyerang. Mereka justru akan saling tolong-menolong. Saling melindungi saudaranya. Saling membela kehormatan agama. Tidak akan ada sejengkal tanah pun yang akan dijajah oleh pihak asing. Demikianlah yang kita saksikan sepanjang sejarah Khilafah Islamiyah selama berabad-abad.

Ketaatan Total

Selain simbol persatuan kaum Muslim sedunia, ibadah haji dan kurban adalah bagian dari perwujudan ketaatan pada hukum-hukum Allah. Bila seorang hamba rela mengorbankan hartanya demi menempuh perjalanan ibadah haji dan melakukan kurban, maka seharusnya ia juga siap mengorbankan segalanya untuk taat pada syariah Allah SWT secara kaffah (total). Demikian sebagaimana perintah-Nya:

يَٰأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱدخُلُواْ فِي ٱلسِّلمِ كَافَّة , وَلاَ تَتَّبِعُواْ خُطُوَٰتِ ٱلشَّيطَٰنِ . إِنَّهُۥ لَكُم عَدُوّ مُّبِين

Hai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh setan itu musuh yang nyata bagi kalian (TQS al-Baqarah [2]: 208).

Setiap Idul Adha kita diajari ketaatan luar biasa keluarga Nabi Ibrahim as. dalam melaksanakan perintah Allah SWT. Tanpa ragu Nabi Ibrahim as. mengerjakan perintah penyembelihan putranya, Nabi Ismail as. Nabi Ibrahim mengorbankan putra kesayangannya, sedangkan Nabi Ismail mengorbankan hidupnya. Keduanya dengan penuh keyakinan mengerjakan perintah Allah SWT. Pada akhirnya Allah SWT menolong dan memberikan kemenangan kepada mereka berdua.

Demikianlah seharusnya sikap seorang hamba terhadap perintah dan larangan Allah SWT. Bukan menawar, meragukan atau mencari aturan selain hukum Allah SWT. Sikap menyelisihi hukum Allah SWT karena tunduk pada hawa nafsu justru akan mendatangkan kebinasaan, bukan keselamatan (Lihat: QS al-Mu’minun [23]: 71).

Ada Muslim yang begitu khusyuk ketika menjalankan perintah shalat, pemurah dalam bersedekah, ringan tangan menolong orang, bibirnya senantiasa basah dengan zikir dan shalawat. Namun, ketika diseru melaksanakan hukum jinayat, hukum muamalah, apalagi berhukum dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat dengan menggunakan syariah Allah, mereka menjadi ragu; bahkan tak sedikit yang menolak.

Di antara alasan penolakan tersebut adalah karena masyarakat hari ini sudah dibangun berdasarkan kesepakatan bersama. Hal ini menjadi pertanyaan: Sejak kapan kesepakatan manusia bisa menyingkirkan ayat-ayat Allah SWT dan Sunnah Nabi-Nya atau menghapus syariah-Nya? Bukankah Allah SWT telah berfirman:

وَإِن تُطِع أَكثَرَ مَن فِي ٱلأَرضِ يُضِلُّوكَ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِ . إِن يَتَّبِعُونَ إِلاَّ ٱلظَّنَّ وَإِن هُم إِلاَّ يَخرُصُونَ

Jika kalian menuruti kebanyakan orang-orang yang ada di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkan kalian dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah) (TQS al-An’am [6]: 116).

Bercermin pada ketundukan mereka, kita patut bertanya: Sudahkah kita memiliki ketaatan total kepada Allah SWT dan Rasul-Nya? Tunduk dan patuh pada setiap perintah dan larangan-Nya? Ataukah sebaliknya, kita hanya mau tunduk pada sebagian syariah-Nya, namun menolak sebagian yang lain? Apakah kita tidak tahu bahwa mengimani sebagian syariah-Nya dan mengingkari sebagian lainnya dapat mengantarkan pelakunya pada kekufuran, mendapatkan kehinaan di dunia, dan siksa yang pedih di akhirat? (Lihat: QS an-Nisa’ [4]: 150-151).

Oleh karena itu, mari teguhkan iman kita pada agama Allah SWT. Mari kita tundukkan diri kita dengan sebenar-benarnya pada syariah-Nya. Itulah bukti nyata iman kita kepada Allah SWT, yang akan menyelamatkan kehidupan kita di dunia maupun di akhirat. []

—*—

Hikmah:

Nabi saw. bersabda:

مَا أَحَلَّ اللهُ فِيْ كِتَابِهِ فَهُوَ حَلاَلٌ، وَمَا حَرَّمَ فَهُوَ حَرَامٌ

Apa saja yang Allah halalkan dalam Kitab-Nya, itulah yang halal. Apa saja yang Allah haramkan, itulah yang haram. (HR al-Hakim). []

—*—-

Oleh: Refa | 17 Juni 2022

JANGAN KRIMINALISASI AJARAN ISLAM


Dalam beberapa waktu terakhir, khilafah menjadi isu penting. Khilafah dinilai buruk dan dituding sebagai ancaman. Ide khilafah dan para pengusungnya pun dikriminalisasi.

Lalu bermunculan berbagai pernyataan dan postingan di medsos yang mempersoalkan khilafah. Tak sedikit pula yang merendahkan, mencemooh bahkan melecehkan seruan penegakan khilafah.

Isu khilafah mengingatkan kita pada Ijtima Ulama Komisi Fatwa MUI se-Indonesia yang ke-7, yang digelar pada tanggal 9-11 November 2021 di Jakarta. Pertemuan itu telah menyepakati 17 poin bahasan. Salah satunya tentang hukum jihad dan khilafah. Intinya, dalam salah satu rumusannya dinyatakan: jihad dan khilafah adalah bagian dari ajaran Islam. Karena itu Ijtima Ulama Komisi Fatwa MUI tersebut merekomendasikan agar masyarakat dan Pemerintah tidak memberikan stigma negatif terhadap makna jihad dan khilafah (Lihat: Mui.or.id, 14/11/2021).

Sayang, rekomendasi Ijtima Ulama Komisi Fatwa MUI itu seakan tidak digubris oleh berbagai pihak, termasuk oleh Pemerintah. Bahkan ada oknum pengurus MUI yang juga tidak menggubris rekomendasi itu.

Bagian dari Syariah Islam

Ada anggapan bahkan tudingan yang dipropagandakan oleh sejumlah pihak bahwa khilafah adalah ideologi. Mereka menyebut istilah “ideologi khilafah”. Ini jelas salah kaprah. Sebabnya, khilafah bukan ideologi. Khilafah adalah bagian dari syariah Islam tentang kepemimpinan dan pemerintahan.

Imam al-Mawardi menyatakan, “Imamah (Khilafah) diposisikan untuk menggantikan kenabian dalam hal memelihara agama dan mengurus dunia.” (Al-Mawardi, Al-Ahkâm as-Sulthâniyyah, hlm. 3).

Dr. Mahmud al-Khalidi, dalam disertasinya di Universitas al-Azhar, Mesir, menyatakan, “Khilafah adalah kepemimpinan umum atas seluruh kaum Muslim di dunia untuk menerapkan syariah dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia.” (Al-Khalidi, Qawâ’id Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm, hlm. 226).

Jadi khilafah merupakan istilah syariah dan bagian dari kewajiban dalam Islam sebagaimana shalat, puasa, zakat, haji dan yang lainnya. Bahkan khilafah telah dinyatakan di dalam as-Sunnah di banyak hadis Rasul saw. Khilafah juga merupakan bagian dari Sunnah Khulafaur Rasyidin yang diperintahkan oleh Nabi saw. untuk kita pegang teguh.

Khilafah merupakan salah satu Sunnah Nabi saw. dan Sunnah Khulafaur Rasyidin yang paling penting. Berpegang teguh dengan sunnah ini adalah dengan mempertahankan, membela dan menegakkannya kembali ketika tidak ada.

Khilafah: Kewajiban dalam Islam

Para ulama sepakat atas kewajiban mengangkat khalifah, yakni menegakkan khilafah. Banyak dalil dari al-Quran, as-Sunnah, Ijmak Sahabat dan kaidah syariah yang menegaskan kewajiban ini.

Imam al-Qurthubi, ketika menafsirkan QS al-Baqarah [2] ayat 30, menegaskan: “Tidak ada perbedaan pendapat mengenai kewajiban (mengangkat khalifah) ini di kalangan umat dan para imam mazhab, kecuali pendapat yang diriwayatkan dari al-‘Asham yang tuli dari syariah.” (Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, I/264).

Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani juga menyatakan, “Para ulama telah sepakat bahwa wajib mengangkat seorang khalifah dan bahwa kewajiban itu adalah berdasarkan syariah, bukan berdasarkan akal.” (Ibn Hajar, Fath al-Bâri, XII/205).

Kewajiban mengangkat seorang khalifah, yakni menegakkan khilafah, telah disepakati oleh seluruh Sahabat atau menjadi Ijmak Sahabat. Imam Ibnu Hajar al-Haitami asy-Syafii menegaskan:

أَنَّ الصَّحَابَةَ رِضْوَانُ اللهِ عَلَيْهِمْ أَجْمَعُوْا عَلَى أَنَّ نَصْبَ اْلإِمَامِ بَعْدَ اِنْقِرَاضِ زَمَنِ النُّبُوَّةِ وَاجِبٌ، بَلْ جَعَلُوْهُ أَهَمَّ الْوَاجِبَاتِ حَيْثُ اِشْتَغَلُّوْا بِهِ عَنْ دَفْنِ رَسُوْلِ اللهِ

Sungguh para Sahabat—semoga Allah meridhai mereka—telah berijmak bahwa mengangkat seorang imam (khalifah) setelah zaman kenabian berakhir adalah wajib. Bahkan mereka menjadikan upaya mengangkat imam/khalifah sebagai kewajiban paling penting. Faktanya, mereka lebih menyibukkan diri dengan kewajiban itu dengan menunda (sementara) kewajiban menguburkan jenazah Rasulullah saw. (Al-Haitami, Ash-Shawâ’iq al-Muhriqah, hlm. 7).

Ijmak Sahabat sebagai dalil tidak boleh ditolak. Menolak Ijmak Sahabat dapat mengantarkan pada kekufuran. Imam as-Sarakhsi [w. 483 H] menegaskan:

وَمَنْ أَنْكَرَ كَوْنَ الإِجْمَاعُ حُجَّةً مُوْجِبَةً لِلْعِلْمِ فَقَدْ أَبْطَلَ أَصْلَ الدِّيْنِ… فَالْمُنْكِرُ لِذَلِكَ يَسْعَى فِي هَدْمِ أَصْلِ الدِّيْنِ

Siapa saja yang mengingkari kedudukan Ijmak sebagai hujjah yang menghasilkan ilmu (keyakinan) sungguh dia telah membatalkan fondasi agama ini…Karena itu orang yang mengingkari Ijmak sama saja dengan berupaya menghancurkan fondasi agama ini (Lihat: Ash-Sarakhsi, Ushûl as-Sarakhsi, I/296).

Hujjatul Islam Imam al-Ghazali di dalam Al-Mushtashfa fi ‘Ilmi al-Ushûl menegaskan bahwa Ijmak Sahabat tidak dapat dibatalkan. Karena itu Ijmak Sahabat yang menetapkan kewajiban menegakkan Khilafah tidak boleh diabaikan atau dicampakkan, seakan tidak berharga, hingga dikalahkan atau dibatalkan oleh “ijmak” para pendiri bangsa, seandainya itu benar-benar ada.

Cermin Kemunafikan dan Kekufuran

Stigma negatif merupakan bagian dari ejekan atau cemoohan (al-istihzâ) bahkan lebih dari itu. Al-Istihzâ secara bahasa berarti as-sukhriyyah (ejekan/cemoohan). Hujjatul Islam al-Imam al-Ghazali di dalam Ihyâ` ‘Ulûm ad-Dîn (3/131) menyatakan, makna as-sukhriyyah adalah merendahkan dan meremehkan, menyoroti aib dan kekurangan.

Jadi, penistaan agama (al-istihzâ` bi ad-dîn) bisa dimaknai: penghinaan dan cemoohan kepada Allah SWT; atau penghinaan dan ejekan terhadap Rasul saw.; atau penghinaan dan ejekan terhadap Islam, hukum dan ajarannya. Penistaan agama Islam itu banyak bentuknya. Bisa dalam bentuk melecehkan dan menjelek-jelekkan Islam, hukum dan syariahnya; seperti mensifati Islam dan syariahnya sebagai biadab, brutal, bengis, terbelakang, dll.

Bisa dalam bentuk melecehkan atau mengolok-olok sebagian hukum Islam; seperti mengolok-olok jilbab, kerudung dan kewajiban menutup aurat, melecehkan azan, menghina hukum potong tangan, qishash, rajam, dsb.

Bisa juga dalam bentuk melecehkan dan mencemooh dan menstigma negatif sebagian ajaran Islam, seperti jihad dan khilafah, termasuk mengkriminalisasi para penyerunya.

Syaikh Abdullah bin Husain bin Thahir al-Ba’alawi al-Hadhrami asy-Syafii (w. 1272 H) di dalam Sullam at-Tawfîq ilâ MahabbatilLâh ‘alâ at-Tahqîq menyatakan, bahwa semua keyakinan, perbuatan atau ucapan yang menunjukkan penistaan atau pelecehan kepada Allah, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, para malaikat-Nya, syiar-syiar-Nya, ajaran-ajaran agama-Nya, hukum-hukum-Nya atau janji atau ancaman-Nya merupakan kekufuran atau kemaksiatan. Karena itu hendaklah orang berhati-hati dari hal itu secara sungguh-sungguh.

Pada masa Rasul saw., perilaku dan sikap penistaan agama (Islam) itu merupakan perilaku orang-orang kafir, baik kaum musyrik maupun Ahlul Kitab (Yahudi dan Nasrani), juga menjadi perilaku orang-orang munafik.

Di dalam al-Quran al-Karim, pelecehan terhadap Islam dan ajarannya hanya disematkan sebagai perilaku kaum kafir dan kaum munafik. Jadi penistaan terhadap Islam, hukum dan ajarannya, juga kriminalisasi terhadap para penyerunya, tidak lain merupakan cermin kekufuran atau kemunafikan.

Semua bentuk penistaan terhadap Islam, hukum, syariah dan ajaran Islam itu jelas merupakan dosa besar. Tidak layak seorang Muslim melakukan semua itu. Jika ada seorang Muslim melakukan bentuk-bentuk pelecehan Islam, hukum, syariah dan ajaran Islam, maka hal itu bisa mengeluarkan dia dari Islam dan menyebabkan dirinya murtad, terutama jika disertai i’tiqâd atau keyakinan. Adapun jika tidak disertai i’tiqâd—karena perbuatan dan sikap itu merupakan dosa besar, cerminan kekufuran dan kemunafikan—maka pelakunya, meski tidak dinilai telah murtad, dinilai telah melakukan perbuatan fasik dan dosa besar.

Wajib Memuliakan Ajaran Islam

Cermin keimanan dan keislaman seseorang adalah memuliakan Islam, hukum, syariah dan ajaran Islam. Hal itu didorong oleh ketakwaan yang ada dalam dirinya. Allah SWT berfirman:

ذلِكَ وَمَن يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِن تَقْوَى الْقُلُوبِ

Demikianlah (perintah Allah). Siapa saja yang mengagungkan syiar-syiar Allah, sungguh itu timbul dari ketakwaan kalbu (TQS al-Hajj [22]: 32).

Imam Abu al-Hasan al-Mawardi di dalam tafsirnya, An-Naktu wa al-‘Uyun (Tafsir al-Mawardi), mengatakan, “Terkait sya’âirulLâh, ada dua pendapat. Pertama, berbagai kefardhuan Allah. Kedua, ajaran-ajaran agama-Nya.”

Imam an-Nawawi al-Bantani di dalam kitabnya, Syarh Sullam at-Tawfiq, menjelaskan ayat tersebut, bahwa di antara sifat terpuji yang melekat pada orang yang bertakwa adalah mengagungkan syiar-syiar Allah, yakni syiar-syiar agama-Nya.

Imam Abu Manshur al-Maturidi di dalam tafsirnya, Ta’wilâh Ahli as-Sunnah, menjelaskan ayat di atas: “Siapa saja yang mengagungkan syiar-syiar Allah dengan perbuatan lahiriahnya maka pengagungan itu muncul dari ketakwaan hati. Begitulah perkara yang tampak pada manusia. Jika di dalam hatinya ada sesuatu dari ketakwaan atau kebaikan maka yang demikian itu tampak dalam perilaku lahiriahnya. Demikian juga keburukan, jika ada di dalam hati, maka tampak pada perilaku lahiriahnya.”

Tentu saja, kita jangan sampai mendukung orang yang melakukan istihzâ` bi ad-dîn (penistaan agama Islam) atau bahkan termasuk pelakunya. Hal itu merupakan dosa besar, pelakunya dinilai bermaksiat, menjadi orang zalim, fasik bahkan bisa kafir.

Sebaliknya, kita harus menjadi Muslim yang memuliakan Islam, syariahnya dan ajarannya, termasuk khilafah. Apalagi menegakkan khilafah adalah kewajiban bagi kita.

WalLâh a’lam bi ash-shawwâb. []

—*—

Hikmah:

Rasulullah saw. bersabda:

عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ المَهْدِيِيِّنَ مِنْ بَعْدِيْ، وَعَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ

Kalian wajib berpegang teguh dengan Sunnahku dan Sunnah Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk setelahku. Gigitlah sunnah itu dengan gigi geraham. (HR Abu Dawud dan at-Tirmidzi). []

Oleh: Refa | 15 Juni 2022

MENGGELIKAN


Awalnya, mereka berusaha meletakkan Khilafah seolah bukan bagian dari ajaran Islam…
Tentu tidak bisa karena jelas sekali Khilafah itu adalah ajaran Islam. Mau diletakkan dimana itu semua khasanah yang menulis soal Khilafah dalam berbagai kitab mu’tabar karya para ulama salaf maupun khalaf dari dalam maupun luar Indonesia? Apalagi Khilafah juga telah dicatat oleh sejarah, berperan sangat penting dalam mewujudkan peradaban Islam yang agung berbilang abad lamanya.

Setelah usaha untuk menegasikan Khilafah sebagai ajaran Islam gagal, mereka kemudian mencoba mengembangkan opini, bahwa yang mereka persoalkan adalah Khilafah ala HTI. Padahal tidak ada apa yang disebut Khilafah ala HTI itu. Semua ide, konsepsi, ajakan, seruan dan penjelasan HTI soal Khilafah bersumber dari kitab-kitab para ulama juga. Jelas, usaha ini pun gagal.

Akhirnya, mereka menempuh cara yang ngawur sekaligus memprihatinkan dan menggelikan. Beberapa ahli dari pihak mereka menyatakan bahwa memperjuangkan Khilafah di Indonesia itu hukumnya haram….
Bayangkan, bagaimana bisa sesuatu yang disebut oleh banyak ulama sebagai tâj al-furûdh (mahkota kewajiban) karena darinya akan banyak kewajiban lain bisa ditunaikan, kok bisa-bisanya dikatakan haram diperjuangkan di negeri ini?

Di sinilah menggelikannya, ketika ditanya apa dalilnya, tak ada satu pun yang bisa menjelaskan dengan semestinya.

Ada yang menggunakan kaedah daf’ul mafâsid muqaddam[un] min jalbil mashâlih….
Namun, ketika ditanya, atas dasar apa Khilafah yang merupakan ajaran Islam itu bila diperjuangkan di Indonesia pasti akan mendatangkan mafsadat atau madarat? Dia hanya mengatakan berdasarkan dugaan. Dugaan macam apa? Dugaan keras, katanya. Bagaimana kalau dugaannya itu justru bakal didapat maslahat, bukan mafsadat? Tak terjawab. Ketika disampaikan bahwa hasil penelitian Balitbang Kemenag yang dilakukan beberapa tahun lalu terhadap gerakan transnasional, termasuk soal Khilafah, menunjukkan sebaliknya, bahwa gerakan itu tidak mengancam negara, ia tolak hasil penelitian itu. Jadi ngawur lah…

Ada juga yang berhalusinasi….
bahwa kalau Khilafah diperjuangkan atau tegak di Indonesia, akan seperti ISIS, atau akan menimbulkan konflik seperti Suriah. Mereka memang selalu merujuk situasi yang saat ini terjadi di sejumlah negara di Timur Tengah, utamanya Suriah, yang mereka sebut menjadi kacau gegara Khilafah. Namun, narasi seperti ini, di luar dugaan, justru dimentahkan oleh ahli lain yang notabene sama-sama dari pihak mereka. Katanya, konflik di Timur Tengah sama sekali tidak terkait Khilafah. Konflik itu lebih terjadi karena perebutan kekuasaan dan karena invasi negara luar untuk menguasai sumberdaya alam di sana. Oleh karena itu, membawa situasi Timur Tengah sebagai contoh bakal timbulnya madarat bila di negeri ini ditegakkan Khilafah tidaklah tepat.

Argumen yang paling sering dipakai bahwa haram hukumnya memperjuangkan Khilafah di Indonesia karena melanggar kesepakatan para ulama pendiri bangsa…..
Persoalannya, benarkah bahwa sistem kenegaraan sekarang ini adalah kesepakatan para ulama? Sebenarnya tidak persis begitu. Lebih tepatnya adalah kesepakatan BPUPKI, atau bahkan PPKI, yang di dalamnya ada sejumlah ulama. Sejarah membuktikan, justru ikhtiar ulama yang paling minimal berupa rumusan Piagam Jakarta dari ikhtiar puncak berupa Indonesia berdasar Islam pun telah dikhianati oleh para tokoh sekular. Oleh karena itu, ketika ada perjuangan yang menginginkan tegaknya Islam di negeri ini, justru inilah yang harus dianggap sebagai melanjutkan perjuangan para ulama. Bukan yang lain.

Lagi pula, andai benar argumen itu, bahwa dulu telah terjadi kesepakatan, lalu apakah secara syar’i dan teoretis tidak boleh ada kesepakatan baru yang mengubah atau mengganti kesepakatan lama? Ada ahli dari pihak mereka yang tegas mengatakan boleh. Begitu juga ahli lain, meski mereka buru-buru menambah, hanya untuk soal ini (Khilafah di Indonesia) itu tidak boleh. Mengapa tidak boleh? Balik lagi ke argumen tadi, karena katanya sudah ada kesepakatan. Bahkan ada dari mereka yang dengan berani mengatakan bahwa Ijmak Sahabat pun telah di-naskh oleh kesepakatan para pendiri bangsa.
.
Begitulah, ibarat pepatah: tiada rotan akar pun jadi. Argumen apa saja dipakai asal kriminalisasi Khilafah dan para pejuangnya bisa tercapai. Sangat menggelikan tentu saja karena yang melakukan itu bukan orang-orang sembarangan. Mereka bergelar mentereng: jenderal, doktor, bahkan profesor doctor. Malah ada menambahi di depan namanya dengan sebutan kiai haji. Masak kiai haji bisa bilang perjuangan Khilafah di Indonesia haram, dan yang melakukan itu berarti makar kepada Allah?

Menggelikan.

Oleh: Refa | 3 Juni 2022

KEZALIMAN WAJIB DITUMBANGKAN!


Di antara dosa yang begitu ‘keras’ diingatkan oleh al-Quran dan Nabi saw. adalah kezaliman. Banyak nas al-Quran maupun al-Hadis yang mengecam serta mengancam kezaliman dan para pelakunya. Demikian kerasnya ancaman tersebut hingga Rasulullah saw. pun amat khawatir jika kelak menghadap Allah SWT harus menghadapi tuntutan orang-orang yang terzalimi. Beliau bersabda:

»وَإِنِّي لَأَرْجُو أَنْ أَلْقَى اللَّهَ وَلَيْسَ أَحَدٌ مِنْكُمْ يُطَالِبُنِي بِمَظْلَمَةٍ فِي دَمٍ وَلَا مَالٍ«

Sungguh aku berharap berjumpa dengan Allah, sementara tidak ada seorang pun dari kalian yang menuntut aku karena suatu kezaliman terkait darah maupun harta (HR Abu Dawud).

Kezaliman adalah Dosa Besar

Imam al-Jurjani dalam kitabnya, At-Ta’rifât, menyebutkan bahwa arti zalim adalah menyimpang dari kebenaran menuju pada kebatilan. Kezaliman merupakan kejahatan. Di dalam al-Quran terdapat banyak ayat yang mengingatkan kerasnya ancaman Allah SWT terhadap pelaku kezaliman. Di antaranya:

وَلَوْ يُؤَاخِذُ اللَّهُ النَّاسَ بِظُلْمِهِمْ مَا تَرَكَ عَلَيْهَا مِنْ دَابَّةٍ وَلَكِنْ يُؤَخِّرُهُمْ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَإِذَا جَاءَ أَجَلُهُمْ لَا يَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً وَلَا يَسْتَقْدِمُونَ

Andai Allah menghukum manusia karena kezalimannya, niscaya Dia tidak akan meninggalkan di muka bumi satu makhluk melata pun. Namun, Allah menangguhkan mereka sampai pada waktu yang ditentukan. Lalu jika telah tiba waktunya (yang telah ditentukan) bagi mereka, tidaklah mereka dapat mengundurkannya sesaat pun dan tidak (pula) mendahulukannya (TQS an-Nahl [16]: 61).

Allah SWT bahkan telah mengharamkan (menafikan) kezaliman atas Diri-Nya sendiri. Karena itu Allah SWT pun telah mengharamkan umat manusia melakukan kejahatan tersebut. Di dalam Hadis Qudsi Allah SWT berfirman:

«يَا عِبَادِي إِنِّي حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلَى نَفْسِي، وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرَّمًا، فَلَا تَظَالَمُوا»

“Hamba-Ku, sungguh Aku telah mengharamkan kezaliman atas Diri-Ku dan Aku pun telah mengharamkan kezaliman itu atas kalian. Karena itu janganlah kalian saling menzalimi.” (HR Muslim).

Nabi saw. mengingatkan bahwa kelak pada Hari Pembalasan setiap kezaliman akan dibalas dengan balasan setimpal. Bahkan binatang pun diberi kesempatan untuk membalas tindak kezaliman yang mereka alami. Beliau bersabda:

»يَقْضِي اللهُ بَيْنَ خَلْقِهِ، الْجِنِّ ، وَالإِنْسِ، وَالْبَهَائِمِ، وَإِنَّهُ لَيَقِيدُ يَوْمَئِذٍ الْجَمَّاءَ مِنَ الْقَرْنَاءِ، حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ تَبِعَةً عِنْدَ وَاحِدَةٍ لأُخْرَى قَالَ اللهُ: كُونُوا تُرَابًا، فَعِنْدَ ذَلِكَ يَقُولُ الْكَافِرُ: يَا لَيْتَنِي كُنْتُ تُرَابًا«

Allah akan menegakkan qishas di antara semua makhluk-Nya; jin, manusia dan binatang. Pada hari itu, kambing yang tidak memiliki tanduk akan membalas (kezaliman) kambing yang bertanduk. Lalu setelah tidak tersisa lagi kezaliman apapun yang belum terbalaskan, Allah berfirman kepada binatang, “Jadilah kalian tanah.” Pada saat itulah orang kafir berkata, “Andai saja aku pun menjadi tanah.” (HR Ibnu Jarir).

Di antara kezaliman yang begitu keras diingatkan oleh syariah adalah kezaliman yang dilakukan penguasa terhadap rakyatnya. Hal ini terjadi saat para penguasa tidak mengurus rakyat dengan syariah Allah SWT, tidak menunaikan hak-hak mereka, malah justru menipu dan merampas hak-hak mereka. Betapa banyak para pemimpin yang banyak berjanji kepada rakyatnya, tetapi sebanyak itu pula mereka mengingkari janji-janji mereka. Contohnya janji untuk menghentikan impor, tidak menambah utang, tidak menaikkan harga berbagai kebutuhan rakyat, dll. Rasulullah saw. telah mengancam penguasa semacam ini:

«مَا مِنْ عَبْدٍ يَسْتَرْعِيهِ اللَّهُ رَعِيَّةً يَمُوتُ يَوْمَ يَمُوتُ غَاشًّا لِرَعِيَّتِهِ إِلَّا حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ»

Siapa saja yang diamanahi oleh Allah untuk mengurus rakyat, lalu mati dalam keadaan menipu rakyatnya, niscaya Allah mengharamkan surga atas dirinya (HR Muslim).

Ironinya, berbagai kebutuhan rakyat seperti listrik, gas, BBM—yang hakikatnya dalam Islam adalah milik rakyat—diperjualbelikan kepada rakyat dengan harga yang terus-menerus naik. Padahal Nabi saw. telah memperingatkan bahwa sikap memperdagangkan (urusan/kepentingan) rakyat adalah pengkhianatan yang paling besar. Beliau bersabda:

»إِنَّ مِنْ أَخْوَن الْخِيَانَة تِجَارَة الْوَالِى فِى رَعِيَّتِهِ«

Sungguh pengkhianatan paling besar adalah saat penguasa memperdagangkan (urusan/kepentingan) rakyatnya (HR Abu Nu’aim).

Haram Mendiamkan Kemungkaran
Bukan hanya kezaliman yang haram. Sikap mendiamkan kezaliman juga merupakan kemungkaran. Kaum Muslim telah diperintahkan untuk melawan kezaliman. Bukan berdiam diri. Apalagi bersekutu dengan pelaku kezaliman. Umat Muslim bukanlah kaum Bani Israil yang biasa mendiamkan kemungkaran hingga mendapatkan laknat para nabi (Lihat: QS al-Maidah [5]: 78-79).

Kaum Muslim justru memiliki predikat sebagai umat terbaik karena memiliki tabiat gemar melakukan amar makruf nahi mungkar. Jika tabiat itu hilang, hilang pula status mereka sebagai umat terbaik. Allah SWT berfirman:

كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ

Kalian (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia (karena kalian) melakukan amar makruf nahi mungkar dan beriman kepada Allah (TQS Ali Imran [3]: 110).

Ada sejumlah sikap yang harus dilakukan umat saat menghadapi kezaliman sesuai dengan tuntunan ajaran Islam. Pertama: Beramar maruf nahi mungkar. Rasulullah saw. mengingatkan kaum Muslim akan dampak membiarkan kemungkaran, yakni Allah SWT akan meratakan azab-Nya kepada mereka. Sabda beliau:

»مَا مِنْ رَجُلٍ يَكُونُ فِي قَوْمٍ يُعْمَلُ فِيهِمْ بِالْمَعَاصِي يَقْدِرُونَ عَلَى أَنْ يُغَيِّرُوا عَلَيْهِ فَلَا يُغَيِّرُوا إِلَّا أَصَابَهُمْ اللَّهُ بِعَذَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَمُوتُوا«

Tidaklah seseorang berada di tengah-tengah suatu kaum yang di dalamnya dilakukan suatu kemaksiatan yang mampu mereka ubah, tetapi mereka tidak mengubah kemaksiatan tersebut, niscaya Allah akan menimpakan siksa-Nya kepada mereka sebelum mereka mati (HR Abu Dawud).

Hadis ini menegur dengan keras sikap sebagian orang yang memilih mendiamkan kemungkaran dengan berbagai alasan, seperti wajib taat kepada ulil amri, atau ikhlas menerima takdir Allah. Sikap seperti itulah yang justru menyebabkan Allah SWT meratakan azab-Nya hingga membinasakan umat manusia.

Amar makruf nahi mungkar di hadapan penguasa zalim dipuji oleh Nabi saw. sebagai jihad yang paling utama. Sabda beliau:

»أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ»

Jihad yang paling utama adalah menyatakan keadilan di hadapan penguasa zalim (HR Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah dan ad-Dailami).

Kedua: Tidak condong pada—apalagi bersekutu dengan—kezaliman. Allah SWT:

وَلَا تَرْكَنُوا إِلَى الَّذِينَ ظَلَمُوا فَتَمَسَّكُمُ النَّارُ

Janganlah kalian cenderung kepada orang yang zalim yang menyebabkan kalian disentuh api neraka (TQS Hud [11]: 113).

Yang dimaksud dengan ar-rukûn dalam frasa “wa lâ tarkanû” pada ayat di atas adalah ridha terhadap kezaliman yang dilakukan para pelakunya. Jadi, jangankan bersekutu dengan kezaliman, bersikap ridha saja terhadap kezaliman sudah Allah SWT haramkan. Apalagi mendukung, memberi fatwa dan malah menyerang umat yang terzalimi.

Ketiga: Tidak menjadi bagian dari kekuasaan zalim. Rasulullah saw. bersabda:

«يَكُونُ فِي آخِرِ الزَّمَانِ أُمَرَاءُ ظَلَمَةٌ، وَوُزَرَاءُ فَسَقَةٌ، وَقُضَاةٌ خَوَنَةٌ، وَفُقَهَاءُ كَذَبَةٌ، فَمَنْ أَدْرَكَ مِنْكُمْ ذَلِكَ الزَّمَنَ فَلا يَكُونَنَّ لَهُمْ جَابِيًا وَلا عَرِيفًا وَلا شُرْطِيًّا»

Akan ada pada akhir zaman para penguasa zalim, para pembantu (pejabat pemerintah) fasik, para hakim pengkhianat dan para ahli hukum Islam pendusta. Siapa saja di antara kalian yang mendapati zaman itu, janganlah kalian menjadi pemungut cukai, tangan kanan penguasa dan polisi (HR ath-Thabarani).

Keempat: Mendoakan pelaku kezaliman agar mendapat keburukan sebagai balasan atas sikap-sikap mereka. Nabi saw. pun mendoakan mereka:

«اللَّهُمَّ مَن وَلِيَ مِن أَمْرِ أُمَّتي شيئًا فَشَقَّ عليهم، فَاشْقُقْ عليه، وَمَن وَلِيَ مِن أَمْرِ أُمَّتي شيئًا فَرَفَقَ بهِمْ، فَارْفُقْ بهِ»

Ya Allah, siapa saja yang mengurusi urusan umatku, lalu dia menyusahkan mereka, maka susahkanlah dia. Siapa saja yang mengurusi urusan umatku, lalu dia menyayangi mereka, maka sayangilah dia (HR Muslim).

Doa yang mengandung keburukan pada hakikatnya adalah terlarang, kecuali doa orang-orang terzalimi atas para pelaku kezaliman (Lihat: QS an-Nisa’ [4]: 148).

Hal ini sejalan dengan peringatan yang disampaikan Nabi saw. agar mewaspadai doa orang yang terzalimi lantaran cepat dikabulkan oleh Allah SWT.

«اِتَّقِ دَعْوةَ الْمَظْلُوْمِ فَإِنَّهُ لَيْسَ بَيْنَهَا وَ بَيْنَ اللَّهِ حِجَابٌ»

Takutlah kalian terhadap doa orang-orang yang terzalimi karena tidak ada hijab antara doanya dan Allah (doanya pasti dikabulkan) (HR Muslim).

Wahai kaum Muslim, Anda adalah umat terbaik yang sejatinya senantiasa melakukan amar makruf nahi mungkar. Jangan sampai pujian dari Allah SWT ini hilang dengan sikap Anda yang berdiam diri terhadap kezaliman, khususnya kezaliman yang dilakukan penguasa. Apakah Anda rela jika Allah SWT justru akan mendatangkan siksa dan bencana disebabkan sikap Anda yang membisu bahkan ridha terhadap segala kemungkaran? Tumbangkanlah kezaliman! Ubahlah segala bentuk kemungkaran menuju tegaknya syariah Islam dalam institusi Khilafah ‘ala minhâj an-nubuwwah.

Hikmah:

Rasulullah saw. bersabda:

«اتَّقوا الظُّلمَ، فإنَّ الظُّلمَ ظلماتٌ يومَ القيامةِ»

Jauhilah oleh kalian kezaliman karena kezaliman itu adalah kegelapan pada Hari Kiamat. (HR Muttafaq alayh).

Oleh: Refa | 24 April 2022

KEZALIMAN AKAN DIBALAS, CAMKAN ITU !


Di tengah suasana Ramadhan dan menjalani ibadah puasa, rakyat negeri ini dihadapkan pada kehidupan yang makin sulit. Salah satunya karena kebijakan Pemerintah yang menaikkan harga BBM jenis Pertamax hingga menjadi Rp 12.500/liter dari sebelumnya Rp 9.000/liter. Disusul adanya sinyal Pemerintah untuk menaikkan harga BBM jenis Pertalite, minyak Solar juga Gas LPG 3kg. Dalam Rapat Kerja bersama Komisi VII DPR, Rabu (13/4/2022) Menteri ESDM Arfin Tasrif menyebutkan bahwa Pemerintah dalam jangka menengah akan melakukan penyesuaian harga Pertalite dan minyak Solar serta LPG 3 kg sebagai respon atas lonjakan harga minyak dunia (CNBC Indonesia, 19/4/2022).

Sebelumnya, Pemerintah juga menaikkan PPN hingga 11 persen yang mulai berlaku sejak tanggal 1 April 2022. Kenaikan PPN ini tentu akan memicu kenaikan harga-harga barang di tingkat konsumen. Ini tentu akan makin membebani rakyat di tengah daya beli mereka yang makin melemah, terutama sejak awal pandemi Covid-19 hingga saat ini. Belum lagi kenaikan harga-harga kebutuhan pokok, khususnya minyak goreng, yang nyaris menyentuh dua kali lipat, yang gagal dikendalikan oleh Pemerintah.

Sebuah Kezaliman

Kebijakan Pemerintah menaikkan pajak, juga harga-harga kebutuhan pokok seperti BBM dan Gas yang hakikatnya berasal dari sumber daya alam milik rakyat, secara langsung telah merampas harta milik rakyat secara zalim. Padahal harta adalah salah satu bagian dari kehidupan manusia yang mendapat perlindungan Islam. Tidak boleh ada yang mengganggu dan merampas harta seseorang. Tidak boleh juga memungut harta seseorang tanpa izin syariah. Bahkan Pemerintah sekalipun haram melakukan pemaksaan pungutan apapun dari rakyatnya, kecuali pungutan yang memang telah diakui dan dibenarkan oleh syariah.

Namun, di dalam sistem Kapitalisme sekuler seperti saat ini, berbagai macam pungutan (pajak) justru menjadi sumber utama pendapatan negara. Pajak dan berbagai pungutan lainnya tentu menambah beban kehidupan masyarakat. Ironisnya, pada saat kondisi kehidupan yang sedang sulit sekalipun seperti saat ini, pungutan pajak bukannya dikurangi atau dihilangkan, malah makin ditambah. Padahal di sisi lain, Pemerintah tidak menjamin kesejahteraan bagi seluruh warganya.

Di dalam al-Quran telah terdapat larangan mengganggu dan merampas harta manusia tanpa alasan yang haq (Lihat: TQS an-Nisa’ [4]: 29). Larangan mengganggu dan merampas harta juga disampaikan oleh Rasulullah saw. dalam Khutbah al-Wada’.:

إِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ حَرَامٌ عَلَيْكُمْ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هذَا فِي شَهْرِكُمْ هذَا فِي بَلَدِكُمْ هذَا

Sungguh darah kalian, harta kalian dan kehormatan kalian haram atas kalian sebagaimana haramnya hari kalian ini, pada bulan kalian ini dan di negeri kalian ini (HR al-Bukhari dan Muslim).

Karena itu Islam melarang keras tindakan ghashab. Ghashab menurut kitab Al-Muhith fi al-Lughah, adalah mengambil sesuatu secara zalim dan memaksa. Menurut Dr. Khalid al-Musyaiqih, ghashab adalah menguasai hak orang lain, baik hartanya atau hak gunanya, secara paksa, tanpa alasan yang benar.

Ghashab bukan saja terjadi antar individu, tetapi juga bisa dilakukan oleh negara terhadap rakyatnya. Berbagai pungutan yang ada di luar syariah Islam seperti pajak atas penghasilan, kendaraan, tanah, rumah, barang belanjaan, dsb adalah kezaliman karena tidak didasarkan pada ketentuan syariah. Inilah yang dimaksud Allah SWT dengan firman-Nya (yang artinya): memakan harta sesama kalian dengan cara yang batil.

Kebijakan inilah yang telah diperingatkan keras oleh Islam. Abu Khair ra. berkata: Maslamah bin Makhlad (gubernur di negeri Mesir saat itu) menawarkan tugas penarikan pajak kepada Ruwafi bin Tsabit ra. Ia berkata: Sungguh aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda:

إِنَّ صَاحِبَ الْمَكْسِ فِيْ النَّارِ

Sungguh para pemungut pajak (diazab) di neraka (HR Ahmad).

Karena itu kebijakan memungut pajak, apalagi dengan kadar pungutan yang mencekik rakyat, adalah kebijakan yang sangat zalim. Sama halnya dengan kebijakan Pemerintah untuk terus menaikkan harga BBM dan Gas (LPG). Pasalnya, BBM dan Gas hakikatnya berasal dari sumber daya alam milik umum (rakyat). Tak seharusnya BBM dan Gas dibisniskan untuk meraih keuntungan sebanyak-banyaknya. Apalagi dengan selalu mengikuti kenaikan harga minyak dunia. BBM dan Gas—juga sumber daya alam lainnya yang menguasai hajat hidup orang banyak—seharusnya bisa dinikmati oleh seluruh rakyat, Muslim maupun non-Muslim, secara gratis atau dengan harga semurah-murahnya. Pemerintah hanya boleh mengambil harga BBM dan Gas untuk sekadar kompensasi atas biaya produksi dan operasionalnya saja. Kalaupun Pemerintah mengambil untung, tentu keuntungan itu sebesar-besarnya harus kembali kepada rakyat.

Kezaliman Akan Dibalas!

Rasul saw. banyak memperingatkan penguasa dan pemimpin zalim. Mereka adalah pemimpin jahat (HR at-Tirmidzi). Pemimpin yang dibenci oleh Allah SWT, dibenci oleh rakyat dan membenci rakyatnya (HR Muslim). Pemimpin yang bodoh (imâratu as-sufahâ’), yakni pemimpin yang tidak menggunakan petunjuk Rasul dan tidak mengikuti sunnah beliau (HR Ahmad). Penguasa al-huthamah, yakni yang jahat dan tidak memperhatikan kepentingan rakyatnya (HR Muslim). Penguasa yang menipu (ghâsy[in]) rakyat (HR al-Bukhari dan Muslim).

Pemimpin zalim atau penguasa yang menzalimi rakyatnya pasti akan dibalas oleh Allah SWT, baik di dunia maupun di akhirat kelak. Baginda Nabi saw. sampai secara khusus mendoakan keburukan atas para penguasa zalim yang mempersulit kehidupan rakyatnya:

اللَّهُمَّ مَن وَلِيَ مِن أَمْرِ أُمَّتي شيئًا فَشَقَّ عليهم، فَاشْقُقْ عليه، وَمَن وَلِيَ مِن أَمْرِ أُمَّتي شيئًا فَرَفَقَ بهِمْ، فَارْفُقْ بهِ

Ya Allah, siapa saja yang mengurusi urusan umatku, lalu dia menyusahkan mereka, maka susahkanlah dia. Siapa saja yang mengurusi urusan umatku, lalu dia menyayangi mereka, maka sayangilah dia (HR Muslim).

Tentu saja, doa Baginda Nabi saw. di atas pasti akan dikabulkan oleh Allah SWT. Karena itu sungguh keterlaluan jika para penguasa abai terhadap doa ini.

Kekuasaan Adalah Amanah

Dalam pandangan Islam, kekuasaan adalah amanah. Tentang pemimpin amanah, Allah SWT berfirman:

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا اْلأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ

Sungguh Allah menyuruh kalian memberikan amanah kepada orang yang berhak menerimanya, juga (menyuruh kalian) jika menetapkan hukum di antara manusia agar kalian berlaku adil (TQS an-Nisa’ [4]: 58).

Imam ath-Thabari, dalam Tafsîr ath-Thabarî, menukil perkataan Ali bin Abi Thalib ra., “Kewajiban imam/penguasa adalah berhukum dengan hukum yang telah Allah turunkan dan menunaikan amanah. Jika ia telah melaksanakan hal itu maka orang-orang wajib mendengarkan dan mentaati dia, juga memenuhi seruannya jika mereka diseru…”

Inilah dua sifat yang melekat pada pemimpin yang adil. Pertama: Menjalankan hukum-hukum Allah SWT dalam pelaksanaan ibadah umat, muamalah, hukum-hukum ekonomi Islam (tentang kepemilikan, pengelolaan kekayaan milik umum, keuangan negara), hukum peradilan dan pidana Islam (hudûd, jinâyât, ta’zîr maupun mukhâlafât), hukum-hukum politik luar negeri; dsb.

Kedua: Menunaikan amanah ri’âyah, yakni memelihara semua urusan umat seperti menjamin pemenuhan kebutuhan pokok (sandang, pangan, papan bagi tiap individu warga negara); menjamin pemenuhan pendidikan, kesehatan dan keamanan secara cuma-cuma; serta melindungi rakyat dari berbagai gangguan dan ancaman. Dalam memelihara urusan rakyat, penguasa hendaklah seperti pelayan terhadap tuannya. Sebabnya, “Sayyidu al-qawmi khâdimuhum (Pemimpin kaum itu laksana pelayan mereka).” (HR Abu Nu’aim).

Sebagaimana diketahui, salah satu tujuan penegakan sistem pemerintahan Islam (Khilafah) yang menerapkan syariah Islam secara kâffah adalah untuk menyejahterakan rakyat. Seorang waliyul amri (pemimpin) dibebani amanah. Di antaranya menciptakan kesejahteraan bagi rakyatnya melalui kebijakan yang dia ambil. Peran dan tanggung jawab waliyul amri dalam masalah ini sangat besar. Kelak di akhirat ia akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah SWT atas amanah kepemimpinannya. Nabi saw. bersabda:

فَاْلإِمَامُ اْلاَعْظَمُ الَّذِيْ عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَ هُوَ مَسْئُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

“Kepala negara adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus.” (HR al-Bukhari).

Amanah penguasa seperti dalam hadis di atas adalah memelihara urusan-urusan rakyat (ri’âyah syu`ûn ar-ra’yah). Ri’âyah itu dilakukan dengan siyasah (politik) yang benar, yaitu seperti yang dijelaskan oleh Imam an-Nawawi di dalam Syarh Shahîh Muslim. Ri’âyah atau siyâsah yang baik itu tidak lain dengan menjalankan hukum-hukum syariah serta mengutamakan kemaslahatan dan kepentingan rakyat.

Sayang, dalam sistem kapitalis demokrasi sekuler saat ini, penguasa lebih menghamba kepada para pemilik modal dan oligarki ketimbang memperhatikan dan melayani rakyatnya.

Karena itu saatnya umat mencampakkan sistem kapitalis demokrasi sekuler yang sudah terbukti banyak menyusahkan rakyat. Saatnya umat menerapkan sistem pemerintahan Islam yang menerapkan syariah Islam secara kâffah yang pasti bakal mendatangkan kemakmuran, kesejahteraan, keadilan dan keberkahan.
WalLâh a’lam bi ash-shawâb. []

—*—

Hikmah:

Rasulullah saw. bersabda:

يَكُونُ فِي آخِرِ الزَّمَانِ أُمَرَاءُ ظَلَمَةٌ، وَوُزَرَاءُ فَسَقَةٌ، وَقُضَاةٌ خَوَنَةٌ، وَفُقَهَاءُ كَذَبَةٌ، فَمَنْ أَدْرَكَ مِنْكُمْ ذَلِكَ الزَّمَنَ فَلا يَكُونَنَّ لَهُمْ جَابِيًا وَلا عَرِيفًا وَلا شُرْطِيًّا

Akan ada pada akhir zaman para penguasa zalim, para pembantu (pejabat pemerintah) fasik, para hakim pengkhianat dan para ahli hukum Islam pendusta. Siapa saja di antara kalian yang mendapati zaman itu, janganlah kalian menjadi pemungut cukai, tangan kanan penguasa dan polisi. (HR ath-Thabrani). []

—*—

Older Posts »

Kategori